Menuju konten utama

Saat Pernikahan Jadi 'Barang Dagangan'

Pernikahan selebritas kerap disorot besar-besaran. Jika Anda jeli, ada iklan di balik semua eksposur itu.

Saat Pernikahan Jadi 'Barang Dagangan'
Pernikahan Raisa dan Hamish. FOTO/Instagram/Bridestory

tirto.id - Pernikahan merupakan salah satu momen besar dalam kehidupan mayoritas masyarakat. Dalam momen resepsi, orang-orang ingin menjadi ratu dan raja sehari. Sudah bukan rahasia bila macam-macam hal yang berkaitan dengan pernikahan seseorang potensial jadi bahan perbincangan para undangan.

Mulai dari foto pra-pernikahan dan foto mempelai saat resepsi, pakaian pengantin, makanan, lokasi acara, sampai dekorasi bisa saja mendatangkan komentar positif maupun cibiran. Terlebih di era media sosial seperti sekarang ini, bisik-bisik soal pernikahan seseorang tak memakan waktu lama untuk sampai di telinga kolega dan keluarga, bahkan si empunya hajatan sendiri.

Baca juga: Industri Foto Pernikahan yang Dirangsang Instagram

Pernikahan selebritas adalah salah satu yang paling menonjol dalam eksposur di media sosial maupun media konvensional. Minggu (3/9) lalu, Raisa Andriana dan Hamish Daud Wyllie menggelar akad dan pesta pernikahan di Ayana Midplaza, Sudirman, Jakarta. Kabar pernikahan penyanyi muda ini memang sudah menyebar jauh sebelum pesta digelar dan menarik perhatian publik, khususnya mereka yang mengidolakan kedua selebritas ini. Sampai-sampai, tagar #haripatahhatinasional menjadi populer di media sosial seiring dengan pernikahan Raisa-Hamish.

Serba-serbi sudut pandang pemberitaan sejoli ini segera mengekor. Ada yang menyoroti pose-pose mesra Raisa-Hamish, antrean undangan resepsi, busana yang dikenakan Raisa, ada pula yang lebih berfokus pada lokasi dan dekorasi yang dipilih keduanya. Bridestory yang digandeng sebagai konsultan pernikahan Raisa-Hamish bahkan secara khusus menyajikan foto-foto dan tayangan khusus berisi cuplikan suasana pernikahan selebritas-selebritas ini.

Pernikahan Selebritas: Inspirasi Sekaligus Dicaci

Eksposur pernikahan selebritas membuat publik pecah menjadi dua kubu: yang mengagumi sampai beritikad mengimitasi model pernikahan mereka, dan yang mengkritik pesta yang digambarkan di media-media massa. Ambil contoh pernikahan Kate Middleton-Pangeran William pada 29 April 2011 silam. Tak lama setelah royal wedding digelar, gaun pengantin Middleton menjadi tren.

Penjualan produk Alexander McQueen—rumah busana yang memproduksi gaun pengantin untuk Middleton—pun melonjak hingga 27 persen pasca-pernikahan Kate-William. Ini mengindikasikan citra sang mempelai perempuan yang positif sehingga sebagian publik tertarik untuk mencontoh apa pun yang melekat pada dirinya.

Baca juga: Efek Kate Middleton terhadap Industri Pakaian

Sementara kubu yang mengkritik pesta pernikahan selebritas terlihat dari bagaimana sejumlah media menghakimi gaun-gaun yang mereka pakai saat menikah. Tengok saja kolom fashion The Telegraph atau situs MTVIndia ketika merilis kabar tentang pakaian-pakaian pengantin paling buruk. Sementara di Indonesia, kritik terkait pernikahan selebritas datang dari perspektif lain. Sorotan berlebihan pernikahan Raffi-Nagita di stasiun TV lokal memicu protes sebagian khalayak, hingga keberatan ini disampaikan ke KPI.

Baca juga: Efek Jadi Bintang Sejak Kecil

Masih terkait kritik pernikahan selebritas, bagi sebagian orang, pernikahan mereka juga dilihat sebagai ajang promosi diri. Sharon Boden, penulis Consumerism, Romance and the Wedding Experience (2003), mengambil contoh pernikahan Liza Minnelli. Ada yang memandang bahwa pernikahan selebritas ini tak ubahnya pertunjukan ‘kabaret’ yang bertujuan meneguhkan posisinya dalam dunia hiburan.

Dijual: Memorabilia Pernikahan Selebritas

Setelah berbagai media internasional mewartakan royal wedding, berbagai pelaku usaha segera memanfaatkan hal tersebut untuk mendulang untung. Dikabarkan The New York Times, memorabilia terkait pernikahan Kate-William dipasarkan ke publik, mulai dari cangkir, sendok, perangko, koin, hingga boneka teddy bear. Replika cincin tunangan Middleton pun sempat dijual dengan menggadang-gadang pesan “manifestasi fisik dari cinta absolut”.

Dalam pernikahan Raisa-Hamish pun, logo konsultan pernikahan selebritas tersebut dicantumkan dalam publikasi seputar hajatan yang diselenggarakan. Juga jangan lupakan siapa perancang pakaian, siapa merias sang pengantin, atau di mana tempat pernikahan digelar. Kesemuanya disebut dan akan mendapatkan publisitas. Banyak yang tidak menghiraukannya, tapi tidak sedikit juga yang mencermati ini adalah bentuk promosi jasa perusahaan terkait.

Kenapa pernikahan bisa memicu konsumerisme?

Aneka gambaran yang dipaparkan media massa menumbuhsuburkan fantasi calon-calon pengantin, terlepas dari kemampuan finansial mereka sebenarnya. Makin megah, makin tergiur sebagian calon pengantin untuk mewujudkannya. Pernikahan tak lagi merupakan institusi sakral semata. Perlahan tetapi pasti, hal ini menjelma menjadi suatu industri yang berupaya jor-joran membuat calon-calon pengantin kian ‘haus’ dan (mau tak mau) memuaskan hasratnya dengan produk dan jasa yang disuguhkan produsen.

Gambaran pernikahan selebritas yang megah menciptakan suatu hiperealitas di masyarakat. Sesuatu yang dicitrakan secara berlebihan, berulang kali, sampai pada akhirnya melekat di benak masyarakat. Seperti ide bahwa pernikahan cuma (harapannya) dilakukan sekali seumur hidup, maka totallah dalam menyelenggarakannya.

Saking totalnya, tak jarang orang bekerja keras mengumpulkan biaya nikah, kadang ada yang meminjam sana sini, juga untuk memuaskan ekspektasi (konsumerisme) pihak keluarga atau berdasarkan tekanan teman-teman sepergaulan. Atau demi memenuhi keinginan pasangan misalnya, mengimitasi pilihan selebritas pun akan diusahakan.

Infografik Pernikahan Megah Artis

Fenomena publik yang mengimitasi pilihan-pilihan selebritas dalam pesta pernikahan terjadi bukan tanpa alasan. Daniel Kruger, psikolog evolusi dari University of Michigan menyampaikan argumennya tentang motivasi orang senang mengamati kehidupan selebritas.

Pertama, dengan mempelajari apa yang dilakukan orang-orang berstatus tinggi macam selebritas, seseorang dapat menirunya supaya bisa menjadi sosok serupa di kemudian hari. Kedua, dengan mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan selebritas, seseorang bisa lebih gampang membawakan diri atau berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Bukan hal yang tak lazim jika ditemukan percakapan-percakapan kasual—mulai dari anak-anak sampai orang-orang usia senja—yang melibatkan rumor seputar kehidupan para selebritas, bukan? Malah kadang, hal ini menjadi topik awal pemecah kebekuan bagi sebagian orang.

Sebuah seloroh terdengar di radio lokal siang ini. Si penyiar mewartakan soal mas kawin Hamish, yakni 500 gram emas. Mahalnya mas kawin ini berpotensi membikin perempuan lain mengidamkan hal serupa dan kian sulit laki-laki untuk mengejar ‘prestasi’ Hamish, demikian kira-kira ungkapan si penyiar. Pernikahan jadi ditakar dengan nominal, karena dokumentasinya akan disebar kemudian ke orang-orang yang dikenal.

Selama selebritas berada di posisi aman di ranah hiburan, semakin besar potensi produsen untuk menggaet mereka dan memanfaatkan citra mereka untuk dijual, demikian pendapat Susan Krauss Whitbourne, Ph.D., Professor Emerita of Psychological and Brain Sciences di University of Massachusetts Amherst.

Dalam Psychology Today, ia juga memaparkan sejumlah saran bagi khalayak supaya tidak terjebak dalam keinginan membeli produk atau menggunakan jasa sebagaimana dilakukan selebritas yang disokong industri. Menyadari bahwa diri sedang dibujuk pengiklan menggunakan selebritas adalah langkah awal menurut Whitbourne. Berikutnya, banyak-banyak meriset opsi lain sebelum membuat keputusan adalah PR berikutnya khalayak bila tidak ingin termakan rayuan tak langsung si selebritas dalam konten iklan.

Memutuskan pembelian tentunya tak baik bila dilakukan secara impulsif. Karenanya, Whitbourne menyugesti untuk tidak memilih dalam kondisi emosional. Pertimbangan rasional soal untung-rugi memilih sesuatu adalah hal yang tidak boleh terabaikan.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani