Menuju konten utama

Saat Pengadaan Barang dan Jasa Jadi Kolam Korupsi Pejabat Daerah

Pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu sektor yang paling sering disasar koruptor. Bagaimana polanya?

Saat Pengadaan Barang dan Jasa Jadi Kolam Korupsi Pejabat Daerah
Enam tersangka OTT di Kalimantan Selatan berjalan menuju ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (8/10/2024). KPK menahan enam tersangka dua di antaranya menjabat Kadis PUPR Provinsi Kalimantan Selatan Ahmad Solhan dan Kabid Cipta Karya PUPR Provinsi Kalimantan Selatan Yulianti Erlynah, serta menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek pembangunan lapangan sepakbola, gedung samsat terpadu, dan kolam renang di wilayah Kalimantan Selatan dengan barang bukti uang yang disita dalam OTT mencapai sekitar Rp10 miliar. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

tirto.id - Penetapan tersangka kepada Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar panjang rasuah di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah. Sahbirin alias Paman Birin, diduga melakukan korupsi pada beberapa paket pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) yang berasal dari Dana APBD Pemprov Kalimantan Selatan 2024.

Sebelumnya, enam orang lain sudah ditangkap KPK dan menjadi tersangka dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), pada Minggu lalu. Dalam kasus ini, diduga terjadi rekayasa dalam proses lelang proyek pekerjaan. Pihak swasta yang mendapatkan proyek di Dinas PUPR Kalsel, dibantu oleh penyelenggara negara untuk memenangkan lelang.

Sebagai imbalan, pihak swasta memberikan hadiah atau janji kepada pihak penyelenggara negara. Sahbirin, merupakan salah satu orang yang diduga mendapatkan bayaran tersebut. KPK telah menyita uang sejumlah Rp12 miliar dan 500 dolar AS serta dokumen yang dianggap berkaitan dengan kasus ini.

Dalam ekspos barang bukti, KPK menemukan uang senilai Rp800 juta dalam kardus kuning dengan foto Sahbirin dan tertulis 'Paman Birin'. KPK juga menyita Rp1 miliar dalam sebuah kardus berwarna coklat. Paman Birin diduga menerima upah 5 persen dalam lelang proyek di Dinas PUPR Kalsel.

Kasus yang menimpa paman dari pebisnis tambang terkemuka, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam tersebut, semakin menegaskan modus korupsi pengadaan barang dan jasa sebagai ladang basah pejabat daerah culas mereguk keuntungan pribadi. Modus korupsi ini sudah berulang kali terjadi dan menandakan lemahnya pengawasan sektor PBJ pemerintah.

Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) memang jadi lahan basah korupsi pejabat pemda setelah kewenangan perizinan tak lagi berada di daerah. Korupsi ini dilakukan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang demi mendapat keuntungan pribadi pada proyek pemerintah.

“Keduanya jadi lahan basah karena di situlah celah penyalahgunaan wewenang,” kata Orin saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/10/2024).

Seseorang yang punya kewenangan, menurut Orin, merasa punya hak memonopoli suatu pengambilan keputusan. Manakala tidak diimbangi akuntabilitas serta transparansi dalam mengambil kebijakan atau diskresi, maka itu rentan menjadi kepentingan sepihak.

Motivasi korupsi kepala daerah dan jajarannya bermacam-macam. Namun menurut Orin, mayoritas diniatkan agar meraih balik modal dari duit yang terpakai untuk Pilkada.

“Bisa juga untuk menjamin kelanggengan kekuasaan ke depan, apalagi jika keterpilihannya didapatkan dengan cara-cara yang tidak sehat,” tutur Orin.

Orin menilai, pengawasan internal di pemda bisa saja melempem akibat konflik kepentingan atau relasi kuasa dengan kepala daerah. Di satu sisi, Orin menilai pengawasan dijalankan aparat penegak hukum di daerah seharusnya bisa lebih ketat.

Termasuk masyarakat dijamin perlindungan jika menemukan atau melaporkan ada dugaan perbuatan korupsi yang dilakukan pemda.

“Memang pengawasan dan partisipasi publik harus dibangun dengan baik, selain juga memperbaiki sistem elektoral agar sehat dan bersih tanpa politik uang,” ucap Orin.

Menurut catatan KPK, sejak 2004 hingga 2023, terdapat 601 kasus korupsi yang terjadi di pemerintah kabupaten/kota serta melibatkan wali kota, bupati dan jajarannya. Indonesia Corruption Watch (ICW) turut mencatat sepanjang 2021-2023, sedikitnya terjadi korupsi yang melibatkan 61 kepala daerah. Jumlah ini tentu bisa lebih besar jika menambahkan catatan polisi dan kejaksaan.

Pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu sektor yang paling sering disasar koruptor. KPK mencatat, sejak 2004 sampai 2024, lembaga antirasuah sudah menangani 394 perkara korupsi terkait pengadaan barang atau jasa. Jenis perkara ini menjadi yang tertinggi kedua di bawah kasus gratifikasi/penyuapan dengan 1.035 kasus.

Misalnya pada bulan lalu, KPK menetapkan 4 tersangka baru dugaan korupsi dalam proyek Bandung Smart City. Para tersangka yakni Ema Sumarna selaku Sekretaris Daerah Kota Bandung, serta Riantoro, Achmad Nugraha, dan Ferry Cahyadi Rismafuri selaku Anggota DPRD Kota Bandung periode 2019-2024. Eks Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, sudah jadi terdakwa kasus ini dan terbukti memperkaya diri hingga Rp400 juta dari proyek tersebut.

Kasus lainnya, Januari 2024 lalu, KPK menahan Bupati Labuhan Batu, Sumatera Utara, Erik Adtrada Ritonga, di Jakarta. Erik diduga melakukan korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu. Ia diduga mengintervensi dan aktif dalam berbagai proyek pengadaan di Labuhan Batu.

Tahun lalu, Desember 2023, giliran Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba (AGK), jadi tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. AGK dalam jabatannya selaku Gubernur Maluku Utara berperan menentukan siapa saja pihak kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek pekerjaan. Ia diduga menerima suap sebesar Rp5 miliar dan gratifikasi Rp99,8 miliar.

Pada 2023, KPK juga melakukan OTT dan menangkap Bupati Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, Muhammad Adil, serta puluhan pejabat strategis di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. KPK juga mencocok pihak swasta dalam kasus yang membelit Adil. Ia terjerat 3 klaster dugaan korupsi: setoran uang dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP), pengadaan barang dan jasa proyek pemberangkatan umroh, serta penyuapan.

Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), M Praswad Nugraha, memandang PBJ memang menjadi jenis korupsi dengan peringkat tertinggi yang ditangani KPK. Hal tersebut mengingat dari sisi jumlah alokasi pengadaan di pemerintah, terdapat perputaran uang dengan jumlah sangat besar dan stabil dibandingkan proyek lainnya.

Di sisi lain, komando penganggaran dan pengalokasian sering kali melibatkan aktor-aktor politik sehingga berpotensi jadi sumber pendanaan politik dan pencarian kekayaan pribadi para politisi bermasalah.

“Mempertimbangkan biaya politik yang besar dan hasrat keserakahan pribadi yang tinggi,” kata Abung, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Kamis (10/10/2024).

Selain itu, kata dia, tidak menutup ada permintaan dari pihak pengawas internal dan bahkan aparat penegak hukum. Hal ini yang membuat saat ada OTT kasus pengadaan barang dan jasa, hanya dianggap sebagai ‘hari sial’ belaka karena adanya persepsi bahwa para pejabat lain hampir pasti melakukannya juga.

“Itu yang membuat sulit diberantas,” lanjut dia.

Sebetulnya, kata Abung, apabila pengawas bekerja secara benar, maka akan menjadi quick win pemberantasan potensi korupsi PBJ. Hal tersebut mengingat kejanggalan-kejanggalan dalam pengadaan terkadang tidak terungkap dan tertutupi ketika pengawas diberikan ‘upeti’ sehingga kemampuan deteksi risiko internal tidak berjalan.

Abung menilai, penerapan secara solid proses pengawasan optimal akan menjadi jalan bagi pemberantasan korupsi PBJ di pemerintahan daerah. Sayangnya, hal ini merupakan faktor penting yang sering luput dari diskursus mengenai strategi pemberantasan korupsi PBJ.

“Pengawas yang independen adalah kunci pemberantasan korupsi PBJ,” tegas Abung.

Celah Sistem Pengadaan Barang dan Jasa

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengatakan, PBJ adalah sektor riil pengelolaan keuangan di mana uang negara dibelanjakan. Dalam sektor ini, memang terdapat relasi yang saling bertemu antara kepentingan pengelola dan penyedia pengadaan barang dan jasa.

Penyedia, kata dia, pasti berharap dipilih sebagai pemenang. Adapun PPK sebagai penentu tender, memiliki kewenangan mengelola hal tersebut.

“Sehingga sektor ini walaupun telah berulang kali diperbaiki tetap dicari celahnya untuk dipermainkan,” kata Ghufron kepada reporter Tirto, Kamis (10/10/2024).

Bertemunya persengkongkolan untuk berbuat curang, membuat PPK bisa mengakali sistem yang baik. Bahkan, kata Ghufron, sistem cuma dimanfaatkan demi memenuhi prosedur belaka, namun tetap berbuat curang di belakang.

“KPK dalam proses cegah sifatnya melakukan kajian dan memberikan rekomendasi perbaikan, KPK menghormati dan karenanya tidak bisa dan tidak akan [bisa] secara langsung merubah sistem,” ucap Ghufron.

Pasalnya, sistem PBJ – saat ini juga sudah memakai sistem elektronik – dari perencanaan pengadaan, pelaksanaan, sampai serah terima dan laporan pertanggungjawaban bukan jadi kewenangan KPK.

Ghufron menilai, kasus demi kasus yang terjadi seiring perbaikan sistem PBJ, akan menjadi bahan revisi agar sistem ini lebih baik. Namun sekali lagi, ujarnya, sistem tetap harus secara komprehensif dilaksanakan dengan itikad baik.

“Jika tidak ada itikad baik, sistem malah bisa sebaliknya, menyembunyikan atau bahkan melegalisasi kecurangan dalam PBJ,” terang Ghufron.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz