tirto.id - Olimpiade Tokyo, yang sudah ditunda selama setahun lantaran pandemi, berubah menjadi klaster penyebaran global COVID-19. Sejumlah tim delegasi yang tiba di Tokyo, Jepang dilaporkan terkonfirmasi positif COVID-19.
Melansir Reuters, pada 20 Juni 2021, salah seorang pelatih tim Uganda dilaporkan positif setibanya di bandara Narita. Ia langsung menjalani karantina di fasilitas yang ditunjuk pemerintah. Sementara anggota timnya tetap melanjutkan perjalanan ke kota mereka menginap di Izumisano, Osaka. Pada 23 Juni, otoritas Izumisano melaporkan beberapa atlet Uganda positif COVID-19.
Pada 4 Juli 2021, salah seorang tim dayung Serbia dilaporkan positif saat tiba di Jepang, sementara empat anggota tim lainnya ikut menjalani isolasi lantaran kontak erat. Pada 14 Juli, seorang pemijat tim rugby putri Rusia juga dinyatakan positif, membuat seluruh tim harus menjalani isolasi selama dua hari.
Masih di tanggal yang sama, tim refugee Olimpiade menunda keberangkatannya ke Jepang setelah satu ofisial tim mereka terkonfirmasi positif di Doha, Qatar. Di tanggal yang sama pula, tujuh staf hotel Hamamatsu, Tokyo tempat atlet Brasil menginap, dilaporkan positif COVID-19. Sementara 21 tim rugby Afrika Selatan menjalani isolasi setelah menyakini mereka kontak erat dengan salah satu kasus positif saat penerbangan.
Pada 16 Juli juga dilaporkan beberapa kasus positif di antaranya, petenis Australia Alex de Minaur, kemudian salah seorang delegasi tim Nigeria berusia 60 tahun dan tiga kontraktor Tokyo 2020 yang merupakan warga Jepang.
Potensi jadi Superspeader Global
Ahli kesehatan menilai klaster Olimpiade ini memperlihatkan bahwa mengadakan perhelatan olahraga terbesar di tengah pandemi di negara yang penduduknya belum seluruhnya divaksinasi merupakan risiko besar, Channel News Asia melaporkan.
Tokyo saat ini tengah menghadapi gelombang keempat sejak awal minggu menyusul lonjakan kasus yang terjadi di negara itu. Sebanyak 1.300 kasus baru dilaporkan pada Kamis (15/7/2021), tertinggi dalam enam bulan terakhir. Lantaran hal itu, pihak Olimpiade melarang penonton maupun pendukung untuk mendekat ke seluruh venue pertandingan.
Banyak pihak di Jepang sendiri menilai Olimpiade sebaiknya tidak dilanjutkan lantaran Jepang baru mevaksinasi penuh 18 persen penduduknya.
Kendati Olimpiade yang akan berlangsung akhir bulan ini, memiliki mitigasi seperti pembatasan fisik, pedoman jarak sosial dan pengujian virus untuk mencegah kasus menjadi klaster penyebaran, para ahli merasa itu saja tak cukup. Terlebih dengan adanya varian Delta yang tengah mengganas di dunia.
“Ini nampak seperti adegan pembuka yang sempurna untuk film yang mendebarkan di mana semua orang muak dengan varian Delta di seluruh dunia, dan mereka melacaknya hingga Olimpiade,” kata Peter Chin-Hong, spesialis penyakit menular di University of California, San Francisco kepada Scientific American. “Olimpiade bukan hanya menjadi event potensi superspreading lokal di negara yang kurang divaksinasi, tetapi [mungkin bisa menjadi] event superspreading global.”
Di samping itu, para ahli juga mengkhawatirkan adanya potensi penularan saat pertandingan berlangsung. Dikutip dari Scientific American, dalam New England Journal of Medicine, Michael Osterholm, direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular di University of Minnesota, turut menulis sebuah perspektif, yang pertama kali diterbitkan secara online pada Mei, yang menyerukan pendekatan manajemen risiko berjenjang. Dia dan rekan penulisnya menulis bahwa Komite Olimpiade Internasional (IOC) seharusnya menetapkan aturan yang berbeda untuk tiap cabang olahraga dengan risiko penularan COVID yang tinggi, sedang, atau rendah.
Cabor di luar ruangan yang secara alami membatasi peserta—seperti pertandingan berlayar, memanah, dan berkuda—dapat dianggap berisiko rendah. Sementara cabor berisiko sedang termasuk yang diadakan di luar ruangan tetapi kontak fisik tidak dapat dihindari, yakni rugby, hoki lapangan, dan sepak bola. Cabang olahraga dalam ruangan yang melibatkan kontak dekat, seperti tinju dan gulat, berada dalam kategori berisiko tinggi. Sebagai aturan praktis, setiap cabang olahraga dalam ruangan lebih berisiko daripada yang diadakan di luar ruangan.
Brian McCloskey, ketua panel ahli independen yang memberi saran kepada IOC tentang penanggulangan COVID-19 mengatakan kebijakan Olimpiade dirancang untuk tidak bergantung pada status vaksinasi pemain, yang bervariasi di setiap negara karena akses dan perbedaan kesejahteraan. Beberapa atlet yang dites positif atau diidentifikasi sebagai kontak dekat dari suatu kasus dapat menjalani "karantina adaptif" di mana mereka mengisolasi diri dari rekan satu tim dan staf tetapi masih diizinkan untuk berlatih, katanya, tergantung pada sifat hasil tes dan kontak.
Sehingga menurutnya, cabang olahraga kontak dekat dalam ruangan yang termasuk kategori tinggi tidak mungkin dibatalkan lantaran bukti transmisi dalam penyelenggaraannya lemah.
“Kenyataannya tidak banyak bukti dari seluruh dunia bahwa COVID telah menyebar di lapangan permainan dalam kompetisi,” kata dia.
Osterholm, di lain pihak, amat tidak setuju. Ia mencontohkan di Minnesota, misalnya, puncak kasus pada April 2021 sebagian dipicu oleh acara olahraga sekolah menengah dan sekolah dasar. Laporan kasus lain baru-baru ini mengidentifikasi fasilitas senam di Oklahoma sebagai episentrum wabah yang dipicu oleh varian Delta. Menyebut bahwa olahraga memiliki risiko penularan yang rendah itu mengabaikan risiko di luar kompetisi itu sendiri, kata Osterholm. “Apa yang hilang adalah pemahaman bahwa Olimpiade lebih dari sekadar pertandingan atletik,” katanya.
Menanggapi hal itu, McCloskey mengatakan bahwa bukti yang dikutip hanya menunjukkan hubungan antara aktivitas olahraga dan penularan dan bukan bukti bahwa penularan terjadi selama bermain. Dia menambahkan bahwa buku panduan telah dirancang “untuk mempertimbangkan risiko secara holistik di semua aktivitas yang dilakukan para peserta, baik di dalam maupun di luar lapangan.”
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz