tirto.id - Sejak kepergiannya pada 29 Agustus lalu, pemuda bernama Muhammad Farhan Hamid, tak pernah kembali lagi ke rumah orang tuanya di Koja, Jakarta Utara.
Ayahnya, Hamidi, masih ingat betul bagaimana saat anaknya berpamitan untuk menunaikan Salat Jum’at di Mesjid Istiqlal dan mengikuti prosesi pemakaman seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, yang dilindas mobil taktis (rantis) Brimob saat peristiwa demonstrasi berujung kericuhan itu.
Ponselnya tak aktif dan tak seorang pun teman-temannya mengetahui keberadaan anaknya itu. Ke-sana-ke-mari mencari bantuan, tapi putra kesayangannya itu tak kunjung ditemukan.
Setelah beberapa hari menunggu tanpa hasil, keluarga memutuskan untuk mencari bantuan ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Setiap harinya, Hamidi selalu berharap kabar baik tentang Farhan diperoleh keluarganya.
“Pada perjalanannya, di bulan awal-awal Oktober kita dipanggil oleh tim Cyber karena KontraS dan content creator mengangkat berita ini. Akhirnya viral,” kata Hamidi, Senin (10/11/2025).
Hamidi mengaku juga diminta tak banyak bicara oleh tim kepolisian yang memanggilnya itu. Akan tetapi, dia tak menggubris karena memprioritaskan nasib anaknya.
Hingga pada 28 Oktober 2025, pria paruh baya itu mengaku kembali didatangi oleh pihak kepolisian dari tim Resmob Polda dan kembali dimintai kronologi hilangnya Farhan. Meskipun begitu, Hamidi tak lagi mau menjelaskan sebab telah berulang kali dikatakannya hal ini setiap kali pihak kepolisian menanyainya.
“Dan akhirnya saya bilang, ‘Ini dua bulan anak ini tidak ditemukan. Kalau sampai tiga bulan saya akan membuat resume menuntut kalian’ ke kepolisian maksudnya,” katanya.
Esok harinya (29/10/2025), Hamidi diminta untuk melakukan tes DNA ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati berhubungan dengan penemuan kerangka di Gedung ACC Kwitang.
Hingga pada Jumat, 7 November, polisi kemudian mengumumkan bahwa kerangka manusia yang ditemukan di Gedung ACC Kwitang pada 10 Oktober identik dengan anaknya, Farhan.
Bagi Hamidi, saat itu adalah pukulan terbesar dalam hidupnya. Dia harus menerima jenazah anak yang dicintainya hanya menyisakan tulang belulang. “Betapa sakit dan sedihnya. Apalagi Ayah,” ucap dia.
Selain luka, bagi Hamidi, pengumuman itu juga justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Beragam Kejanggalan Kematian Farhan
Hamidi mengatakan bahwa dirinya sempat diinformasikan terkait penemuan sejumlah barang milik Farhan yang tersisa, di antaranya kalung, ikat pinggang, dan secarik bahan celana.
Hamidi mengatakan, Polisi hanya menyerahkan sebuah kalung, sementara barang lain tidak diberikan.
“Kami minta, jawabannya adalah ‘Buat apa, Pak? Kan di rumah banyak’ [Kata saya] aduh kok bisa begini,” ujarnya.
Selain itu, Hamidi juga merasa semakin janggal karena kalung yang disebut milik Farhan masih utuh dan dalam kondisi baik, sedangkan liontin di dalamnya disebut hangus terbakar. Padahal, katanya, kedua bahan itu harusnya dalam kondisi yang sama apabila terbakar.
“Bagaimana bisa? Kalungnya ini utuh, liontinnya terbakar. Kan bahan yang sama. Secara otomatis, kalau tubuhnya sudah hangus terbakar, ya kalungnya pun setidaknya karena memang bukan semacam emas, bukan barang berharga ya, artinya, ini kan semacam titanium,” kata Hamidi.
“[Kalaupun tidak] ya tentunya ada lah goresan, hitam hitam, bekas terbakar gitu ya, tapi ini enggak,” sambungnya.
Hamidi mengungkap adanya informasi dari sejumlah orang terkait kondisi terakhir Farhan. Katanya, orang tersebut menyebut Farhan terakhir terlihat di sekitar area unjuk rasa dengan kondisi lutut yang tertembak dan membutuhkan pertolongan medis.
“ltu kalau asumsi saya, kalau orang yang tertembak di lutut dan tidak bisa jalan kenapa ditemukan kerangkanya di lantai 2?” katanya lagi.
Hamidi juga mempertanyakan level api yang membakar Gedung ACC Kwitang itu hingga membuat anaknya terbakar.
Menurut hasil konsultasinya bersama dokter forensik, dia menyebut api hanya dapat menghanguskan tubuh manusia di level 4. Sedangkan, api yang menyebabkan terbakarnya Gedung ACC diyakininya tak sebesar itu.
“Api level dua juga tidak bisa menghanguskan secara langsung. Kalau dikatakan Gedung ACC menyala hingga dua tiga hari, kan ngga mungkin, saat itu dipadamkan,” kata dia.
Selain itu, Hamidi juga meragukan penanganan kepolisian karena penanganan dilakukan secara menyeluruh oleh pihak kepolisian. Padahal, demonstrasi saat itu dilakukan sebab merasa kecewa dengan sikap kepolisian yang melakukan tindakan represif.
“Berhadapan lah masyarakat dengan polisi, setelah penemuan dilaporkan ke polisi, yang bawa ke Rumah Sakit, polisi. Di bawa ke RS, Polisi. Kemudian tes DNA oleh kepolisian, yang mengumumkan juga pihak kepolisian. Tidak ada masyarakat sipil selain keluarga,” katanya.
“Jadi mau-tak-mau kami ikut. Ya terima, kan kami tidak bisa menolak,” tuturnya.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































