tirto.id - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) skala besar terjadi di beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan. Musibah yang disengaja itu—karena disebabkan aktivitas manusia—mengakibatkan kabut asap pekat hingga mengganggu kesehatan dan aktivitas warga.
Pada saat bersamaan, pemerintah berkampanye tentang #SawitBaik di media sosial. Dalam keterangan di akun @SawitBaikID, kampanye ini bertujuan untuk “memberikan informasi yang utuh tentang sawit Indonesia.”
Kampanye tersebut didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP), Kemenko Perekonomian, dan Kemkominfo.
Gerakan nasional tersebut dikumandangkan untuk melawan isu negatif terhadap sawit, menumbuhkan kecintaan terhadap sawit dan produk turunannya, serta mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kampanye. Cuitan pertama mereka tercatat pada 3 September 2019.
“Sawit di tingkat nasional adalah penghasil devisa terbesar (22,97 miliar dolar AS tahun 2017) dan juga padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja,” tulis mereka dalam salah satu utas.
Sawit Baik?
Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Purnomo mengatakan tidak semua sawit itu baik, jika merujuk pada beberapa kriteria.
“Indonesia punya ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Ada juga RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Sawit Indonesia sebagian memenuhi kriteria itu, sekitar 40 persen, dan sebagian tidak memenuhi,” ujar Herry kepada reporter Tirto, Selasa (17/9/2019).
Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) itu menerangkan tak sedikit perusahaan yang nekat melakukan budidaya sawit dengan cara yang merugikan masyarakat luas: membakar calon lahan sawit.
Bagi perusahaan, membakar lahan dan hutan untuk dijadikan lahan sawit adalah cara yang paling murah dan mudah. Dengan membakar, pengusaha tidak perlu mengeluarkan uang banyak dengan hasil maksimal. Soalnya, dalam sekali pembakaran, mereka bisa membuat pupuk sekaligus menghilangkan penyakit seperti jamur.
“Membakar itu menguntungkan [bagi si pembakar]. Berdasarkan hasil riset saya di Riau, antara membakar dan tidak membakar, kalau tanpa membakar itu cost-nya per hektare sekitar Rp5,5 juta. Semak belukar harus dibersihkan, kemudian diherbisida,” tutur Herry.
“Tapi kalau membakar, biasanya menyuruh orang lain, ongkosnya itu tidak lebih dari Rp500 ribu. Hanya untuk membayar jasa profesional pembakar,” tambahnya.
Namun tentu saja membakar adalah cara ilegal. Asapnya bisa awet di udara seperti yang terjadi sekarang.
Herry menuturkan lebih lanjut, ada tiga golongan aktor pembakaran hutan dan lahan: petani, individu kaya di daerah, serta korporasi.
“Hasil penelitian saya, petani karena alasan ekonomi, orang kaya individu yang punya lahan ratusan hektare di kawasan hutan dan ingin dapat untung sebanyak-banyaknya, kemudian ada yang terkait dengan korporasi,” ungkapnya.
Tidak Tepat
Aktivis lingkungan dari Greenpeace Kiki Taufik mengatakan kampanye #SawitBaik ala pemerintah tidak tepat sebab berkebalikan dengan kenyataan: kebakaran hutan dan lahan gambut banyak dilakukan oleh pengusaha sawit dan pulp and paper.
Sawit merupakan tanaman yang membutuhkan tanah kering, sedangkan gambut memiliki karakter basah. Jika lahan gambut ditanami sawit, maka lahan itu harus dikeringkan. Lahan kering inilah yang menjadikan lahan mudah terbakar di musim kemarau.
Kepada reporter Tirto, Kiki menjelaskan kebakaran di lahan gambut berpotensi menjadi besar dan akhirnya sulit dipadamkan.
“Karena kalau terjadi di lahan gambut yang dalamnya 10 meter atau 14 meter, maka water bombing sebanyak apa pun tidak akan padam,” ungkap Kiki, Selasa (17/9/2019).
Kiki juga mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya tak sembarangan mengklaim sawit adalah penghasil devisa terbesar. Pemerintah harus ingat, pada 2015 lalu, kebakaran hutan dan lahan yang besar telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp221 triliun.
Menurut catatan Bank Dunia, angka ini dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami 2004 di Aceh. Ini belum termasuk dampak sosial, seperti siswa yang kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah dan kematian akibat kualitas lingkungan hidup yang buruk.
Kiki pun meminta pemerintah untuk menggunakan uangnya untuk menangani kasus karhutla, daripada menghamburkan uang rakyat untuk kampanye sawit.
“Pemadam kebakaran sebanyak apa pun sulit, tinggal menunggu hujan. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyelamatkan warga, terutama warga yang jauh. Kalau di kota besar, mungkin masih mudah mencari dokter. Coba di kampung kecil yang enggak terdeteksi, itu pemerintah abai,” katanya, kesal.
Salah Kaprah
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mendesak pemerintah menjelaskan lebih jauh kampanye sawit baik.
“Sawit baik itu jika tidak di kawasan hutan, sawit baik itu jika menyejahterakan masyarakat lokal, sawit baik itu kalau tidak menggusur masyarakat adat atau tanah rakyat,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (17/9/2019).
Kampanye #SawitBaik yang dilakukan pemerintah ini tentu berbeda dengan kenyataan yang ada, yakni: perizinan yang tidak transparan di wilayah berhutan dan gambut, perusahaan yang tak mau keluar uang dan memilih membakar lahan, serta memaksa sawit ditanam di lahan gambut.
“Kebakaran hutan dan lahan itu banyak terjadi di dekat konsesi perusahaan. Kalau seperti ini, kan, jadi sawit tidak baik,” tuturnya.
Achmad bilang, institusinya sudah sangat banyak menemukan wilayah konsesi yang dibakar, lalu tahun berikutnya sudah jadi perkebunan sawit. “Pemerintah lihat itu bagaimana? Kalau wilayah itu terbakar kan harusnya dipulihkan, bukan menjadi tanaman sawit.”
Di kampanye #SawitBaik, pemerintah mengatakan bahwa sawit menyejahterakan rakyat. Achmad tidak sepakat karena itu hanya bisa terjadi jika penguasaan lahan tidak timpang. Yang terjadi sekarang, korporasi menguasai lahan sangat luas, sementara masyarakat “dapat remah-remahnya.”
Pemerintah seharusnya menegakkan kembali aturan sertifikasi, kata Achmad, sebab yang terjadi saat ini perusahaan bersertifikat pun wilayahnya terbakar.
“Kadang saya juga melihat sertifikasi ini enggak berguna. Banyak perusahaan yang mendapat sertifikasi RSPO atau ISPO, tapi kok wilayahnya kebakar? Harusnya kalau mereka punya sertifikat RSPO atau ISPO, mereka harusnya bebas dari kebakaran,” ungkapnya.
Ketimbang kampanye #SawitBaik, pemerintah harusnya menggunakan waktu moratorium sawit ini untuk mengevaluasi diri dan menegakkan hukum.
“Kebakaran ini kan terjadi setiap tahun. Kalau kita bilang itu, Indonesia punya tiga musim: musim penghujan, musim kemarau, dan musim kebakaran hutan,” ujarnya, sarkas.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan kampanye #SawitBaik harus dilakukan untuk melawan kampanye negatif dari asing.
“Media sosial telah menjadi media penyebaran berita negatif tentang sawit dan membuat citra buruk tentang Indonesia. Karena itu, harus ada upaya kampanye positif yang intensif tentang sawit di media sosial,” ujar Misbakhun, seperti dikutip dari Antara, Selasa (17/9/2019).
Penulis: Widia Primastika
Editor: Rio Apinino