Menuju konten utama

Dua Hal yang Tak Dibahas PSI dalam Video Dukung Sawit

PSI merilis video tentang sawit yang punya tujuan menstabilkan rupiah. Tapi, ada dua hal yang luput dibahas PSI tentang bahaya sawit.

Dua Hal yang Tak Dibahas PSI dalam Video Dukung Sawit
Buruh memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di lahan perkebunan Merlung, Tanjungjabung Barat, Jambi, Minggu (29/10/2017). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

tirto.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merilis sebuah video singkat soal dukungan mereka terhadap industri sawit di Indonesia. Dalam video berjudul "Gadget Murah Karena Sawit", PSI membuat narasi sawit menyumbang devisa yang besar dan dapat memperkuat nilai rupiah terhadap dolar. Implikasinya, harga gawai yang diimpor dari luar negeri akan semakin murah.

Rizal Calvary Marimbo, Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi, Industri, dan Bisnis PSI menyebut video itu fokus pada salah satu upaya menstabilkan rupiah dengan salah satu caranya, menggenjot ekspor.

“Ini semacam insentif agar defisit perdagangan kita kembali bisa diperkecil untuk memperkuat rupiah,” kata Rizal keterangan tertulis yang diterima Tirto, Sabtu (15/9/2018).

Rizal berkata, kekuatan ekonomi Indonesia masih bertumpu kepada industri sawit. Pada 2017 saja, dia mengklaim, industri sawit menyumbang devisa sebesar 23 miliar dolar AS atau setara Rp300 triliun.

Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik yang dirilis pada 15 Januari 2018, total ekspor non-migas nasional periode Januari hingga Desember 2017 mencapai sebesar USD 152,9 miliar di tahun yang sama juga berasal salah salah satunya dari industri sawit.

“Dalam "era Pasca Migas", industri sawit menjadi primadona disusul pariwisata. Kita tak bisa menampik kenyataan, bahwa penyumbang pada penyehatan neraca perdagangan RI adalah sawit,” tutur Rizal.

Rizal dan PSI boleh saja berkomentar demikian. Namun menurut Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyu Perdana, pernyataan itu sangat parsial. Ada dua hal yang luput dibahas PSI dalam video itu: Abai terhadap kepentingan publik yang lebih luas serta dampak industri sawit terhadap lingkungan.

Dari sisi ekonomi, menurut Wahyu, klaim soal kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional tidak tepat dan tak bisa dijadikan dasar kebijakan tunggal. Sebagian besar devisa hasil ekspor justru disimpan di negara-negara suaka pajak (tax haven countries).

Ini, kata dia, bisa dibuktikan dari lemahnya kepatuhan perusahaan sawit terhadap pajak. “Pada 2015, tercatat tingkat kepatuhan perusahaan hanya 46,34%. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp18 triliun setiap tahunnya dari ketidakpatuhan tersebut,” ucap Wahyu kepada reporter Tirto.

Keterangan Wahyu sejalan dengan keterangan KPK yang sempat merilis laporan adanya sekitar 63 ribu wajib pajak di sektor industri sawit yang bermasalah, pada pertengahan Mei 2018. Dalam laporan itu, KPK menjelaskan dugaan penghindaran setoran pajak dan pemungutan yang tak optimal dari Direktorat Jenderal Pajak.

Data-data terkait ketidakpatuhan itu juga dapat dilihat dari laporan KPK yang dirilis pada 2016 tentang Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit.

Dari laporan tersebut, dapat dilihat bahwa pengelolaan dana perkebunan sawit justru juga kembali pada korporasi. Kebijakan pengelolaan dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk pengembangan perkebunan sawit rakyat malah dialihkan untuk kepentingan pengembangan industri biodiesel berupa program subsidi kepada perusahaan biodiesel.

Dana tersebut, berdasarkan catatan KPK, diperoleh lima perusahaan sawit berskala besar pada 2017 lalu, yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, Darmex Agro Group, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).

Infografik Ekspansi Lahan Sawit

Kerusakan Lingkungan Hidup

Masalah menyangkut sawit juga bukan hanya dari sisi ekonomi. Industri sawit juga memiliki andil penyebab kebakaran di kawasan ekosistem rawa gambut yang membuat kota-kota di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan tertutup kabut asap.

Pada Agustus 2018, WALHI juga menemukan banyak lokasi titik api yang berada di dalam lahan konsesi perkebunan kelapa Sawit. (Laporan WALHI Kalimantan Barat bersumber: Hotspot NASA)

“Kota Pontianak sampai meliburkan semua anak sekolah karena dampak asap yang semakin tinggi. Di Kalimantan Barat sebagai wilayah titik api tertinggi hingga Agustus 2018 terdapat 102 titik api di konsesi perkebunan kelapa sawit,” jelas Wahyu.

Data yang diolah WALHI dari berbagai sumber, terang Wahyu, "diketahui bahwa 4.389.757 hektare ekosistem gambut secara langsung dirusak oleh sebanyak 291 perusahaan, yang terdiri dari 193 perusahaan sawit."

Temuan WALHI diperkuat dengan data Sawit Watch. Luas perkebunan sawit hingga tahun 2017 adalah 16,189 juta hektare (ha). Ironisnya, hanya 35% yang merupakan perkebunan rakyat, sementara 65% lainnya merupakan perkebunan besar yang dikuasai oleh korporasi.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan ada 10 juta buruh yang bekerja tidak terlindungi bahkan diperlakukan layaknya sistem perbudakan yang masih mewarisi sistem kolonial Belanda di lahan korporasi.

Pada sisi lain, belasan juta hektare perkebunan kelapa sawit itu juga telah merubah fungsi kawasan hutan, menggusur rakyat dari hak dan wilayah kelolanya, menggusur lahan pertanian dan lahan pangan. "Sementara impor bahan pangan pokok terus berlangsung," kata Inda.

Baca juga artikel terkait PSI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih