tirto.id - Pemerintah Indonesia telah melarang warga negara India masuk karena mutasi COVID-19 dan lonjakan penularan di sana dalam taraf berbahaya. Perdana Menteri India Narendra Modi mengibaratkannya seperti "diterpa badai".
Sebanyak 32 warga India yang datang setelah larangan berlaku pada pekan lalu dideportasi. Sedangkan WNI dari India diwajibkan isolasi mandiri selama 14 hari sebelum diperbolehkan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.
Di tengah pengetatan pintu masuk tersebut, terjadi kasus penyogokan. Seorang WNI berinisial JD yang datang dari India menyogok petugas Bandara Soekarno-Hatta agar tidak dikarantina. Dan berhasil.
Kapolres Bandara Soekarno-Hatta Kombes Pol Adi Ferdian Saputra mengatakan dua petugas bandara berinisial S dan RW diduga memberikan kartu bebas melintas bandara kepada JD agar lolos dari pengawasan. "Kalau dari pass (izin) bandara yang ada pada mereka, di pass tersebut [tertulis] Dinas Pariwisata DKI," ucap kata Kombes Adi Ferdian Saputra, Selasa (27/4/2021).
JD tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Minggu (25/4/201) pukul 18.45. S dan RW-lah yang mengurus pemberkasan JD. Atas 'jasa' tersebut, JD "membayar Rp6,5 juta kepada saudara S," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus.
Saat ini JD, S, dan RW diamankan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Berulang
Satgas Penanggulangan COVID-19 mengecam praktik seperti ini. "Satgas tidak bisa menolerir kemunculan oknum yang memanfaatkan keadaan dengan melakukan penyalahgunaan. Jangan pernah berani bermain dengan nyawa karena satu nyawa sangat berarti dan tak ternilai harganya," kata Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito, Selasa (27/4/2021).
Wiku kembali mengingatkan bahwa kebijakan karantina 14 hari bagi WNI yang tiba dari India adalah upaya mencegah imported cases. Satgas berharap WNI dari India patuh dengan ketentuan tersebut.
"Untuk keselamatan kita bersama. Jangan sekalipun mencoba untuk melakukan hal yang melanggar ketentuan ini dan berpotensi mendapatkan konsekuensi hukum," kata Wiku.
Masalahnya kasus seperti ini bukan kali pertama. Awal Januari lalu, saat aturan penerbangan mewajibkan tes PCR, terkuak ada sindikat pemalsu surat PCR, juga di Bandara Soekarno-Hatta. Kasus ini melibatkan 15 orang, termasuk pegawai bandara.
Sindikat ini telah bekerja sejak Oktober 2020. Sejak saat itu hingga kasusnya terbongkar, mereka telah meraup keuntungan hingga Rp500 juta.
Pemalsu tes COVID-19 juga terdapat di daerah lain. Pada Januari 2021, Polres Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, menangkap tiga pria pemalsu surat rapid tes. Lalu di Surabaya, polisi membongkar sindikat pemalsu surat tes rapid kepada penumpang kapal seharga Rp100 ribu. Di Jember, penjual surat keterangan rapid test antibodi dan antigen palsu adalah seorang mahasiswa berusia 24 tahun.
Tsunami Corona di India
Para ahli kesehatan menyebut dalam beberapa pekan terakhir India sedang mengalami tsunami COVID-19. Hal ini terjadi setelah kebijakan pelonggaran, terutama untuk aktivitas keagamaan. Menurut data pemantau COVID-19, kasus harian tertinggi selama pandemi di India terjadi pada 25 April 2021, menyentuh angka 354.531.
Warga yang terkena COVID-19 di India dilaporkan mengalami kekurangan tabung oksigen, tempat tidur, dan bahkan krematorium penuh. Setiap hari ribuan kematian terjadi bahkan membuat kremasi jenazah terpaksa dilakukan di tanah lapang.
Situasi seperti inilah berusaha dihindari Indonesia, yang juga pernah hampir kekurangan lahan kuburan khusus COVID-19, dengan melarang WNA India masuk.
Bertepatan dengan pengumuman larangan, terjadilah eksodus WNA India ke Indonesia. Sebanyak 132 WNA India masuk dan kini dikarantina. Dari jumlah tersebut, 12 di antaranya terdeteksi positif COVID-19.
Larangan WNA dari India berlaku sementara tanpa batas waktu, mengikuti perkembangan situasi penanganan Corona di negeri dengan penduduk terbesar kedua di dunia tersebut.
Editor: Rio Apinino