tirto.id - Jumat siang lalu, 14 April, di Masjid Raya Al-Ittihad, sejumlah orang mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Sesudahnya, mereka menggelar konferensi pers 'Tamasya Al-Maidah'.
Berdasar pantauan reporter Tirto, sejak pukul 13.40, sejumlah orang telah berkumpul di masjid yang terletak di daerah Tebet itu. Mayoritas mengenakan baju koko putih dan berkumpul di sekitar panggung acara deklarasi.
Sebuah spanduk membentang di panggung tersebut: “Jamaah Masjid, Musholla, dan Majelis Ta'lim se-Kecamatan Tebet untuk Anies-Sandi.” Beberapa ulama hadir di sana seperti Habib Ali Abdurrahman Assegaf, KH Abdul Rosyid Abdullah Syafe'i, dan KH Muhammad Nasir Zein.
Di deklarasi itu, Assegaf mengajak masyarakat untuk memilih Anies-Sandiaga. “Wajib orang mukmin memilih seorang imam, seorang gubernur. Hanya Tuhan saja yang tidak diwajibkan apa pun.”
Assegaf menjelaskan pilihan warga muslim di DKI Jakarta ialah bagian dari “upaya menegakkan agama.” Menurutnya, memilih pemimpin non-muslim adalah perbuatan dosa, meski ia menambahkan tidak memaksa semua muslim mengikuti pendapatnya ini.
”Semoga DKI bisa dimenangkan oleh seorang gubernur muslim,” ujar dia.
Pernyataan dukungan untuk memilih gubenur muslim bukan kali pertama terjadi di masjid Al-Ittihad.
Pada 17 Maret 2017, redaksi Tirto menurunkan laporan bahwa di tempat yang sama, dalam satu salat Jumat, pengurus masjid mengumumkan butuh relawan buat menjaga Tempat Pengumutan Suara, terutama di daerah Tebet Barat dan Menteng Dalam, demi “memenangkan gubernur muslim.” (Dalam putaran pertama, Menteng Dalam dimenangkan pasangan Anies-Sandiaga, sementara Tebet Barat dimenangkan Ahok-Djarot)
Tak hanya di Masjid Raya Al-Ittihad, di Masjid Agung Al-Azhar, sejumlah orang yang menamakan diri Panitia Wisata Al-Maidah menggelar konfrensi pers di Aula Buya Hamka pada 17 April lalu dua hari menjelang pencoblosan.
Inti pesan dari konferensi pers yang dihadiri Idrus Jamalullail, Amien Rais, Eggi Sudjana, dan Ansufri Idrus Sambo itu ialah “mengawal Pilkada dari kecurangan dan memilih pemimpin muslim.”
Masjid di Kebayoran Baru ini selama Pilkada DKI Jakarta memang jadi salah satu episentrum gerakan umat Islam. Termasuk simpul massa dalam apa yang dinamakan aksi bela Islam, aksi bela ulama, hingga diskusi politik memilih pemimpin muslim.
Namun, bila disebut para pengurus Masjid Al-Azhar sebagai inisiator gerakan 'Wisata Al-Maidah', takmir masjid Shobahussurur menolaknya. Meski begitu, Shobah tidak keberatan bila masjid digunakan buat basis gerakan politik umat Islam.
“Masjid ini tidak tabu dengan urusan politik. Tidak lalai,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (18/04).
Proses penggunaan Aula Buya Hamka sebagai tempat konferensi pers Wisata Al-Maidah tidak bersifat formal. Panitia, kata Shobah, hanya menyampaikan permohonan penggunaan tempat secara lisan. Kelonggaran izin ini, menurut Shobah, wujud dukungan masjid terhadap gerakan politik umat Islam. Namun ia menolak jika hal ini ditafsirkan sebagai politik praktis.
“Bagaimana sih ajaran Islam itu, termasuk dalam memilih pemimpin? Masjid Agung Al-azhar berkepentingan memberikan arahan kepada jemaah bagaimana seharusnya memilih pemimpin. Kriteria apa, tetapi tidak menyebutkan (nama calon),” ujarnya.
Menurut Shobah, bila ada orang yang ingin bikin acara di Masjid Al-Azhar, hal demikian wajar mengingat sejak lama masjid ini telah lama dikenal sebagai basis gerakan umat Islam bahkan sejak zaman Sukarno.
Masjid Al-Azhar dibangun pada 1958 atas usaha para tokoh Masyumi, sebuah partai yang dibentuk pada 1945 buat menyatukan umat Islam di bawah pimpinan ulama karismatik Mohammad Natsir.
Dalam pandangan Shobah, apa yang disebut aksi Wisata Al-Maidah di hari pencoblosan tak perlu dicurigai secara berlebihan. Sepanjang tidak berbuat onar, setiap orang berhak datang ke Jakarta, termasuk memantau jalannya pemungutan suara. Alih-alih bersikap represif, ia justru mendorong aparat meningkatkan pengamanan dengan cara persuasif.
“Apa pun akhirnya keputusan atau hasil Pilkada, itulah ketetapan yang harus kita terima,” pesannya.
(Baca: Serba-Serbi Rencana Penyelenggaraan 'Tamasya Al-Maidah')
Peran Roestam Amiruddin
Roestam Amiruddin, pengurus teras Masjid Al-Ittihad, berperan dalam menggalang suara untuk gubernur muslim. Misalnya, bakda zuhur, Selasa kemarin (18/4), Roestam mengatakan pihaknya akan melaksanakan 'Tamasya Al-Maidah'. Tetapi bentuk kegiatannya dilaksanakan di masjid seperti salat malam, salat subuh berjemaah, dan berzikir.
“Semoga dengan doa kita, insyaallah akan terpilih gubernur muslim,” kata Roestam, menambahkan bahwa ia menunggu “intruksi dari GNPF MUI” buat kegiatan selanjutnya. GNPF adalah akronim Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, organisasi yang dibentuk para penggerak demonstrasi anti-Ahok.
Roestam juga bekerja sebagai staf ahli Elnino M Husein Mohi, politikus Gerindra dari Gorontalo, yang bertugas di Komisi I (luar negeri, pertahanan, telekomunikasi dan informatika).
Saat dikonfirmasi reporter Tirto melalui telepon sebanyak dua kali, Roestam berkelit salah sambung. Padahal, nomor tersebut diberikan langsung olehnya kepada reporter Tirto saat liputan ke Masjid Al-Ittihad pada 22 Februari lalu.
Saat ditanya ketua Dewan Pembina DPP Gerindra Prabowo Subianto, ia bilang ia tak mengenal Roestam. Begitu pula wakil ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi Muhammad Taufik.
“Tanya orangnya langsung, dong,” kata Taufik saat makan malam bersama Prabowo Subianto, Sohibul Iman, Zulkifli Hasan, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, dan para pendukung partai pengusung.
“Enggak ada urusan sama Gerindra. Emang kenapa? Orang kumpul bisa di mana saja, di tempat kopi dan sebagainya,” kata Taufik. “Ini, kan, masalah umat Islam, bukan masalah Gerindra. Dan enggak ada hubungan sama Pilkada. Orang Islam berhak marah.”
==========
Catatan: Redaksi Tirto sebelumnya menurunkan sejumlah laporan yang menjelaskan bagaimana rumah-rumah ibadah, termasuk gereja, dipakai atau turut serta sebagai ruang politis buat menggiring jemaahnya memilih kandidat gubernur dan wakil gubernur dalam pertarungan Pilkada Jakarta. Sentimen agama menjadi ciri menonjol dalam Pilkada Jakarta 2017. Gerakan-gerakan Islam, yang mencerminkan spektrum politik Islam pasca-Orde Baru, menyatu dalam isu tuduhan penodaan agama yang dilakukan Ahok. Mereka menggalang demonstrasi damai apa yang disebut Aksi Bela Islam secara berseri di pengujung tahun. Masjid tak terkecuali dipakai sebagai titik simpul dari massa aksi dan menjadi arena suara politik.
Penulis: Jay Akbar & Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam