Hari ini 7.218.254 warga Jakarta memilih dua pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur buat mengemban amanat publik buat lima tahun ke depan. Baik Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi telah menjalankan kegiatan kampanye bersama tim sukses dan relawan mereka, sejak mereka mencalonkan diri sebagai pasangan pemimpin Jakarta, enam bulan lalu.
Sepanjang perjalanannya, ini adalah gelaran Pilkada DKI Jakarta yang paling menciptakan kegaduhan. Sentimen agama dan rasial naik sejalan putaran yang memanas, gelombang demonstrasi di Jakarta dengan identitas keagamaan yang kuat, tuduhan penodaan agama, yang secara langsung membuat polarisasi bahkan memecah belah hubungan antar-keluarga serta sampai-sampai menolak menyalati jenazah yang mendukung salah satu pasangan kandidat.
Redaksi Tirto sejak November 2016 hingga menjelang hari pencoblosan putaran kedua, 19 April hari ini, terus-menerus memantau perkembangan Pilkada Jakarta, sebagaimana dilakukan pula oleh mayoritas media di Indonesia. Kami menurunkan laporan soal aksi-aksi demonstrasi yang menarik umat muslim Indonesia ke Jakarta. Kami juga melaporkan beragam hal, dari penggusuran permukiman penduduk Jakarta yang dipindahkan ke rumah susun hingga isu sampah makanan di ibukota, dari problem transportasi umum hingga tata ruang kota yang dipadati oleh ratusan mal.
Lantaran sentimen rasial dan agama lebih banyak terlihat oleh publik dari kegaduhan Pilkada Jakarta, isu-isu substansial yang menjadi problem-problem mendasar ibukota seakan-akan terabaikan, betapapun isu-isu ini disinggung dalam debat pasangan calon di televisi dan tentu menjadi janji-janji mereka dalam kampanye di basis massa.
Karena itulah, sebagai media yang punya peran memantau kekuasaan dan menguji setiap ucapan, redaksi Tirto serta seluruh tim multimedia plus terutama peran divisi riset kami, melakukan apa yang kami sebut "Periksa Data dan Fakta" yang disampaikan oleh pejabat publik. Dengan informasi yang melimpah dan mudah diakses berkat internet, kerja memeriksa macam itu bisa cepat dilakukan, dan hal ini memang menjadi salah satu dasar dari proses kerja jurnalisme.
Tujuannya, biar pejabat publik, termasuk calon gubernur dan wakil gubernur ini, tidak asal omong. Apalagi media sosial sejak kemunculannya telah dianggap sebagai pusat omelan terhadap apa pun termasuk polah pejabat publik. Dan Jakarta, salah satu kota terpadat di dunia, merupakan pengguna aktif media sosial baik Facebook maupun Twitter. Media massa sekarang, juga para pejabat publik, tidak bisa lagi memonopoli informasi dan, karena itu, ia bukan subjek yang abai dari kritik.
Namun, tentu saja, Indonesia bukan hanya Jakarta—sebagaimana sering jadi ucapan klise—untuk mengatakan persoalan negara kepulauan ini terlalu kecil bila sorotan pemberitaan melulu tentang peristiwa (politik) di Jakarta. Dalam beberapa hari atau pekan ke depan, warga Jakarta akan memiliki pemimpin baru ataupun petahana secara definitif, dan kita bisa agak berhenti dari segala macam keramaian yang berpusat di ibukota.
Selamat mencoblos.
======
Sebagian foto bersumber dari Antara
Sepanjang perjalanannya, ini adalah gelaran Pilkada DKI Jakarta yang paling menciptakan kegaduhan. Sentimen agama dan rasial naik sejalan putaran yang memanas, gelombang demonstrasi di Jakarta dengan identitas keagamaan yang kuat, tuduhan penodaan agama, yang secara langsung membuat polarisasi bahkan memecah belah hubungan antar-keluarga serta sampai-sampai menolak menyalati jenazah yang mendukung salah satu pasangan kandidat.
Redaksi Tirto sejak November 2016 hingga menjelang hari pencoblosan putaran kedua, 19 April hari ini, terus-menerus memantau perkembangan Pilkada Jakarta, sebagaimana dilakukan pula oleh mayoritas media di Indonesia. Kami menurunkan laporan soal aksi-aksi demonstrasi yang menarik umat muslim Indonesia ke Jakarta. Kami juga melaporkan beragam hal, dari penggusuran permukiman penduduk Jakarta yang dipindahkan ke rumah susun hingga isu sampah makanan di ibukota, dari problem transportasi umum hingga tata ruang kota yang dipadati oleh ratusan mal.
Lantaran sentimen rasial dan agama lebih banyak terlihat oleh publik dari kegaduhan Pilkada Jakarta, isu-isu substansial yang menjadi problem-problem mendasar ibukota seakan-akan terabaikan, betapapun isu-isu ini disinggung dalam debat pasangan calon di televisi dan tentu menjadi janji-janji mereka dalam kampanye di basis massa.
Karena itulah, sebagai media yang punya peran memantau kekuasaan dan menguji setiap ucapan, redaksi Tirto serta seluruh tim multimedia plus terutama peran divisi riset kami, melakukan apa yang kami sebut "Periksa Data dan Fakta" yang disampaikan oleh pejabat publik. Dengan informasi yang melimpah dan mudah diakses berkat internet, kerja memeriksa macam itu bisa cepat dilakukan, dan hal ini memang menjadi salah satu dasar dari proses kerja jurnalisme.
Tujuannya, biar pejabat publik, termasuk calon gubernur dan wakil gubernur ini, tidak asal omong. Apalagi media sosial sejak kemunculannya telah dianggap sebagai pusat omelan terhadap apa pun termasuk polah pejabat publik. Dan Jakarta, salah satu kota terpadat di dunia, merupakan pengguna aktif media sosial baik Facebook maupun Twitter. Media massa sekarang, juga para pejabat publik, tidak bisa lagi memonopoli informasi dan, karena itu, ia bukan subjek yang abai dari kritik.
Namun, tentu saja, Indonesia bukan hanya Jakarta—sebagaimana sering jadi ucapan klise—untuk mengatakan persoalan negara kepulauan ini terlalu kecil bila sorotan pemberitaan melulu tentang peristiwa (politik) di Jakarta. Dalam beberapa hari atau pekan ke depan, warga Jakarta akan memiliki pemimpin baru ataupun petahana secara definitif, dan kita bisa agak berhenti dari segala macam keramaian yang berpusat di ibukota.
Selamat mencoblos.
======
Sebagian foto bersumber dari Antara