tirto.id - Arbi Putra adalah pekerja swasta asal Cimanggis. Tahun ini, untuk pertama kali dalam hidupnya, Arbi memutuskan meninggalkan masjid saat berlangsung khotbah Jumat. “Khotibnya menjelekkan Syiah. Dia bilang syiah penyebab keburukan,” katanya.
Momen itu terjadi sekitar tiga minggu lalu. Ia sendiri berusia 28 tahun. Ia ingat pertama kali sholat Jumat ketika berusia enam tahun. Selama 22 tahun ia tak pernah protes atau keberatan pada materi khotbah. “Itu pertama kalinya dalam hidup saya keluar dari masjid ketika Jumatan,” katanya.
Kekecewaan ini menarik ditelaah. Belakangan di media sosial, seperti Twitter dan Facebook, banyak orang yang mengaku memutuskan keluar dan meninggalkan salat Jumat. Mereka menganggap masjid tak lagi netral, tak lagi nyaman untuk ibadah. Sejumlah narasumber, tidak hanya Arbi, mengaku khotbah Jumat terlalu politis, menyebar kebencian, kampanye politik, atau bahkan secara nyata mengajak orang melakukan kekerasan.
Pendeknya, banyak orang yang merasa masjid tak lagi sama seperti dulu. Tapi benarkah demikian?
Hamzah Ibnu Dedi, seorang mahasiswa, juga pernah melakukan hal serupa di masjid kampus UGM. Kejadiannya pada 11 Desember 2015, saat itu baru saja terjadi Pilkada serentak di berbagai wilayah, termasuk di Sleman. Ia memutuskan salat Jumat di masjid kampus karena letaknya berdekatan dengan sekretariat organisasi kemahasiswaan. Menurut Hamzah, saat itu khotib membahas tentang demokrasi.
“Ada tuduhan thaghut terus lemah iman karena mengikuti proses demokrasi. Saya memutuskan balik badan terus shalat Dzuhur,” katanya.
Usia Hamzah 20 tahun saat itu. Seperti halnya Arbi, ini pertama kalinya dalam hidup ia memutuskan walk out dari masjid karena keberatan dengan isi khotbah Jumat.
Masjid sebagai Pusat Perlawanan dan (Lantas) Kebencian
Nafi Mutohirin, Direktur Riset Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, mengatakan bahwa masjid menjadi tempat aktivisme politik adalah hal biasa. Baik di Mesir, Turki, maupun Indonesia, masjid selalu menjadi ruang pergerakan, propaganda, ideologisasi, bahkan perekrutan anggota baru kelompok politik Islam.
Cukup banyak tulisan yang representatif untuk menjelaskan kaitan antara gerakan politik dan masjid di Indonesia. Misalnya tulisan Yudi Latief berjudul "The Rapture of Young Muslim Intelligentia in Modernization of Indonesia" di jurnal Studia Islamica. Ada juga tulisan Richard G. Kraince "The Role of Islamic Student Group in the Reformasi Struggle: KAMMI", juga di Studia Islamica vol. 7, 2000. Gerakan politik di masjid inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai aktivis masjid. Karakteristiknya: terdidik, berpikiran luas, melek politik, namun juga relijius.
Nafi menyebutkan fenomena berdirinya Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) yang diketuai Mohammad Natsir adalah bentuk perkawinan politik dan agama. “Sebagai politik balas budi terhadap jasa Natsir yang memuluskan jalan Soeharto ‘menggulingkan’ Sukarno, Soeharto mengabulkan permintaan Natsir yang ingin membangun sejumlah masjid di kampus-kampus negeri,” katanya.
Masjid di kampus inilah yang menjadi awal mula bagi tumbuhnya gerakan politik Islam hingga saat ini. Dari sanalah berlangsung latihan dan kaderisasi politik bagi mahasiswa yang tergabung dalam organisasi ekstra dan intra. Latihan Mujahid Dakwah (LMD) dilakukan langsung di bawah pembinaan M. Natsir dan para pengurus periode pertama DDII.
“Pergerakan politik di masjid kampus, yang saya sebut sebagai retorika ketakwaan, itu yang kini dilanjutkan gerakan Tarbiyah (KAMMI/LDK/PKS) melalui penguasaan masjid-masjid kampus negeri,” katanya.
Di masjid ini, mereka membenihkan pikiran-pikiran politik Islam Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, dan al-Maududi yang kemudian menjadi ideologi mereka. Tak hanya menjadi tempat salat atau berdzikir, masjid kemudian juga menjadi tempat studi, kajian, diskusi, hingga seminar.
Namun, mahasiswa bukan satu-satunya kelompok yang kemudian berusaha memanfaatkan masjid sebagai tempat kaderisasi dan penanaman ideologi politik. Masjid juga menjadi tempat persemaian ide-ide melawan rezim pemerintah.
Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu buktinya, meski untuk kasus Tanjung Priok lokasinya bukan di Masjid tapi di musala. Berdasarkan laporan versi Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tanjung Priok, tragedi itu punya latar belakang yang panjang.
Dimulai pada bulan puasa Juni 1984 telah sering dilakukan rangkaian tarawih yang berisi ceramah bernada keras oleh para mubaligh di musala setempat. Demikian pula dalam perayaan lsra Mi'raj, para mubaligh menyampaikan pidato yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Selain itu ada juga peringatan tentang bahaya kristenisasi, larangan memakai jilbab bagi anak-anak perempuan SMP, SMA negeri, korupsi, sentimen anti Cina serta pengurusan KTP yang sulit.
Puncak peristiwa terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta. Massa melakukan long march untuk menuntut pembebasan rekan-rekannya yang ditahan karena dianggap merusak properti tentara dalam insiden di seputar masuknya tentara ke musala tanpa melepas sepatu. Bentrokan tak terhindarkan. Pemerintah menyebut 18 orang tewas. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) menyebutkan jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang.
Orde Baru di masa itu memang punya sentimen yang negatif terhadap politik Islam. Lingkaran inti yang mengelilingi Suharto memang diisi orang-orang yang punya kecurigaan terhadap ekspresi politik berdasarkan agama. Apalagi pengaruh revolusi Islam di Iran pada 1979, yang membangkitkan ghirah baru bagi kaum muda muslim, memperlihatkan gejala menguatnya politik identitas. Himpunan Mahasiswa Islam terpecah antara yang menerima asas tunggal Pancasila dan yang menolak. Mereka yang menolak kemudian mendirikan Majelis Penyelamatan Organisasi (HMI-MPO).
Sentimen negatif terhadap ekspresi politik Islam itu memuncak pada tragedi Talangsari di Kabupaten Lampung Timur pada 1989. Di bawah kepemimpinan Warsidi, kelompok yang berpusat di Masjid Cihideung itu membangun identitas mandiri yang kemudian dianggap mengancam. Diawali dengan perlawanan terhadap usaha penyelidikan oleh militer terhadap aktivitas kelompok Warsidi, yang berujung pada kematian seorang tentara, tragedi pun terjadi.
A.M. Hendropriyono, yang saat itu Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung, memutuskan untuk bertindak keras. Di sekitar sholat subuh, terjadi penyerbuan oleh militer ke pondok-pondok para pengikut Warsidi. Insiden itu berakhir tragis: 27 orang anggota kelompok Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.
Dalam konteks yang lebih mutakhir, masjid menjadi basis pengembangan paham garis keras dan kerap kali menjadi pembibitan kelompok teroris. Dalam sebuah laporan dari Sydney Morning Herald diketahui simpatisan ISIS di Indonesia menggunakan masjid di dekat Departemen Pertahanan Republik Indonesia untuk lokasi pembaitan anggota. Gejala ini menunjukkan bahwa masjid sebagai lokasi radikalisasi memang nyata adanya.
Dalam Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo, monograf yang diterbitkan Center for the Study of Religion and Culture, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2010), diketahui masjid juga menjadi medan kontestasi politik. Kekuasaan di sini bukan berarti jabatan politik atau teritori, tetapi medan dakwah, yang memperebutkan hegemoni ideologi, mazhab, dan aliran.
Dalam buku itu dikisahkan tentang persaingan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam mencari jemaah. Konteksnya adalah mengembangkan pemikiran Islam masing-masing, yang masih berhaluan moderat. Namun paska 1998, mulai terjadi masjid-masjid yang lama dikuasai oleh Muhammadiyah atau NU dikuasai oleh kelompok-kelompok baru yang orientasi politiknya lebih keras. Mereka mengartikulasikan aspirasi politik dan ideologi keagamaan mereka dengan nada yang agresif, agitatif, dan demonstratif.
Tapi siapakah mereka ini? Pelabelan tak pernah mudah dan ia kerap kali melahirkan polemik.
Tirto.id mencoba mengadopsi pendekatan buku Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo untuk mendefiniskan kelompok ini. Gilles Kepel dalam buku The Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity and Judaism in The Modern World menggunakan kata re-islamization. Tetapi dalam buku Islam Activism, ia memakai istilah “muslim extremism". Sementara Emmanuel Sivan memilih menggunakan istilah “radical Islam”.
Kelompok-kelompok garis keras ini masuk ke dalam masjid-masjid di banyak komunitas lantas melakukan kaderisasi dan seruan kebencian. KH Hasyim Muzadi pada 2009 mengingatkan umat Islam agar waspada terhadap gejala ideologi transnasional.Gerakan transnasional yang dimaksud adalah gerakan seperti Ikhawanul Muslimin, Jaulah , Al-Qaeda, dan Islam Liberal. Menurutnya, ideologi semacam itu bertentangan dengan arus utama Islam Indonesia yang selama ini toleran.
Pada Oktober 2007, bertempat di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, NU menyelenggarakan bahtsul masa'il yang kemudian mengeluarkan rekomendasi tentang perlunya mensertifikasi masjid-masjid NU untuk mencegah pengambilalihan oleh kelompok garis keras. Sementara PP Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pusat (SKPP) Muhammadiyah No.149/Desember 2006 yang bertujuan untuk menjaga amal usaha Muhammadiyah (masjid, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, universitas), agar tidak disusupi kelompok garis keras yang berbeda dengan Muhammadiyah yang moderat.
Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin, menyebut pergeseran ideologi di kalangan para pengurus yang (menguasai/mengendalikan) masjid terjadi setelah munculnya alumni dari Timur Tengah yang lahir dari pendidikan yang keras. Menariknya, ia menyalahkan kebebasan berbicara pascareformasi sebagai salah satu faktor penyebab utama.
“Seperti dulu, yang harus benar-benar keras ditolak adalah mereka yang beraliran militan. Pada zaman Soeharto, itu keras, tegas. Sekarang kalau kita tegas terhadap mereka, kita melanggar HAM. Dengan alasan begitu, bertebaranlah aliran-aliran yang menyimpang itu,” katanya.
Masjid Tak Hanya Soal Politik Identitas
Maka agak naif, setidaknya ahistoris, jika menganggap masjid hanya sekadar tempat beribadah. Sebagai tempat ibadah, masjid sejak lama memeram fungsi-fungsi non-ritual. Di banyak negara, masjid malah menjadi mimbar dan sumbu awal gerakan politik.
Gerakan perlawanan terhadap Orde Baru, seperti terjadi dalam Tragedi Tanjung Priok, juga tak bisa menghapus peran masjid. Cikal bakal kelompok kritis terhadap Orde Baru cukup sering memanfaatkan masjid sebagai medan menyemaikan gagasan kritis.
Masjid Salman ITB, misalnya, pada era 1970an hingga 1980an menjadi tempat yang hidup dengan diskusi-diskusi yang kritis. Semangat pembaruan, tidak hanya pembaruan Islam, tapi juga sistem politik, diakomodasi dengan terbuka.
Tentu saja sentimen politik identitas, dalam hal ini identitas Islam seperti sekarang, tidak terhindarkan. Akan tetapi, diskusi-diskusi dan perdebatan, bahkan penerbitan, tema-tema kritis pun diakomodasi. Pemikiran kiri, yang mencoba memberikan alternatif sistemik, bukan barang haram untuk didiskusikan di Mesjid Salman.
Masjid mustahil netral, dan memang tidak boleh netral, menghadapi berbagai persoalan yang menimpa umat. Hanya saja, gejala mutakhir ini menjadi pelik karena persoalan umat lebih sering dibicarakan dalam kerangka politik identitas Islam. Ketimpangan sosial-ekonomi, misalnya, mestinya mendapat tempat yang cukup dalam diskursus politik di mimbar-mimbar masjid.
Sehingga jika diperlukan, masjid bisa saja menjadi tempat mobilisasi massa untuk menghadang -- katakanlah-- Ahok. Namun, penghadangan itu bukan semata karena ia dianggap menghina Islam, melainkan juga menghadang aparat yang dikerahkan Ahok untuk menggusur kaum miskin dari bantaran sungai Ciliwung.
Ilustrasi di atas akan melengkapi peran masjid sebagai pusat diskursus yang mencoba menyikapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan umat dalam konteks yang jauh lebih besar dari sekadar urusan politik praktis seperti Pilkada.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti