tirto.id - Commoditas dalam akar bahasa latin, commodité dalam bahasa Prancis, dan commodities dalam bahasa Inggris. Komoditas secara sederhana merupakan benda yang bisa diperdagangkan atau dijual-belikan. Mula-mulanya sebutan ini merujuk pada benda secara fisik, namun istilah ini kemudian relevan untuk diletakkan pada aktivitas, seperti jual-beli jasa.
Dalam komoditas, ada beberapa upaya yang digunakan untuk membuat benda yang dijual punya sisi perbedaan agar dilirik. Jika meminjam istilah Kotler dan Keller (2009: 172): “mendiferensiasikan” dari produk pesaing. Salah satunya adalah menempatkan atau menciptakan merek yaitu nama maupun simbol yang menjadi asosiasi dari produk yang menimbulkan maksud psikologis. Jika maksud psikologis itu tercapai, maka merek kemudian menjadi pendorong konsumen untuk memilih suatu produk.
Baru-baru ini (29/3) kegiatan pelatihan pembuatan “Sabun Al-Maidah” yang dihadiri Fery Farhati Ganis, istri calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mendapat sorotan publik. Dalam kegiatan yang diinisiasi komunitas OK OCE di Pejaten Barat ini, Ferry menyatakan bahwa program ini merupakan salah satu bukti bahwa pasangan calon numur urut tiga ini sangat kreatif.
“Kita ini salah satu paslon yang kreatif ya?” ujar Ferry.
Penggunaan istilah dengan mengutip salah satu nama surat dalam Alquran ini bisa dipahami. Salah satu cara melakukan “diferensiasi” produk adalah dengan menggunakan sebuah istilah yang sedang populer. Dalam kasus ini, “Al Maidah” dianggap punya kekuatan sebagai sebuah merek.
Harus diakui, sejak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menggunakannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016, surat Al Maidah, terutama ayat 51, menjadi punya gaung yang lain, menjadi begitu terkenal, baik ayatnya, tafsirnya, dan—ini yang utama—namanya.
Hal ini semakin masif terutama sejak Buni Yani mengunggah video kunjungan Ahok ke Pulau Pramuka yang memunculkan ucapan tentang Al Maidah ini. Video yang sudah dipangkas durasinya itu dengan lekas menjadi viral dan memicu perdebatan dan, akhirnya, gelombang kemarahan. Kemarahan itu mengambil bentuk serial demonstrasi besar-besaran dengan tajuk Aksi Bela Islam. Ahok sendiri menjadi tersangka, kemudian menjadi terdakwa, karena ucapannya itu dianggap telah menistakan agama.
Selain komunitas OK OCE, penggunaan label yang merujuk nama surat yang berarti “Jamuan Hidangan” ini juga digunakan oleh Ardian Syaf, komikus Indonesia yang bekerja untuk DC Comics, Marvel Comics, dan Dynamite Entertainment. Ardian mendadak jadi perhatian karena menorehkan angka “212” pada salah satu panel X-Men Gold #1.
Dalam panel tersebut, Kitty Pryde, salah satu karakter mutan Yahudi, sedang melakukan konfontrasi pada manusia. Di belakang kerumunan, pada gambarnya, terlihat angka “212” di sebuah papan toko yang diduga merujuk pada aksi demontrasi besar-besaran pada 2 November 2016. Aksi lanjutan yang terbesar dari seluruh rangkaian aksi menuntut Ahok dipenjara.
Bahkan dalam kesempatan yang lain, Ardian juga meletakkan pesan tersembunyi di kaos Colossus, salah satu karakter mutan, bertuliskan “QS 5:51”, merujuk surat kelima dan ayat 51 dalam Alquran. Pesan-pesan tersembunyi ini kemudian Ardian mendapat kecaman karena dianggap menyebarkan pesan kebencian.
Penggunaan merek “Al Maidah” juga digunakan dalam aksi Tamasya Al Maidah yang direncanakan akan menjaga TPS-TPS pada pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta 2017, hari Rabu (20/4) mendatang. Acara yang diklaim Ansufri Sambo, Ketua Pelaksana, sebagai upaya untuk menjaga pilkada berjalan adil, jujur, dan demokratis.
Peserta yang (diundang) bergabung rata-rata memang simpatisan atau massa aksi 212, juga aksi-aksi Bela Islam berikutnya, baik dari ormas yang terlibat maupun dari pihak individu. Agar tidak lepas kendali, mengingat jumlah peserta Tamasya Al Maidah akan cukup banyak, dibentuklah sebuah panitia.
“Panitia ini dibentuk agar mobilisasi massa ini bisa menjadi tertib,” ujar Ansufri.
Penggunaan Al Maidah sebenarnya juga tidak hanya digunakan oleh pihak yang tidak menghendaki Ahok kembali menjabat sebagai gubernur di Jakarta saja. Paling tidak, sejak Ahok mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Belitung pada 2007, penggunaan ayat ini juga masif digunakan.
“Ya ada, di seluruh Kabupaten Bangka Belitung,” ujar Eko Cahyono, mantan pasangan Ahok dalam Pilkada Bangka Belitung, mengenai selebaran kutipan surat Al Maidah ayat 51, “Waktu itu simpel saja sebenarnya, mereka mengatakan dilarang memilih pemimpin non muslim. Intinya di situ Yang Mulia,” kata Eko dalam sidang pengadilan Ahok pada 7 Maret silam.
Di sisi lain, pihak Ahok juga sebenarnya menggunakan Al Maidah sebagai merek dalam konteks yang berbeda. Seperti dalam debat putaran kedua Pilkada DKI Jakarta di acara Mata Najwa (27/3), Anies menyebut bahwa Ahok melakukan hal-hal yang tidak perlu dan berpotensi semakin memperburuk situasi. Seperti membuat nama wifi dengan kata “Al-Maidah” dengan kata sandi “kafir”.
Menanggapi masifnya penggunaan istilah “Al Maidah”, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengeluarkan pernyataan bahwa pernyataan Ahok di Pulau Pramuka tidak masuk ke dalam tafsir agama. Bagi LBH, pernyataan Ahok merupakan kritik terhadap subjek hukum yang menggunakan ayat agama untuk kepentingan politik.
Bahkan LBH menganggap bahwa Ahok tidak memenuhi evil mind atau iktikad buruk yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP. Daripada pernyataan langsung Ahok di Pulau Pramuka, penyebarluasan tafsir secara massif di sosial media lebih memiliki kemampuan untuk memicu aksi seperti 411, 212, dan terakhir 313.
Aksi-aksi masa yang pada perkembangannya menjadikan “Al Maidah” sebagai merek dengan konsep diferensial yang cukup kuat. Membuatnya punya kekuatan untuk dilirik oleh konsumen secara psikologis. Dari kegiatan “Tamasya Al Maidah” hingga/dan (terutama) “Sabun Al Maidah”.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi