tirto.id - Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Siti Setiati menyarankan pemerintah mempertimbangkan kebijakan local lockdown atau karantina wilayah selama minimal 14 hari untuk menangani pandemi COVID-19. Cara ini, katanya dalam keterangan tertulis pada 26 Maret lalu, "dapat memutuskan rantai penularan infeksi baik di dalam maupun di luar wilayah."
Karantina wilayah juga "akan memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit."
Karantina wilayah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada Pasal 55 dijelaskan bahwa jika karantina wilayah diberlakukan, maka kebutuhan dasar orang, juga hewan ternak yang ada di wilayah tersebut, "menjadi tanggung jawab pemerintah pusat."
Hal ini diatur karena saat karantina, masyarakat kehilangan pendapatan dan ekonomi pun lumpuh atau setidaknya kurang menggeliat. Ini juga sebagai bentuk tanggung jawab penuh pemerintah terhadap masyarakat.
Siti lantas menyebut perlu uang setidaknya Rp4 triliun jika karantina wilayah diterapkan, misalnya, di Jakarta, yang tidak lain adalah episentrum penyebaran virus. 808 dari 1.677 kasus positif berada di ibu kota. Nominal tersebut diperoleh dengan asumsi ada 9,6 juta penduduk yang mesti ditanggung hidupnya. Mereka diberi makan tiga kali sehari, juga tetap disediakan listrik dan air.
Dengan mempertimbangkan penerimaan pajak negara sebesar ribuan triliun pada tahun lalu, menurutnya angka sebesar itu sangat kecil. "Pengembalian sebagian uang pajak dari rakyat saat pandemi merupakan tindakan wajar," tambahnya.
Kalkulasi dengan angka yang lebih besar datang dari Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels). Direktur Eksekutif Cespels sekaligus dosen ilmu politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengkarantina 9,6 juta warga adalah Rp12 triliun.
"Kira kira butuh makan saja Rp6,7 triliun per 14 hari. Sementara Rp600 miliar untuk kepentingan listrik dan air untuk kebersihan. Sisanya, Rp6 triliun, itu untuk kebutuhan biaya kesehatan. Jadi dengan itu kebutuhan pokok warga terjamin, untuk urusan lain juga terjamin," katanya kepada reporter Tirto.
Ubedilah mengatakan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu bukan perkara susah bagi DKI. Anggarannya bisa diambil dari biaya perjalanan dinas pejabat--yang praktis tidak terpakai selama pandemi--juga dana infrastruktur.
"Saya sudah kalkulasi APBD Jakarta Rp87 triliun itu Rp10 persennya bisa dialihkan ke kepentingan karantina wilayah. Kalau diambil dari biaya perjalanan dinas dan biaya renovasi itu bisa Rp8 triliun. Nah, sisanya, Rp4 triliun bisa minta dari pemerintah pusat. Kan kalau karantina mereka wajib memenuhi kebutuhan dasar," katanya.
Uang Dari Mana?
Memang sejauh ini belum ada daerah yang resmi dikarantina. Pemprov DKI pernah mengajukan itu, tapi ditolak mentah-mentah oleh pusat.
Selasa pagi, 31 Maret 2020, Istana resmi menolak permintaan lockdown lokal karena menurut Juru bicara Presiden Fadjroel Rachman sudah diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran COVID-19.
PSBB juga diatur dalam UU Kekarantinaan. Bedanya dengan karantina wilayah, PSBB tidak mengatur kewajiban pemerintah pusat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Meski ditolak, bukan tidak mungkin di kemudian hari pemerintah pusat menerapkannya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan pada Selasa (31/3/2020) kemarin akan ada keputusan mengenai karantina wilayah pekan ini. "Kita akan lihat istilahnya nanti apa," katanya. Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan karantina wilayah sudah ditampung dalam peraturan baru yang diteken Jokowi dan tinggal diputuskan secara spesifik jika memang dibutuhkan.
Jika Jakarta benar-benar dikarantina, nampaknya pemprov dan legislatif tak perlu menghitung biaya untuk menanggung kehidupan warga dari nol. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani mengatakan hal itu sudah dilakukan. Bahkan sudah ada usulan detail mana saja pos anggaran yang akan direalokasi, katanya.
"Anggarannya dari pengalihan program non-prioritas, kujungan kerja, dan CSR per BUMD Rp500 juta-Rp1 miliar," kata Zita kepada reporter Tirto, Kamis (2/4/2020).
Dari perhitungan itu, setidaknya ada Rp5 triliun bisa diperoleh, katanya--lebih besar dari skema Ketua DGB FK UI.
Zita juga mengatakan kebijakan ini dapat segera direalisasikan karena Menteri Keuangan sudah mengizinkan pemerintah daerah merombak alokasi anggaran, sepanjang itu dalam rangka penanganan COVID-19.
"Sudah ada PP-nya juga. Ya segera saja dibuat rencananya, bagaimana jaring sosial ini. Warga mau kok tinggal di rumah tapi dijamin," pungkasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino