Menuju konten utama

Layakkah Royalti Musik Menyasar Acara Pernikahan?

Polemik royalti musik di acara pernikahan memicu protes warga dan kritik musisi. Tak semua sepakat soal pungutan royalti musik 2 persen dari WAMI.

Layakkah Royalti Musik Menyasar Acara Pernikahan?
Header Musik di Pernikahan. tirto.id/Quita

tirto.id - Polemik soal royalti musik terus berkembang dan menyasar beragam kelompok. Wahana Musik Indonesia (WAMI) menegaskan bahwa pihaknya akan memungut pembayaran dari setiap acara pernikahan yang memutar lagu berlisensi sebagai bentuk kontribusi atas royalti.

Head of Corporate Communication WAMI, Robert Mulyarahardja, menjelaskan duduk perkara soal pungutan pembiayaan pernikahan yang sempat ramai di media sosial. Robert menegaskan seorang musisi mesti mendapatkan bayaran apabila lagu atau musiknya diputar di ruang publik.

“Ketika ada musik yang digunakan di ruang publik, maka ada hak pencipta yang harus dibayarkan. Prinsipnya seperti itu,” Robert kepada Tirto melalui aplikasi perpesanan, Rabu (13/8/2025).

Robert menerangkan bahwa pernikahan yang merupakan acara langsung atau live event dan sifatnya tidak berbayar. Namun akan tetap dikenakan kewajiban membayar royalti dengan dasar biaya produksi acara. Dia menjelaskan basis dari perhitungan dari sewa produksi dilandaskan pada sewa sound system, backline, fee penampil, dan lain-lain.

"Untuk pernikahan yang sifatnya live event dan tidak berbayar, itu tarifnya dua persen dari biaya produksinya," jelasnya.

WAMI merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang manajemen kolektif untuk pengelolaan hak cipta lagu atau musik. Singkatnya, lembaga ini berfungsi untuk mengumpulkan royalti dari penggunaan musik di berbagai media, kemudian mendistribusikan royaltinya kepada pemilik hak cipta lagu.

WAMI merupakan bagian dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia. LMK ini adalah lembaga bentukan pemerintah yang mengelola penarikan remunerasi atas hak terkait musik yang digunakan secara komersial. Pembentukan dan pengaturannya berdasarkan pada Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.

Ilustrasi copyright pada musik

Ilustrasi copyright pada musik. FOTO/iStockphoto

Robert menambahkan bahwa penanggung jawab yang berkewajiban untuk membayar royalti ialah penyelenggara acara, bukan penyanyi yang mengisi acara pernikahan. Pembayaran kepada LMK Nasional (LMKN) disertai dengan lampiran daftar lagu yang dipakai di acara tersebut.

Dia menambahkan tata cara dan mekanisme pembayaran setiap penyelenggara pernikahan yang ingin memutar lagu-lagu berlisensi dapat membayarkannya kepada LMK. Setelah itu, LMK menyalurkan royalti itu kepada komposer yang bersangkutan.

“Pembayaran ini kemudian disalurkan LMKN kepada LMK yang berada di bawah naungan LMKN, dan kemudian LMK menyalurkan royalti tersebut kepada komposer yang bersangkutan,” terangnya.

Kebijakan dari WAMI tersebut menuai protes dari masyarakat yang beranggapan ada upaya pemalakan dari pembayaran royalti dari acara yang bersifat privat.

Sementara para musisi juga mengeluhkan kinerja WAMI. Ari Lasso menjadi salah satu yang paling vokal mempertanyakan transparansi royalti lagu ini. Unggahannya di media sosial mendapat banyak dukungan dari rekan musisi lainnya yang kemudian mengarah ke tuntutan WAMI untuk menjalani proses audit.

Soal Hak Cipta Bukan Hanya Perkara Royalti, Tapi Sosial dan Budaya

Dari persoalan royalti musik yang kemudian memunculkan kritik dari para pelakunya, pemerintah kemudian turun tangan. Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, menyebut proses hukum untuk royalti kepada pencipta lagu masih berjalan karena melibatkan banyak pihak dan proses birokrasi yang memerlukan waktu.

"Itu kita lagi proses aja sih, karena itu bukan di bawah Ekraf doang, itu juga kementerian lain kan, LMKN juga dan sudah dari berbagai pihak lah," kata Irene dikutip dari Antara, Selasa (13/8/2025).

Irene juga bekerjasama dengan Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Kreatif, Yovie Widianto, untuk mendorong LMKN dan Kementerian Hukum untuk mempercepat birokrasi dan mendorong beberapa perubahan dalam undang-undang yang kiranya bisa lebih adil kepada pencipta lagu terkait royalti.

"Jadi ini sudah berproses. Namanya birokrasi, agak sabar ya, kita harus mengubah beberapa hal dan ini sudah mengalami kemajuan," ujarnya.

Di sisi lain telah ada koordinasi antara Kementerian Hukum dan DPR untuk menyusun regulasi soal pengelolaan royalti lagu dan musik. Proses legislasi terkait revisi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 sudah dibahas di Komisi X, sebagai mitra Kebudayaan bagi pemerintah.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyampaikan kepada WAMI dan pemerintah untuk lebih memberikan keleluasaan bagi masyarakat perihal pemutaran lagu berlisensi. Sebab ada unsur seni dan budaya dari tiap karya.

"Namun jika memandang isu hak cipta lagu, saya kira memang bukan semata perkara hukum, tetapi juga bagian dari perlindungan dan penghargaan terhadap karya seni sebagai warisan budaya," kata Lalu Hadrian Irfani saat dihubungi Tirto, Rabu (13/8/2025).

Dirinya menyadari bahwa lagu bukan hanya produksi seni dan ekspresi budaya saja, namun juga hasil kerja keras dari seorang seniman dalam menghasilkan karya. Sebagai bentuk penghargaan, Lalu menekankan apabila pencipta memperoleh penghargaan dan imbalan yang layak atas karyanya adalah hal yang wajar.

"Komisi X tentu saja mendukung edukasi publik mengenai kesadaran hak cipta, khususnya bagi pelaku usaha, agar tercipta budaya menghargai karya dan hak seniman," ungkapnya.

Selain pendekatan hukum, Lalu juga meminta WAMI, LMKN dan lembaga pemerintahan lainnya melakukan pendekatan yang humanis dan edukatif perlu diprioritaskan agar penegakan hak cipta tidak dipandang sebagai ancaman.

"Melainkan sebagai upaya membangun ekosistem kebudayaan yang sehat, berkelanjutan, dan saling menguntungkan antara seniman dan masyarakat," ujarnya.

Menanggapi polemik soal royalti musik ini, sejumlah musisi seperti Dewa 19, Ari Lasso, dan Charly van Houten, ramai-ramai membebaskan royalti atas karya mereka. Ari bahkan mengatakan kalau ingin digunakan di acara-acara ataupun oleh penyanyi pernikahan.

Perlu Ketentuan Hukum yang Jelas

Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya menyebut ada sejumlah bahaya jika polemik tentang royalti musik ini dibiarkan dan menjadi bola panas yang menyerang banyak pihak. Salah satu dampak sosialnya adalah Indonesia kehilangan kultur gotong royong dan saling membantu satu sama lain.

"Ada kesan saling serang antara pengguna yang belum sadar aturan dan pemilik yang terkesan mencari-cari celah untuk memanfaatkan situasi. Tampilan yang demikian ini bukan tampilan khas kultur Indonesia yang gotong royong dan musyawarah," kata Willy, Rabu (13/8/2025).

Menurutnya, pemutaran lagu dari musik berlisensi di acara sosial seperti perkawinan, hiburan warga, olahraga warga dan sejenisnya harus dilihat sebagai penggunaan untuk kegiatan sosial. Sehingga "ancaman membayar royalti," seharusnya tidak perlu sebab tak ada unsur komersial di dalam kegiatan tersebut.

Willy juga sepakat dengan pengaturan yang tegas dan jelas dari royalti di dalam perubahan Undang-undang Hak Cipta yang sedang dibahas. Menurut dia tidak semua penghargaan terkait hak cipta bisa dikonversi dalam hitungan komersial.

"Saya setuju untuk menaruh penghormatan terhadap hak cipta pada tempat yang tinggi. Namun tidak lantas semua hal perlu dikonversi menjadi nilai komersial, karena kita hidup juga di dalam lingkungan sosial," ujarnya.

Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar, mengungkapkan bahwa perlu ada klausul jelas perihal pengaturan pungutan royalti, khususnya untuk kegiatan privat seperti acara pernikahan.

Dirinya merasa kasihan jika penyelenggara pernikahan di kampung dan pedesaan dengan biaya minim, tiba-tiba mendapat surat tagihan dari WAMI karena memutar lagu berlisensi. Padahal pernikahan tersebut terkadang dibiayai dengan anggaran terbatas dan tak jarang harus berutang demi menutupi kekurangan dana.

"Saya tidak setuju dikenakan kepada masyarakat secara umum terutama penyelenggaranya di kampung-kampung, kalau untuk diselenggarakan di hotel bolehlah," kata Fickar, Rabu (13/8/2025).

Dia juga beranggapan kalau acara pernikahan dikategorikan kegiatan komersial kurang tepat. Sementara pemungutan royalti musik berdasar UU Hak Cipta, hanya menyasar ke kegiatan komersial.

Oleh sebab itu dia menyimpulkan tidak ada dasar hukum yang selaras dengan wacana royalti musik untuk acara seperti pernikahan ini.

Baca juga artikel terkait ROYALTI MUSIK atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto