tirto.id - Alkisah, sepak terjang seorang Yahudi bernama Yesus amat meresahkan kaisar Romawi. Penguasa Romawi menganggap ajaran Yesus secara politik mengancam posisi kaisar sebagai rajanya orang Yahudi. Lain itu, ajaran monoteistik yang diwartakan Yesus berbenturan dengan kepercayaan paganisme yang dianut mayoritas bangsa Romawi.
Maka diutuslah legiun kekaisaran untuk menangkapnya. Legiun Romawi pada akhirnya berhasil meringkus Yesus. Dia lalu dihukum mati dengan cara disalib—hukuman yang juga diterapkan kepada para kriminal zaman itu.
Setelah itu pun, tentara Romawi tidak berhenti memburu para pengikut Yesus yang dijuluki sang Juru Selamat. Mereka dianggap sebagai golongan atau sekte pembangkang. Banyak dari mereka kemudian menemui nasib serupa Yesus. Namun, ajaran-ajaran Yesus tidak pernah benar-benar lenyap.
Sekitar tiga abad lamanya para pengikut ajaran Yesus menjalankan ritual Kristen secara sembunyi-sembunyi. Hingga Kaisar Constantine memaklumatkan Edict of Milan pada 313. Itu adalah kebijakan hasil rumusan Kaisar Constantine bersama rival politiknya Kaisar Licinius. Edict of Milan memberi status legal dan kebebasan kepada penganut Kristen untuk menjalankan ajaran Kristus di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi.
Di sekitar masa ini juga, Helena, ibu Constantine, memutuskan untuk menjadi pengikut Kristen. Belakangan, toleransi ini juga diberlakukan pada sejumlah sekte-sekte kecil lain yang sangat banyak jumlahnya. Sejak itu, perlahan-lahan, Kristen mulai menggeser paganisme Romawi. Pada 380, Kaisar Theodosius I menetapkan Kristen sebagai agama resmi kekaisaran.
Menurut intelektual Inggris abad ke-18 Edward Gibbon, rangkaian peristiwa itu bukan sekadar perkembangan sebuah agama. Bagi Gibbon, perkembangan ajaran Kristus adalah salah satu faktor yang membawa Imperium Romawi ke jurang kehancuran.
Dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (1776), Gibbon menjelaskan bahwa ambisi orang Romawi terhadap kekayaan dan kejayaan duniawi adalah akar dari dominasinya di Eropa. Ambisi itu lalu memudar oleh doktrin Kristen tentang kehidupan setelah kematian dan kebahagiaan surgawi.
Serangan Bangsa Barbar
Tentu saja itu bukan faktor tunggal. Jauh sebelum agama Kristen dijadikan agama resmi, pemerintahan Romawi sudah sering dilamun masalah internal. Masalah itu seperti struktur birokrasi yang berantakan, perebutan kekuasaan, hingga loyalitas yang terpecah-belah. Dari luar, Romawi juga sering diserang bangsa-bangsa barbar.
Krisis kepemimpinan di lingkaran tertinggi kekuasaan juga menjadi pemicu keruntuhan Romawi. Di masa awal kekaisaran, para penguasa sudah dekat dengan skandal dan kontroversi. Gaius Caesar Augustus Germanicus alias Kaisar Caligula—naik takhta pada 37 Masehi, misalnya, dikenal sebagai penguasa yang tamak, emosional, dan tergila-gila dengan seks.
Selain itu, warga dibelit pungutan pajak yang besar untuk menutup pengeluaran kekaisaran yang juga sangat besar. Banyak orang kaya Romawi terpaksa memindahkan tempat tinggalnya ke kota-kota kecil demi menghindari penagih pajak kekaisaran.
Salah satu pos pengeluaran yang paling boros adalah ongkos militer. Anggaran untuk legiun Romawi terus membengkak dari waktu ke waktu karena tugas krusialnya membendung invasi bangsa barbar.
Di era jayanya, Romawi memiliki kekuatan militer paling modern dan paling canggih di seluruh dunia. Meski begitu, militer Romawi tetap saja kerepotan membendung serangan bangsa Goth dari banyak sisi. Bangsa Goth adalah orang-orang Jermanik yang menghuni wilayah di sebelah utara Danube—kini merentang di sekitar Ukraina, Moldova, dan Rumania.
Pada 238, bangsa Goth berhasil menaklukkan Histria. Sejarawan Inggris Peter Heather dalam Empires and Barbarians: The Fall of Rome and the Birth of Europe (2010, hlm. 109) menyebut bahwa setelah penaklukan itu, bangsa Goth mulai menetap di wilayah Romawi. Meski begitu, serangan datang lagi dari bangsa Alemanni yang merupakan gabungan suku-suku barbar Jermanik.
Romawi Pecah
Di tengah usaha menangkis serangan orang-orang barbar, Romawi masih pula dihadapkan pada kesulitan pangan. Populasi yang semakin bertambah tidak sebanding dengan persediaan pangan. Pun demikian, distribusi pangan ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan tidak lancar.
Sebagian orang Goth yang menetap di wilayah Romawi juga sempat mengalami bencana kelaparan yang parah. Kondisi itu sampai memaksa keluarga Goth menjual anaknya demi bertahan hidup. Mirisnya, seorang anak hanya dihargai satu ekor anjing.
Michael Kulikowski dalam buku Rome’s Gothic Wars: From the Third Century to Alaric (2007, hlm. 131) menulis, “Mereka menjual anak-anaknya untuk dijadikan budak oleh Romawi. Bayarannya: daging anjing untuk dimakan.”
Perbudakan paksa akibat kelaparan ini tidak mengenal status sosial bangsa Goth. Seorang anak yang lahir dari keluarga bangsawan Goth sekali pun tetap berisiko dijual sebagai budak.
Meski tidak punya loyalitas terhadap kekaisaran, para budak tetap jadi andalan Romawi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Namun, perbudakan jua yang menggiring Romawi semakin dekat pada kehancuran.
Ketergantungan Romawi pada budak membuat kekuatan finansialnya keropos. Para budak tidak hanya dimanfaatkan untuk kerja kasar, tapi juga tentara tambahan, penagih pajak, akuntan, dan beberapa pekerjaan lainnya.
Sebelum era Constantine, Kaisar Diocletian yang berkuasa pada periode 284-305 memutuskan mengambil tindakan untuk menjaga stabilitas dan memperbaiki neraca keuangan. Dia membagi wilayah kekaisaran yang sangat luas itu menjadi dua: Kekaisaran Barat dengan pusat pemerintahan di Milan dan Kekaisaran Timur yang berpusat di Byzantium.
Keputusan itu terbukti keliru karena situasi perekonomian ternyata tidak membaik. Di sisi lain, loyalitas para pejabat dan tentara terhadap kaisar semakin diragukan. Setelah dibagi dua, kamunikasi antarwilayah justru memburuk.
Babak Akhir
Setelah Kaisar Diocletian meninggal, perang sipil pun meledak. Kaisar Constantine yang menggantikannya lalu memutuskan untuk memindahkan pusat kekuasaan ke Konstantinopel. Sejak itu, Romawi tidak pernah sama lagi.
Romawi Barat yang mayoritas berbahasa Latin menghadapi krisis ekonomi yang parah. Pengeluaran rutin pemerintahnya sangat besar, sementara sumber pendapatan dari perdagangan dan hasil alam tidak cukup. Sebaliknya, Romawi Timur justru semakin makmur.
Tentara kekaisaran kini semakin kewalahan membagi konsentrasi untuk mengamankan dua pusat pemerintahan. Tapi, sistem pertahanan Romawi Timur jauh lebih baik daripada Romawi Barat karena lebih makmur. Dengan sumber daya ekonomi yang baik, Kaisar Constantine bisa memastikan Kota Konstantinopel tidak tersentuh oleh serangan dari manapun.
Sementara itu, Kota Roma yang pernah jaya sebagai ibu kota kekaisaran, kini jadi sangat lemah.
Romawi Barat yang lemah akhirnya benar-benar runtuh pada abad ke-5. Serangan bangsa Goth yang semakin intens tidak bisa dibendung lagi. Romawi benar-benar terpecah secara permanen ketika Kaisar Theodosius I meninggal pada 395. Dia memang berhasil menjadikan Kristen sebagai agama resmi, tapi pada masanya pula militer Romawi hancur akibat perang yang destruktif.
Romawi Barat akhirnya benar-benar ambruk setelah serangan bangsa barbar Jermanik pimpinan Odoacer pada 476. Sementara itu, Romawi Timur mampu bertahan hingga sekitar seribu tahun lagi hingga akhirnya ditaklukkan oleh Kekhalifahan Usmani.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi