tirto.id - Pada akhir Juni 2022, Brendan Carr, Komisioner Federal Communication Commission (FCC) Amerika Serikat, meminta Google dan Apple menendang TikTok dari pasar aplikasi mereka. Dalam suratnya, Carr menyebut "orang-orang di Beijing memiliki akses tak terbatas terhadap data pengguna TikTok di AS."
"Ya, TikTok memang mengaku bahwa 100 persen lalu lintas [data pengguna TikTok asal AS] dialihkan ke [jaringan milik] Oracle, tetapi mereka tak pernah memberikan pernyataan apa pun tentang siapa saja yang dapat mengakses data itu," ujarnya.
Tekanan petinggi FCC terhadap Google dan Apple untuk memblokir TikTok merupakan buah dari investigasi yang dilakukan Emily Baker-White untuk BuzzFeed News. Memperoleh bocoran lebih dari 80 rekaman audio rapat internal TikTok, BuzzFeed menyebut bahwa karyawan kantor pusat ByteDance (perusahaan induk TikTok) di Cina acapkali mengakses data non publik (data yang tak dimaksudkan/tak disetujui pengguna dilihat publik) pengguna TikTok asal AS.
Meskipun TikTok mengklaim bahwa mereka memiliki "tim keamanan ternama asal AS yang menentukan siapa saja yang dapat mengakses data pengguna asal AS," namun Baker-White menyebut terdapat sembilan pernyataan dari bocoran rekaman dari delapan karyawan ByteDance yang mengatakan sebaliknya.
Rekaman itu antara lain menyebut bahwa tim keamanan asal AS harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan koleganya asal Cina, yakni sang "admin utama" atau "master admin". Dan staf asal AS, "tidak memiliki izin atau pengetahuan tentang cara mengakses data mereka sendiri."
"Semuanya (data pengguna TikTok asal AS) terlihat di Cina," sebut salah satu karyawan TikTok dalam bocoran tersebut.
Lebih jauh, bocoran rekaman itu mengungkap bahwa tim TikTok Cina sering mengakses data pengguna asal AS, jauh lebih banyak dari dugaan terdahulu--dari laporan investigasi yang dilakukan Committee on Foreign Investment pada 2019.
Yang menarik, meskipun laporan Baker-White seakan menyudutkan TikTok, rekaman yang bocor itu berasal terutama dari rapat TikTok tentang kekhawatiran mereka tentang aliran akses data dari pengguna asal AS ke Cina. Untuk mencegah staf asal Cina mengakses data pengguna asal AS, TikTok tengah berusaha menggelar "Project Texas" atau proyek yang bertujuan menjaga data pengguna asal AS tetap di AS melalui kerja sama perlindungan data dengan Oracle dan CFIUS. Dalam proyek ini, TikTok akan menyimpan informasi pribadi pengguna AS yang dilindungi, seperti nomor telepon dan ulang tahun, secara eksklusif di pusat data yang dikelola oleh Oracle di Texas.
Artinya, TikTok sebetulnya tengah berupaya menjaga data pengguna asal AS dari jangkauan staf mereka di Cina.
Selain itu, permintaan komisioner asal Partai Republik tersebut tak berselang lama dari aksi para TikToker AS memprotes hakim-hakim Mahkamah Agung AS yang memutuskan melarang aborsi. Dalam laporan Ashley Belanger untuk Ars Technica, TikToker mengunggah data-data pribadi (doxing) para hakim yang dianggap salah memutuskan perkara aborsi.
Ancaman Trump
Pada pertengahan 2019, pemerintah Amerika Serikat di beberapa negara bagian, Kongres, dan agensi federal, ketakutan terhadap Facebook. Steven Levy, editor at large pada Wired, dalam bukunya berjudul Facebook: The Inside Story (2020) menyebutkan ketakutan muncul karena Facebook menguasai Instagram dan WhatsApp. Gabungan ketiganya, selain beraroma monopoli, juga memunculkan risiko penyelewengan data pengguna.
Elizabeth Warren, politikus Demokrat, mengusulkan agar Instagram dan WhatsApp diambil alih dari Facebook. Dan Facebook harus dihukum seperti Standard Oil Company, bisnis minyak milik John D. Rockefeller yang dipecah menjadi 34 entitas pada 1911. Sebagaimana dikisahkan Levy, Facebook menolak usul itu. "Jika pemerintah AS melemahkan kekuatannya, perusahaan teknologi besar dari Cina akan datang mengambil alih kekosongan yang ditinggalkan Facebook," demikian penolakan tersebut.
Setahun berlalu. Alih-alih menggembosi Facebook, pemerintah AS di bawah Trump malah berencana melarang TikTok, media sosial asal Cina dengan 45,4 juta pengguna di AS, yang sukses mengambil hati remaja tanpa perlu menunggu celah yang ditinggalkan Facebook--seandainya Zuckerberg disingkirkan dari Instagram dan WhatsApp.
Serangan elite politik Amerika Serikat terhadap TikTok mulai dilakukan pada musim gugur (sekitar September-November) 2019 lalu, hampir berbarengan dengan kesuksesan pemerintah AS menggembosi Huawei dengan memerintahkan perusahaan-perusahaan AS, khususnya Google sebagai pemilik Android, agar memutus kerja sama dengan Ren Zhengfei dkk.
Pada September 2019, Washington Post menurunkan laporan berjudul “TikTok’s Beijing Roots Fuel Censorship Suspicion as It Builds a Huge U.S. Audience”. Artikel itu mengungkap bahwa TikTok pernah menginstruksikan moderatornya untuk menyensor video yang dianggap sensitif oleh pemerintah Cina.
Tak lama setelah laporan itu dirilis, Senator Marco Rubio, Chuck Schumer, dan Tom Cotton menghendaki penyelidikan menyeluruh atas TikTok, khususnya tentang seberapa jauh tangan Xi Jinping bisa menjangkau TikTok, serta kemungkinan data-data pengguna TikTok di AS ditambang Beijing.
Pada November 2019, Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) mengumumkan akan meninjau akuisisi ByteDance--perusahaan pemilik TikTok--atas Musical.ly, media sosial asal Shanghai yang lebih dulu sukses di pasar AS dan dibeli TikTok.
Ketakutan terhadap TikTok menjadi mata-mata bagi Cina diperkuat melalui Undang-Undang Intelijen Nasional 2017 dan Undang-Undang Anti-Spionase 2014. Sebagaimana diwartakan Arjun Kharpal untuk CNBC, melalui aturan itu, setiap entitas Cina termasuk TikTok, ”harus mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan badan intelijen negara Cina sesuai dengan hukum”.
Kiersten Todt, Direktur Pelaksana firma keamanan digital Cyber Readiness Institute, menyatakan kepada Vox: “Jika pemerintah Cina menginginkan data, pemerintah akan mendapatkannya.” “Saya telah berada di ruang keamanan nasional AS selama beberapa dekade dan melihat langsung bukti betapa tingginya minat Cina untuk meretas AS, baik melalui kekayaan intelektual maupun pencurian data.”
Trump Melunak
Pada Juli 2020, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyatakan AS tengah mempertimbangkan pemblokiran TikTok dan lebih dari 50 aplikasi asal Cina lainnya. Namun, sebagaimana dilaporkan Shirin Ghaffary untuk Recode, Trump melunak.
Alasannya, sebagaimana diungkapkan James Lewis, Direktur Kebijakan Teknologi pada Center for Strategic and International Studies, rencana pemblokiran TikTok baru sebatas pada “dugaan”, bukan bukti nyata atau kasus di AS di mana warga negara mengadu bahwa data miliknya diangkut Cina melalui TikTok.
“Pemerintah AS bisa memberikan sanksi kepada mereka, tetapi biasanya sanksi itu terkait dengan pelanggaran perdagangan atau spionase atau proliferasi atau pencurian kekayaan intelektual. Anda tidak bisa melakukannya hanya karena Anda marah pada perusahaan [Cina],” kata Lewis.
Alih-alih memblokir TikTok di AS, Trump akhirnya menginginkan bisnis TikTok di AS diakuisisi oleh perusahaan AS.
“Saya tidak keberatan jika perusahaan besar, perusahaan yang aman, perusahaan yang sangat Amerika membelinya,” kata Trump. Ia juga memperingatkan jika bisnis mereka tidak segera dijual pada perusahaan AS hingga tanggal 15 September 2020, maka TikTok akan “gulung tikar di Amerika Serikat.”
Selain disebabkan ketakutan Beijing menginfiltrasi AS via TikTok, ancaman tersebut juga dilatarbelakangi fakta bahwa anak-anak TikTok di AS sukses mempecundangi Trump, melalui prank registrasi tiket kampanye di Tulsa, Oklahoma.
Microsoft, seperti yang dipertegas Satya Nadella, menyatakan siap mengambil alih TikTok cabang AS--meski kemudian perusahaan buatan Bill Gates ini mengumumkan menunda negosiasi pembelian. Trump tentu bisa mencerabut TikTok cabang AS dari entitas utamanya di Cina, ByteDance. Namun, bukan melalui tangannya langsung, tetapi melalui CFIUS. Lembaga ini memang punya kuasa menentukan boleh tidaknya perusahaan asing berbisnis di AS.
Dalam catatan sejarah, CFIUS pernah memblokir kesepakatan pengambilalihan Qualcomm, perusahaan pembuat chip perangkat mobile asal AS, oleh Broadcomm. Lalu, CFIUS juga sukses menyingkirkan kepemilikan pebisnis Cina dari Grindr dan PatientsLikeMe.
TikTok membantah segala tuduhan negatif kepadanya. Kevin Mayer, CEO TikTok, menegaskan bahwa platform yang dikomandoinya “aman digunakan oleh jutaan pengguna di Amerika.” Menurutnya, setiap lini di dunia teknologi memang diawasi, tetapi TikTok jauh lebih diperhatikan Paman Sam karena berasal dari Cina. Mayer bahkan sesumbar bahwa semua platform digital (tidak hanya TikTok) “harus membuka algoritmanya,” jika tujuannya adalah menghapus kecurigaan.
Kini, setelah hampir dua tahun Trump lepas dari kekuasaannya sebagai presiden, tak ada lanjutan narasi tentang tuduhan-tuduhan (spionase) yang sempat menggelayuti TikTok. Ketegangan yang sempat muncul antara Trump dan TikTok lebih diyakini terkait dengan memanasnya hubungan Washington dengan Beijing, alih-alih soal spionase.
Editor: Irfan Teguh Pribadi