tirto.id - Apa yang dapat dilakukan dalam enam detik? Selain menarik napas atau berkedip, tampaknya tak ada yang bisa dilakukan dalam tempo super singkat tersebut. Namun, bagi Robert De Niro, waktu sesingkat itu sudah sangat cukup untuk menuturkan satu kisah utuh. Kisah itu diinisiasi oleh Dom Hofmann—pemuda yang mengaku bercita-cita menjadi sineas film dan karenanya tak pernah memotret foto, hanya merekam video—dan dihadirkan melalui Vine.
Vine bisa dikatakan sebagai Twitter versi video.Vine adalah, "unit terkecil, atom, dari sebuah film," tegas Hofmann.
Vine digagas Hofmann berserta dua sahabatnya—Rus Yusupov dan Colin Kroll—pada 2012. Vine adalah tentang singkatan atau bentuk kecil dari sesuatu yang lebih besar. Ia bisa juga berarti ide pokok atau, jika merujuk pada paparan Betsy Morais untuk The New Yorker, "sebuah frasa film" dalam bentuk GIF (Graphics Interchange Format) plus audio.
Selayaknya merayakan penderitaan umat manusia dalam dongeng Sisifus, video super pendek yang ditayangkan Vine diputar berulang karena, menurut Hofmann, "Seperti itulah rasanya kehidupan nyata.”
Singkatnya, Vine adalah aplikasi yang merayakan segmen-segmen terkecil dari kehidupan manusia melalui video super singkat. Ia adalah antitesis dari Youtube atau Vimeo.
Meski terdengar nyeleneh di tahun-tahun awal kehadirannya, Vine berhasil menapaki jalan kesuksesan sebagai sebuah aplikasi. Duduk manis di daftar teratas aplikasi yang paling banyak diunduh di App Store dan Google Play Store—juga Windows Phone Store, jika Anda masih ingat.
Ia digunakan lebih dari 200 juta pengguna ponsel pintar. Vine turut melahirkan kreator konten super kreatif seperti Shaw Mendes, Jake Paul, Lele Pons, Stewart Reynolds, dan Wahyu Ichwandardi alias "Pinot" dari Indonesia.Vine juga memantik Twitter untuk menggelontorkan uang senilai $30 juta demi menguasai aplikasi ini.
Mat Honan, penulis senior Wired(kini Pemimpin Redaksi MIT Technology Review), percaya bahwa Vine "akan bertransformasi menjadi platform besar, benar-benar besar, yang sangat luar biasa."
Tapi nahas, prediksi itu meleset jauh.Hanya berselang empat tahun usai diluncurkan, Vine berhenti beroperasi. Tutup—atau terpaksa dimatikan—karena Twitter selaku pemilik Vine menganggap aplikasi ini gagal berkembang dan hanya berkontribusi merongrong neraca fiskal semata.
Ironisnya, ide yang diyakini Hofmann kala membangun Vine tak mati. Ide itu malah menjelma malapetaka super besar bagi Facebook (atau Meta) dan Youtube. Ide video pendek itu kemudian muncul lagi dalam rupa baru: TikTok. Seakan hadir untuk menggantikan Vine, TikTok menjunjung tinggi ide video pendek itu hingga aplikasi "made in China" tersebut sukses menjadi platform besar!
Kekuatan di Balik TikTok
Usai mengembangkan aplikasi pengepul berita (news aggregator) Toutiao, Yimming Zhang mendirikan perusahaan internet lain yang dinamai ByteDance. Chris Stokel-Walker dalam TikTok Boom: China's Dynamite App and the Superpower Race for Social Media (2021) menyebut Zhang mendirikan ByteDance lantaran tak puas aplikasi buatannya hanya memperoleh predikat "ala Cina".
Pemuda kelahiran Longyan, Fujian, Cina, itu terilhami oleh kesuksesan global perusahaan teknologi besar macam Apple, Google, Microsoft, dan Facebook. Dia ingin sejajar dengan para raksasa itu.
Maka Zhang mendorong ByteDance melahirkan aplikasi video pendek bernama Neihan Duanzi—alias “lelucon tersirat” dalam bahasa Indonesia. Ia adalah Vine versi Cina dengan sedikit modifikasi. Tema aplikasi itu dipilih karena masyarakat Cina pengguna Toutiao di banyak kesempatan rupanya lebih suka mengkonsumsi video, alih-alih teks.
Untuk membuat Neihan Duanzi sukses, Zhang mengakuisisi 17 perusahaan rintisan—seperti Jukedeck, Flipagram, dan Musical.ly. Deretan perusahaan rintisan yang diakuisisinya itu memiliki satu benang merah, yakni artificial intelligence(AI). Bagi Zhang, AI adalah masa depan.
Zhang memanfaatkan sumber daya AI startup itu untuk membuat fusi teknologi bernama social-graph. Itulah sumber kekuatan Neihan Duanzi. Alih-alih berdasarkan kreator konten atau individu yang di-follow, teknologi social-graph merekomendasikan konten menurut tabiat pengguna di dunia daring.
Selain sumber daya AI, Zhang juga memanfaatkan konten-konten eksklusif di dunia multimedia, wabil khusus musik, dari startup yang diakuisisinya.
Berkat social-graph dan portofolio multimedia yang dimilikinya, Neihan Duanzi laku keras di tengah publik Cina. Ia mampu menggapai lebih dari 200 juta pengguna tak lama usai diluncurkan. Aplikasi ini sampai merongrong media penyimpanan hingga 1.500 petabyte milik perusahaan karena ia wajib menampung video pendek yang diunggah pengguna selamanya.
Kesuksesan Neihan Duanzi lantas membuat ByteDance berani merilis versi internasionalnya—itulah TikTok yang kenal sekarang. Aplikasi super itu pun sukses "membajak" pengguna Facebook dan Youtube. Ia serupa "candu" yang membetot remaja di seluruh dunia untuk menggunakannya terus-terusan dan menjauh dari Facebook dan Youtube.
Melalui TikTok pula, Zhang berhasil melenyapkan status "ala Cina" dan merengkuh kesuksesan internasional yang dia idamkan.
Kreator Konten adalah Kunci
Tentu, resep kesuksesan sebuah aplikasi bukan semata teknologi yang menopangnya. TikTok sukses karena ia tak melupakan sendi fundamentalnya: kreator konten.
Di Neihan Duanzi, ByteDance memberikan ruang bagi kreator konten untuk memperoleh penghasilan melalui koin-koin digital yang diberikan pengguna atau penikmat konten. Mereka tentu saja juga membeli koin digital di aplikasi.
Pada versi TikTok, kesempatan itu memang tidak ada. Namun, berkat social-graph (yang tak menuntut pengguna mem-follow kreator konten tertentu), video pendek yang diunggah di TikTok mudah viral. Hanya perlu segelintir pengguna yang berlama-lama menonton berbagai video atau mengklik tombol hati untuk membuat suatu video melanglang buana direkomendasikan pada jutaan pengguna TikTok lainnya.
Dari viralitas itulah, kreator konten akhirnya memperoleh pundi-pundi dari jalur lain: kerja sama dengan brand atau perusahaan.
Potensi keuntungan dan popularitas itu selanjutnya bakal mendorongkreator konten lebih rajin memproduksi video pendek. Video yang melimpah tentu turut membuat pengguna atau penikmat konten pun tak segan berlama-lama di aplikasi ini.
Aspek ini pula yang membedakan Vine dan TikTok. Vineboleh saja menjadi pelopor, tapi ia tak punya keberpihakan pada kreator konten. Ini terjadi karena, dalam benak Dom Hofmann serta Twitter (sebagai pemilik Vine), sendi utama dari Vine adalah Vine itu sendiri, platformnya, bukan individu-individu yang mengunggah video.
Tak ada satu orang perwakilan dari Vine yang bekerja khusus merangkul kreator konten. Vine hanya memberikan alamat email info@vine.cokepada kreator konten yang ingin berkomunikasi dengan mereka. Serta, kembali merujuk apa yang dipaparkan Stokel-Walker, Vine bahkan tak segan menghentikan video pendek yang viral. Padahal, kesempatan viral itu sukar digapai karena Vine memilih memanfaatkan teknologi follow-based, bukan social-graph.
Tanpa viralitas dan skema monetisasi semacam koin-koin digital, kreator konten di Vine tak dapat menghasilkan uang. Tanpa uang, tentu tak ada alasan bagi kreator konten untuk terus-terusan memproduksi video pendek di Vine.
Setahun sebelum disuntik mati Twitter, Vine sebenarnya menyadari kesalahannya meninggalkan kreator konten. Manajemen Vine lantas meminta bantuan Karyn Spencer untuk menjadi Kepala Pengembangan Kreator guna berbenah dan merangkul lagi para kreator kontennya. Sayangnya, upaya ini tak membuahkan hasil.
Salah satu sebab kegagalan itu adalah karena Twitter sendiri tak menggubris permintaan Vine agar perusahaan induknya itu berbagi cuan senilai $1,2 juta untuk gabungan kreator konten Vine di Amerika Serikat. Vine akhirnya jadi semakin sepi dan ditinggalkan kreator konten. Sementara itu, TikTok berjaya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi