tirto.id - Pada awal 2011, Yimming Zhang--pemuda lulusan Nankai University kelahiran 1983 di kota kecil bernama Longyan, Fujian, Cina--telah bekerja selama enam tahun sebagai profesional di bidang teknologi informasi.
Kemampuannya di bidang elektronik mikro berhasil membantu Kuxun dan Fanfou (startup asal Cina) serta Microsoft berkembang. Namun, selayaknya anak muda yang tergoda membuat perubahan, Zhang tak puas dengan pekerjaannya. Ia bosan berada di kantor dari jam 9.00 hingga 18.00, mengenakan kemeja, dan manut terhadap atasan.
Zhang berhenti dari pekerjaannya dan membangun 99Fang, mesin pencari seperti Google yang khusus menangani kata-kunci terkait dunia properti Cina.
Meskipun 99Fang mengambil strategi "niche" atau ceruk khusus di dunia mesin pencari dan Google gagal berkembang di negeri Tirai Bambu, namun Baidu telah menjadi kata baku bagi publik Cina untuk mencari segala hal di dunia maya. Hal ini membuat 99Fang berkembang dalam laju yang biasa-biasa saja dan membuat Zhang kecewa.
Beruntung bagi Zhang, di tengah rutinitasnya menggunakan transportasi publik di Cina, ia menemukan ide lain. Kian masifnya penggunaan ponsel dan hilangnya koran atau majalah dari masyarakat, mendorongnya membuat aplikasi pengepul berita atau news aggregator bernama Toutiao.
"Saya percaya suatu saat ponsel pintar akan menggantikan koran sebagai medium utama memperoleh informasi," ujarnya.
Memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence untuk memberi rekomendasi berita sesuai dengan keinginan pembaca, Toutiao laku keras di tengah masyarakat Cina. Jika Baidu dianggap sebagai Google ala Cina, Weibo sebagai Twitter ala Cina, dan WeChat sebagai WhatsApp ala Cina, maka Toutiao dianggap Flipboard ala Cina.
Namun menggapai prestasi "Flipboard ala Cina" tak memuaskan bagi Zhang. Ia ingin kesuksesannya tanpa embel-embel "ala Cina". Kesuksesan internasional tanpa sekat batas negara selayaknya Google atau Facebook. Maka, tak terlalu jauh dari tanggal kesuksesan Toutiao, sebagaimana dipaparkan Chris Stokel-Walker dalam TikTok Boom: China's Dynamite App and the Superpower Race for Social Media (2021), Zhang kemudian mendirikan startup lain bernama ByteDance.
Berbekal gerak-gerik perilaku masyarakat Cina yang berhasil dikumpulkannya dari Toutiao serta modal melimpah atas kesuksesan Toutiao, ByteDance dipaksa Zhang melahirkan aplikasi video pendek bernama "Neihan Duanzi" yang artinya "lelucon tersirat". Aplikasi ini kira-kira menggabungkan kekuatan Imgur, 9Gag, serta Reddit.
Seperti Toutiao, Neihan Duanzi laku keras di tengah publik Cina dengan menjaring lebih dari 200 juta pengguna tak lama setelah diluncurkan. Aplikasi ini merongrong media penyimpanan hingga 1.500 petabyte milik perusahaan karena Neihan Duanzi wajib menampung video pendek yang diunggah pengguna selamanya.
Atas kesuksesan inilah ByteDance akhirnya berani merilis versi internasional dari Neihan Duanzi, yaitu TikTok. Aplikasi ini super sukses karena berhasil membuat remaja di seluruh dunia menggunakannya secara terus-menerus. Hal ini membuat kontroversi politik yang seolah tak pernah sirna.
Trump Vs TikTok
Pada pertengahan 2019, pemerintah Amerika Serikat takut terhadap Facebook. Steven Levy, editor at large pada Wired, dalam Facebook: The Inside Story (2020) menyebutkan bahwa ketakutan itu muncul karena Facebook menguasai Instagram dan WhatsApp. Gabungan Facebook-Instagram-WhatsApp, selain beraroma monopoli, juga memunculkan risiko penyelewengan data pengguna.
Elizabeth Warren, politikus Demokrat yang saat itu tengah berupaya menjadi capres Demokrat, mengusulkan agar Instagram dan WhatsApp diambil alih dari Facebook. Ia mengusulkan Facebook dihukum seperti Standard Oil Company, bisnis minyak milik John D. Rockefeller yang dipecah menjadi 34 entitas pada tahun 1911.
Facebook, sebagaimana dikisahkan Levy, menolak usul itu: "Jika pemerintah AS melemahkan kekuatannya, perusahaan teknologi besar dari Cina akan datang mengambil alih kekosongan yang ditinggalkan Facebook.”
Setahun berlalu. Alih-alih menggembosi Facebook, pemerintah AS di bawah Trump malah berencana melarang TikTok yang mempunyai 45,4 juta pengguna di AS. TikTok berhasil mengambil hati remaja tanpa perlu menunggu celah yang ditinggalkan Facebook--seandainya Zuckerberg disingkirkan dari Instagram dan WhatsApp.
Serangan elite politik Amerika Serikat terhadap TikTok mulai dilakukan pada musim gugur, sekitar September-November 2019. Waktunya hampir berbarengan dengan kesuksesan pemerintah AS menggembosi Huawei dengan memerintahkan perusahaan-perusahaan AS, khususnya Google sebagai pemilik Android, agar memutus kerjasama dengan Ren Zhengfei, dkk.
Pada September 2019, Washington Post menurunkan laporan berjudul “TikTok’s Beijing Roots Fuel Censorship Suspicion as It Builds a Huge U.S. Audience”. Artikel ini mengungkap bahwa TikTok pernah menginstruksikan moderatornya untuk menyensor video yang dianggap sensitif oleh pemerintah Cina.
Tak lama setelah laporan itu dirilis, Senator Marco Rubio, Chuck Schumer, dan Tom Cotton menghendaki penyelidikan menyeluruh atas TikTok, khususnya terkait seberapa jauh tangan Xi Jinping bisa menjangkau TikTok, serta kemungkinan data-data pengguna TikTok di AS ditambang Beijing. Pada November 2019, Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) mengumumkan akan meninjau akuisisi ByteDance--perusahaan pemilik TikTok--atas Musical.ly, media sosial asal Shanghai yang lebih dulu sukses di pasar AS dan dibeli TikTok.
Ketakutan terhadap TikTok yang dicurigai menjadi mata-mata Cina semakin kuat dengan hadirnya Undang-Undang Intelijen Nasional 2017 dan Undang-Undang Anti-Spionase 2014. Sebagaimana diwartakan Arjun Kharpal untuk CNBC, melalui aturan itu, setiap entitas Cina termasuk TikTok, ”harus mendukung, membantu, dan bekerja sama dengan badan intelijen negara Cina sesuai dengan hukum.”
Kiersten Todt, Direktur Pelaksana firma keamanan digital Cyber Readiness Institute, menyatakan kepada Vox: “Jika pemerintah Cina menginginkan data, pemerintah akan mendapatkannya.”
“Saya telah berada di ruang keamanan nasional AS selama beberapa dekade dan melihat langsung bukti betapa tingginya minat Cina untuk meretas AS, baik melalui kekayaan intelektual atau pencurian data,” tegas Todt.
Pada Juli 2020, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyatakan AS tengah mempertimbangkan pemblokiran TikTok dan lebih dari 50 aplikasi asal Cina lainnya. Namun, sebagaimana dilaporkan Shirin Ghaffary untuk Recode, Trump melunak. Alasannya, sebagaimana diungkapkan James Lewis, Direktur Kebijakan Teknologi pada Center for Strategic and International Studies, rencana pemblokiran TikTok baru sebatas pada “dugaan”, bukan bukti nyata atau kasus di AS.
“Pemerintah AS bisa memberikan sanksi kepada mereka, tetapi biasanya sanksi itu terkait dengan pelanggaran perdagangan atau spionase atau proliferasi atau pencurian kekayaan intelektual. Anda tidak bisa melakukannya hanya karena Anda marah pada perusahaan [Cina],” kata Lewis.
Alih-alih memblokir TikTok di AS, Trump akhirnya menginginkan bisnis TikTok di AS diakuisisi oleh perusahaan AS.
“Saya tidak keberatan jika perusahaan besar, perusahaan yang aman, perusahaan yang sangat Amerika membelinya,” kata Trump. Ia juga memperingatkan jika bisnis mereka tidak segera dijual pada perusahaan AS hingga tanggal 15 September 2020, maka TikTok akan “gulung tikar di Amerika Serikat”.
Selain disebabkan ketakutan Beijing menginfiltrasi AS via TikTok, ancaman tersebut juga dilatarbelakangi fakta bahwa anak-anak TikTok di AS sukses mempecundangi Trump. Salah satunya melalui prank atau lelucon registrasi tiket kampanye presiden berambut oranye itu di Tulsa, Oklahoma.
Microsoft, seperti disampaikan Satya Nadella, menyatakan siap mengambil alih TikTok cabang AS--meski kemudian perusahaan buatan Bill Gates ini mengumumkan menunda negosiasi pembelian.
Trump, "anak Twitter" yang kebetulan menjadi presiden, tentu bisa mencerabut TikTok cabang AS dari entitas utamanya di Cina, ByteDance. Namun, bukan melalui tangannya langsung, tetapi melalui CFIUS. Lembaga ini memang punya kuasa menentukan boleh tidaknya perusahaan asing berbisnis di AS.
Dalam catatan sejarah, CFIUS pernah memblokir kesepakatan pengambilalihan Qualcomm, perusahaan pembuat chip perangkat mobile asal AS, oleh Broadcomm. CFIUS juga sukses menyingkirkan kepemilikan pebisnis Cina dari Grindr dan PatientsLikeMe.
TikTok membantah segala tuduhan negatif kepadanya. Kevin Mayer, CEO TikTok, menegaskan bahwa platform yang dikomandoinya “aman digunakan oleh jutaan pengguna di AS”. Menurutnya, setiap lini di dunia teknologi memang diawasi, tetapi TikTok jauh lebih diperhatikan Paman Sam karena berasal dari Cina. Mayer bahkan sesumbar bahwa semua platform digital (tidak hanya TikTok) “harus membuka algoritmanya”, jika tujuannya adalah menghapus kecurigaan.
Sementar Donny Eryastha, Head of Public Policy TikTok Indonesia, Malaysia, Filipina, melalui rilis media yang diberikan pada Tirto, menyebut bahwa TikTok “mengembangkan infrastruktur keamanan yang terbaik dan menjunjung Panduan Komunitas serta mematuhi aturan dan hukum privasi setempat yang berlaku.”
Sebagai catatan, bukan hanya AS yang bernafsu memblokir TikTok. Di India, TikTok dan 59 aplikasi asal Cina telah diblokir. Pemblokiran Cina di India didasari anggapan bahwa aplikasi ini bagian dari “serangan digital” dan "agen propaganda pemerintah Cina”. Sekelompok pengacara di Jepang juga menuntut Tokyo segera mengambil langkah serupa AS dan India dengan alasan yang sama. Dan Indonesia pernah memblokir TikTok.
Pada 2018, ketika Bowo Alpenliebe jadi bintang TikTok di Indonesia, aplikasi ini diblokir dengan alasan “banyak konten yang negatif, terutama bagi anak-anak,” klaim Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenkominfo yang saat itu dijabat oleh Noor Iza.
Kini, hampir dua tahun setelah Trump tak lagi jadi presdien, tak ada lanjutan narasi tentang tuduhan-tuduhan spionase yang sempat menggelayuti TikTok. Ketegangan antara Trump dan TikTok diyakini terkait dengan memanasnya hubungan Washington dengan Beijing, alih-alih soal spionase.
Tiktok di Kancah Perang Rusia-Ukraina
Kiwari, di tengah invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, TikTok menjadi pokok perbincangan baru: sumber informasi perang.
Pada 24 Februari 2022, muncul beragam video pendek tentang invasi Rusia ke Ukraina di TikTok. Video yang disebut Sheera Frenkel dalam tulisannya untuk The New York Times, "lebih nyata dan otentik dibandingkan media sosial lain (yang menyebarkan video tentang apa yang terjadi di Ukraina)."
Sebagai aplikasi populer, TikTok banyak digunakan tentara Ukraina untuk menyebarkan apa yang terjadi di medan perang. Terlebih, karena TikTok memanfaatkan teknologi "social-graph," yakni teknologi yang merekomendasikan konten sesuai dengan perilaku pengguna--misal: berlama-lama menonton video lip-sync dan akhirnya dibanjiri video lip-sync—maka video-video terkait invasi Rusia ke Ukraina akhirnya menyebar cepat, sangat cepat, alias mudah viral.
Dan karena tahu bahwa TikTok menjadi salah satu sumber informasi invasi, simpatisan dan anak buah Vladimir Putin juga membanjiri TikTok dengan video-video pendek berisi narasi tandingan. Mereka mencoba mengarahkan sentimen publik internasional untuk membenarkan invasi yang dilakukan.
TikTok akhirnya menjadi medan perang versi maya antara pro Rusia dan pro Ukraina. The New Yorker menjuluki sebagai "Perang TikTok". Bahkan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, turut menyinggungnya: "Wahai ilmuwan, dokter, blogger, komika, dan para Tiktoker, bantulah kami menghentikan perang ini."
Editor: Irfan Teguh Pribadi