tirto.id - Usianya baru 19 tahun, tapi pemuda penghuni Suite H33 Kirkland House, asrama mahasiswa Harvard University, ini memiliki prestasi yang tidak dapat dipandang remeh: menciptakan berbagai aplikasi komputer. Sebut saja: Synapse (aplikasi sugesti musik), Course Match (aplikasi yang membantu mahasiswa menentukan kelas yang akan dipilih), dan Six Degrees to Harry Lewis (aplikasi penghormatan pada Prof. Harry Lewis).
Akan tetapi, aplikasi yang kelak mengubah trek hidupnya adalah Facemash: aplikasi web yang meminta penggunanya untuk memilih mana yang paling “hot” dari dua sosok berjenis kelamin sama.
Facemash tidak dibangun dengan cara-cara konvensional. Foto-foto yang dimilikinya berasal dari unduhan ilegal situsweb bernama “facebooks” yang dikelola secara internal oleh 9 dari 12 asrama di Harvard. Nama situsweb internal Harvard tersebut kemudian diambilnya untuk menggantikan “Facemash”.
Si pemuda, merujuk David Kirkpatrick dalam “The Facebook Effect: The Inside Story of the Company That Is Connecting The World” bernama Mark Zuckerberg. Kelak, "Thefacebook.com" alias Facebook alias aplikasi yang awalnya hanya dimaksudkan sebagai “prank” itu lahir pada 2004 untuk mengubah dunia.
Dua tahun berselang, Evan Williams, Noah Glass, dan Jack Dorsey melangkah serupa Zuckerberg. Selepas aplikasi podcast ciptaan mereka bernama Odeo gagal bersinar karena di saat bersamaan Apple memiliki iTunes dan berharap duit hasil menjual Blogspot pada Google tidak sia-sia, lahirlah “Twttr”.
Sebagaimana diberitakan Techcrunch, “Twttr” adalah sejenis “SMS group send”. Pengguna tinggal mengirimkan pesan ke nomor 40404 lalu pesan akan dikirimkan ke grup yang telah diciptakannya melalui SMS.
Perlahan, Twttr bersalin rupa menjadi Twitter, media sosial yang kesohor hingga digunakan Presiden AS, Donald Trump, untuk mengeluarkan titah eksekutifnya: “Read The Transcript!”
Di akhir dekade 2000-an, gema Facebook dan Twitter kian mengglobal. Merujuk Statista, bahkan sebelum dekade 2010-an dimulai, Facebook telah memiliki 360 juta pengguna di seluruh dunia. Sementara Twitter "hanya" berada di angka 30 juta pengguna aktif.
Jika jumlah pengguna dianalogikan sebagai negara, Facebook sudah serupa Amerika Serikat. Sementara Twitter sudah sebesar Malaysia.
Tidak Ada Perubahan Nyata
Kehadiran Facebook dan Twitter merevolusi bagaimana manusia berinteraksi dengan dunia digital. Alih-alih pasif menerima informasi, di dekade 2010-an masyarakat memanfaatkan Facebook dan Twitter secara aktif, dengan menerjemahkannya dalam beragam bentuk.
Di Guatemala, misalnya, Ofelia, Avilio, dan Elsira Funez Velasquez dapat berkumpul kembali melalui Facebook selepas perang sipil yang berlangsung antara 1960-1996 memisahkan mereka. Anais Bordier dan Samantha Futerman pun serupa. Adik-kakak ini dipertemukan kembali berkat Facebook selepas tak berjumpa sejak lahir.
Di ranah bisnis, kehadiran media sosial sukses menciptakan rantai bisnis lain yang menopangnya. Sebut saja Zynga, perusahaan pencipta game web, yang melahirkan FarmVille, Zynga Poker, hingga CSR Racing untuk para pengguna Facebook. Skema bisnis parasit ini sukses membuat Zynga menggaet uang senilai $1 miliar tatkala mereka melakukan penawaran saham perdana (IPO).
Di lain sisi, Twitter yang lebih banyak diisi aktivis, buzzer, dan politisi caper, menghentak dengan caranya sendiri. Hentakannya bukan soal akun @POTUS atau @Pontifex. Melainkan, sebagaimana disebut Peter Vermeij dalam artikelnya di jurnal Journalism Practice (Vol. 6, 2012) berjudul “Twitter Links Between Politicans and Journalists”, Twitter merupakan media sosial dengan perspektif sebagai penyebar informasi.
Alasannya, ia menulis: “adalah kenyataan bahwa setengah dari trending topics Twitter diangkut oleh CNN menjadi headline.”
Di awal dekade 2010-an, Twitter bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari fenomena alam politik bernama “musim semi Arab”. Kala itu, The Guardian melaporkan terjadi lonjakan Tweet yang sangat besar bersumber dari warga Mesir yang menginginkan pemimpinnya mundur.
Kicauan di Twitter dengan tagar #Jan25, yang semula hanya berjumlah 2.300 Tweet, melonjak menjadi 130.000 Tweet per hari selama seminggu sebelum pada akhirnya Presiden Hosni Mubarak mundur dari Jabatannya.
Fawas Rashed, salah satu demonstran mengungkapkan: “Kami menggunakan Facebook untuk penjadwalan aksi protes, (menggunakan) Twitter untuk (menentukan) koordinat (lokasi protes), dan (menggunakan) YouTube untuk mengabarkan pada dunia.”
Hampir seantero Timur Tengah, dengan dukungan media sosial, bergejolak.
Mark Pfeifle, mantan penasehat keamanan AS, sebagaimana dikatakannya pada The New Yorker mengungkapkan secara tersirat, kehadiran media sosial sukses membuat gebrakan politik yang tidak bisa dipandang enteng. Katanya: “Tanpa Twitter, rakyat Iran tidak akan merasa berdaya dan percaya diri untuk berjuang atas kebebasan dan demokrasi (mereka).
Apa yang dikatakan Pfeifle segendang sepenarian dengan apa yang dijelaskan James K. Glassman, mantan pejabat departemen luar negeri AS: “Kini para aktivis terbantu dengan adanya Facebook, A.T.&T., Howcast, dan Google.”
Dalam paparan kecil, positifnya kehadiran Twitter dapat tampak melalui kalimat populer yang sederhana ini: “Twitter, please do your magic.”
Namun, tentunya media sosial juga punya sisi gelap. Hal ini terkait fakta bahwa media sosial bukanlah yayasan atau organisasi nirlaba yang hidup dari satu proposal penggalangan dana ke proposal lain. Facebook, mengutip Data Center Knowledge, harus mengeluarkan ongkos menghidupi 60.000 servernya. Sementara Twitter harus pula mengongkosi 40.000 servernya.
Dalam laporan keuangan Facebook di kuartal IV-2016, misalnya, mereka menggelontorkan $4,243 miliar untuk biaya hidup. Di kuartal tersebut, jumlah pengguna aktif bulanan Facebook sudah mencapai 1,86 miliar. Ini artinya, Facebook mengeluarkan uang $2,3 per pengguna. Hitung-hitungan yang tak berbeda menimpa Twitter.
Sebagai pengguna, Anda tidak membayar $2,3 atau sekitar Rp32 ribu, bukan? Maka, media sosial memanfaatkan data milik penggunanya untuk meraup untung. Dari pendataan tersebutlah media sosial sanggup menciptakan microtargeting.
Oana Barbu, peneliti dari Western University of Timisoara, dalam paper berjudul “Advertising, Microtargeting and Social Media” (PDF) mendefinisikan microtargeting sebagai cara sukses dalam menyampaikan pesan atau penawaran dengan mempersonifikasikan iklan.
Microtargeting membagi-bagi kelompok masyarakat, di mana awalnya dengan memanfaatkan kode pos alias pembagian berdasarkan letak geografis, hingga kini, melalui media sosial, pengelompokan dilakukan lebih personal.
Dalam publikasi yang dilakukan ProPublica, ada 50 ribu kategori unik microtargeting yang ada di Facebook. Dengan demikian, microtargeting dapat membuat pengiklan dapat bekerja efektif melalui penawaran materi iklan mereka kepada kelompok yang tepat.
Namun, sialnya, data pengguna media sosial yang semula dimanfaatkan sekadar untuk iklan, microtargeting dimanfaatkan pula oleh Cambridge Analytica, sebuah firma konsultan politik, untuk memenangkan Donald Trump menjadi presiden, sekaligus menjadikan Inggris keluar dari Uni Eropa.
Kekhawatiran betapa data privasi pengguna media sosial mudah bocor sehingga mudah dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab, kian mencuat ke permukaan.
Selain itu, dalam satu dekade keberadaannya, media sosial juga terus bersalin rupa. Dari yang semula penggerak revolusi politik, kini menjadi tempat bersarangnya berita bohong alias hoax, termasuk ujaran-ujaran ekstrim dari banyak kelompok kepada kelompok lainnya. Di akhir dekade ini, para pemilik media sosial mestinya harus berbenah membereskan segala keburukan tersebut.
Pada 2016, ketika kasus Cambridge Analytica meledak, Zuckerberg sempat mengucapkan sesuatu: “Ini adalah kesalahan saya, dan saya minta maaf [...] Saya memulai Facebook, saya menjalankannya, dan saya bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini.”
Namun, empat tahun berjalan sejak Zuckerberg mengucapkan itu, Facebook secara khusus dan media sosial lain secara general, tidak pernah benar-benar membersihkan diri mereka.
Editor: Eddward S Kennedy