tirto.id - Penggunaan dana desa untuk jaminan kredit pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih bagai bom waktu yang terus berdetak. Skema ini berpotensi melanggar aturan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, karena penggunaan dana desa tidak ditujukan untuk program koperasi.
Alasan penjaminan dana desa untuk Koperasi Merah Putih, yakni supaya Himbara atau bank negara anteng mengucurkan pinjaman untuk modal Koperasi Desa Merah Putih, dinilai berpotensi mengorbankan hak pembangunan desa.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa dana desa bakal menjadi jaminan pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih. Hal tersebut diungkapkan Sri Mulyani dalam rapat kerja Kemenkeu bersama Komite IV Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Rabu (9/7/2025). Ia mengaku bahwa kapasitas setiap desa berbeda-beda.
Oleh karenanya, skema penggunaan dana desa menjamin apabila koperasi akan meminjam dari Himbara. Sri Mulyani berharap dana desa sekitar Rp70 triliun per tahun dapat menjadi katalis untuk Koperasi Desa Merah Putih. Ia juga meminta skema ini tidak menghilangkan kehati-hatian dari perbankan yang akan meminjamkan.
“Kalau ternyata tadi desanya ada desa yang terampil, bagus, pasti kegiatan ekonominya akan berkelanjutan. Tapi kalau desanya belum punya kapasitas pasti bank mengatakan ‘wah nanti kalau macet seperti apa’,” ucap Sri Mulyani seperti dilansir Tempo.
Koperasi Desa Merah Putih rencananya bakal diluncurkan pada 19 Juli 2025 mendatang, di Klaten, Jawa Tengah. Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan hadir langsung dalam agenda peluncuran. Pemerintah menyebut sudah ada 80 ribu Koperasi Desa dan Koperasi Kelurahan yang terbentuk. Di antara puluhan ribu koperasi itu, 500 koperasi diklaim sudah berbadan hukum.
Koperasi Desa Merah Putih terasa bakal menjadi program pemerintahan Presiden Prabowo yang punya ciri khas megah dan populis. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan dari Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi yang mengusulkan Koperasi Desa Merah Putih menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Ketua Umum Projo itu juga menyatakan Koperasi Desa Merah Putih sudah masuk Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2026. Budi menilai hal ini penting dalam memastikan keberlanjutan program lintas kementerian dan penguatan anggaran serta dukungan secara nasional. Budi Arie menilai Koperasi Desa Merah Putih mengantongi kriteria sebagai PSN, jika mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Sayangnya, Budi mengaku belum memiliki acuan membentuk peta jalan (roadmap) program Koperasi Desa Merah Putih.
“Tekad atau perintah mewujudkan 80 ribu koperasi ini memang kita kerjakan dengan separuh insting, separuh teknokrasi,” kata Budi Arie dalam rapat kerja dengan Komisi VI di DPR, Rabu (9/7/2025).
Belum adanya peta jalan yang jelas menandakan betapa rentannya program Koperasi Desa Merah Putih ketika diluncurkan. Niat baik pemerintah untuk pembangunan ekonomi desa ini berpotensi menjadi bumerang apabila dijalankan dengan ugal-ugalan dan tanpa kajian.
Padahal, pemerintah lewat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada Maret lalu berjanji bahwa pembentukan Koperasi Desa Merah Putih tidak akan mengganggu program-program desa yang telah tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa). Kala itu, Tito menilai bahwa porsi program nasional dalam APBDesa hanya 30 persen sehingga tidak mengganggu agenda mandiri desa.
Dana Desa Harusnya untuk Bangun Desa
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menegaskan dana desa adalah hak dari pemerintah desa yang digunakan demi pembangunan desa. Hal itu mesti sesuai dengan kebutuhan warga, sebagaimana mandat peruntukan dalam UU Nomor 3 tahun 2024 tentang Desa.
UU Desa mengatur bahwa dana desa diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur, pemenuhan dasar masyarakat, dan pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa alias BUMDes.
“Sebuah program, apalagi program prematur dan berisiko, tidak lebih tinggi dibandingkan dengan UU. Dana desa tidak boleh dijadikan jaminan program yang payung hukumnya pun tidak ada,” ucap Huda kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).

Huda mengingatkan, bahwa kebutuhan setiap desa itu berbeda-beda. Dengan begitu desa memiliki karakteristik ekonomi yang tidak bisa disamakan. Apabila diseragamkan, tujuan dari UU Desa akan terganggu karena dikekang oleh ambisi pemerintah pusat.
Koperasi Desa Merah Putih sekilas terlihat seperti ekonomi komando ala Presiden Prabowo yang mengedepankan skema top down. Penggunaan dana desa semakin menambah risiko yang bisa mengganggu program pemberdayaan dan pembangunan desa secara mandiri.
Desa juga memiliki badan usaha milik desa yang sudah eksis. Termasuk sudah ada dana desa yang diikutsertakan lewat permodalan BUMDes. Menurut Huda, ketika lahir Koperasi Desa Merah Putih yang juga menggunakan dana desa, akan terjadi praktik kanibalisme antarusaha yang dimiliki oleh desa.
“Potensi gagal bayar Koperasi Merah Putih tinggi, sehingga jaminan dana desa tidak adil. Dana desa digunakan untuk menutup gagal bayar yang jumlahnya bisa triliunan per tahun, bahkan puluhan triliun jika dijumlahkan dari tahun 1 hingga tenor kredit,” terang Huda.
Namun, tanpa pemetaan prioritas desa serta pengawasan yang ketat, menggunakan dana desa sebagai jaminan kredit pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih justru membuka bibit penyalahgunaan ke depan.

Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pernyataan pemerintah tentang Koperasi Desa Merah Putih menjadi kontradiktif. Ucapan Mendagri yang menyebut Koperasi Merah Putih tidak akan mengganggu APBDesa, seakan terbantah belakangan oleh ucapan Menteri Keuangan yang menegaskan bahwa dana desa dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan koperasi tersebut.
Filosofi dana desa, kata Achmad, merupakan instrumen transfer fiskal yang dirancang untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dana desa ibarat air kehidupan yang mengalirkan harapan ke desa-desa yang terpinggirkan oleh pembangunan nasional yang terpusat di kota.
Namun, ketika dana desa dijadikan jaminan koperasi, maka air kehidupan itu ibarat diikat dan dijadikan agunan. Achmad menganalogikan skema itu laiknya petani menggadaikan benih demi membeli pupuk dengan harapan panennya akan melimpah.
“Namun jika gagal panen terjadi, maka benih sudah hilang, sawah tak lagi bisa ditanami, dan kemiskinan menjadi semakin dalam,” kata dia kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).
Achmad melihat persoalan utama dalam kebijakan Koperasi Desa Merah Putih terletak pada kaburnya konsep kelembagaan dan tata kelola. Hingga kini belum ada kejelasan mendasar atas desain kelembagaan koperasi Merah Putih.
Padahal dalam teori kelembagaan, ketidakjelasan desain organisasi melahirkan governance failure dan tumpang tindih kewenangan. Belum lagi, kata dia, Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menimbulkan moral hazard yang tinggi.

Ketika ada dana desa sebagai jaminan, pengurus koperasi dan pihak yang menyalurkan pembiayaan dikhawatirkan merasa terlalu longgar. Sebab, mereka tahu sudah ada dana publik yang menutup jika terjadi kegagalan bayar. Ini sama dengan memberi asuransi penuh kepada pihak yang mengambil risiko tanpa ada mekanisme mitigasi.
“Dalam konteks kebijakan publik, desain seperti ini berbahaya karena menciptakan perilaku tidak bertanggung jawab dan membuka peluang terjadinya korupsi atau kolusi antarelite desa dan pihak luar,” tekan Achmad.
Koperasi Desa Merah Putih dengan dukungan negara berpotensi mematikan BUMDes yang selama ini menjadi instrumen resmi pembangunan ekonomi desa. BUMDes sendiri sudah diatur dalam UU Desa dan memiliki posisi strategis untuk mengelola potensi ekonomi lokal. Jika dana desa dialihkan menjadi jaminan koperasi, maka BUMDes kehilangan salah satu modal utamanya.
“Alih-alih memberdayakan desa, kebijakan ini berpotensi mengorbankan dana publik yang seharusnya menjadi hak rakyat desa untuk pembangunan. Dana desa bukanlah jaminan komersial, melainkan sumber kehidupan desa,” lanjut Achmad.
Sementara itu, Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, mengingatkan bahwa penggunaan dana desa terikat dengan kepentingan dan kepemilikan desa karena sudah diatur UU Desa. Tidak mengherankan apabila kemudian salah satu penggunaan utama dana desa mendukung badan BUMDes dalam rangka mengembangkan potensi ekonomi desa.
Berbeda dengan BUMDes, secara teknis Koperasi Desa Merah Putih adalah milik anggota, bukan milik pemerintah desa. Meski Koperasi Desa Merah Putih adalah badan usaha sosial dengan anggota masyarakat desa, namun kedudukan hukum-nya berbeda dengan BUMDes yang merupakan badan usaha milik desa.
“Penggunaan Dana Desa sebagai jaminan utang Koperasi Desa Merah Putih berpotensi melanggar UU Desa,” ucap Yusuf kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).
Untuk dukungan pendanaan ke Koperasi Desa Merah, seharusnya disediakan anggaran khusus dari APBN, bukan dengan menjaminkan dana desa. Komitmen besar Presiden Prabowo memajukan koperasi seharusnya didukung dengan pendanaan yang memadai dari APBN.

Hal ini, kata Yusuf, dapat diawali dengan pembentukan UU Koperasi yang baru. Pasalnya, di era Presiden Joko Widodo, koperasi nyaris tidak mendapatkan perhatian. Salah satunya karena ketiadaan payung hukum yang kondusif bagi koperasi.
UU Nomor 17/2012 yang menggantikan UU Nomor 25/1992 tentang koperasi, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2014. Hal ini berbeda jauh dengan BUMDes yang dalam 10 tahun melejit karena dukungan payung hukum yang kuat yaitu UU Nomor 6/2014, terutama ketentuan dukungan anggaran berupa dana desa yang memadai dari APBN.
Kini, Prabowo mendorong Koperasi Desa Merah Putih hanya dengan payung hukum berupa Inpres Nomor 9/2025. Tidak heran, kata Yusuf, jika dukungan anggaran dari APBN menjadi tidak terlihat, dan akhirnya mencari pendanaan dengan utang dari bank Himbara.
Selain itu, meminjam modal Koperasi Desa Merah Putih lewat Himbara berpotensi menjadi bom waktu di masa depan berupa gagal bayar yang masif dari sekitar 80 ribu koperasi. Hal ini diperkuat model bisnis koperasi yang tidak memiliki diferensiasi kuat serta tidak memiliki terobosan bidang bisnis yang baru.
Selain model bisnis yang tidak unik, Koperasi Desa Merah Putih menghadapi pasar yang terbatas sehingga skala usaha cenderung kecil dan tidak efisien akibat tidak tercapainya economies of scale. Dengan jumlah hingga 80 ribu dan juga masih harus bersaing dengan badan usaha eksisting di desa, pasar koperasi akan terbatas dan sulit punya skala ekonomi yang efisien.
“Kita mengapresiasi Presiden Prabowo yang memiliki afirmasi kuat untuk memajukan koperasi dan ekonomi desa. Namun kita berharap dukungan untuk koperasi bukan dalam bentuk kebijakan top-down yang diimplementasikan secara tergesa-gesa,” ucap Yusuf.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































