Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Risiko Daerah Ditolak PSBB: Korban Bisa Masif Terganjal Birokrasi?

Pemerintah melalui Menkes Terawan masih menolak permintaan daerah menerapkan PSBB. Langkah ini dinilai berpotensi memicu kematian massal akibat COVID-19 karena terganjal birokrasi.

Risiko Daerah Ditolak PSBB: Korban Bisa Masif Terganjal Birokrasi?
Foto udara lalu lintas kendaraan di tol dalam kota, Jakarta, MInggu (12/4/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi.

tirto.id - Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menolak permohonan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diajukan sejumlah pemerintah kabupaten/kota. Keputusan ini dianggap menghambat pencegahan penularan wabah Covid-19 di daerah yang belum terlalu parah.

Salah satu wilayah yang permohonannya ditolak ialah Kota Palangka Raya. Melalui surat keputusan bernomor SR.01.07/Menkes/243/2020 tertanggal 12 April 2020, Terawan menjelaskan keputusan itu diambil lantaran ibu kota Kalimantan Tengah itu belum memenuhi syarat PSBB.

"Berdasarkan hasil kajian epidemiologis dan aspek lainnya serta memperhatikan pertimbangan dari Gugus Tugas Percepatan penanganan COVID-19, Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan belum dapat ditetapkan PSBB," demikian tertulis dalam surat itu.

Merujuk surat tersebut ada dua aspek yang jadi alasan penolakan PSBB di Palangka Raya. Pertama, jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah. Kedua, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Jika melihat data https://corona.kalteng.go.id/, jumlah pasien Covid-19 di Kalimantan Tengah sudah mencapai 25 orang, dari jumlah itu 16 masih dalam perawatan, 8 orang sembuh, dan 1 orang meninggal.

Jumlah pasien positif Covid-19 paling banyak berasal dari Palangka Raya dengan 15 orang pasien yang 8 di antaranya dinyatakan sembuh. Selain itu, Palangka Raya juga merawat pasien dalam pengawasan paling banyak se-Kalteng dengan total 16 pasien.

Selain Palangka Raya, Kemenkes juga memperhatikan kesiapan pada aspek sosial, ekonomi, dan lainnya.

Pertimbangan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Selain Palangka Raya, mantan direktur RSPAD Gatot Subroto itu juga menolak permohonan PSBB wilayah lainnya. Antara lain, Rote Ndao, Mimika, Fak-Fak, dan Sorong. Alasannya sama, wilayah-wilayah tersebut belum memenuhi syarat untuk PSBB.

Potensi Kematian Massal Gara-Gara Birokrasi

Inisiator Gerakan Kawal Covid, Ainun Najib mengecam penolakan tersebut. Menurutnya, pemerintah harus fokus bahwa tujuan utama PSBB adalah melandaikan kurva penyebaran Covid-19. Karenanya, justru langkah pencegahan maksimal harus diterapkan di daerah-daerah yang jumlah pasien positif Covid-19 masih relatif sedikit, bukan justru menunggu jumlahnya meningkat signifikan.

"Kalau nunggu naik seperti huruf J, itu kita sudah terlambat, karena dalam hitungan minggu saja setelahnya akan meroket," kata Ainun saat dihubungi Tirto pada Senin (13/4/2020).

Ainun pun mengingatkan, angka pasien Covid-19 yang dirilis pada hari terakhir sebenarnya adalah jumlah korban pada 1-2 minggu lalu. Pasalnya, ada jeda waktu untuk masa inkubasi dan tes swab oleh pemerintah.

Dengan kata lain, jumlah riil pasien positif pada hari terakhir kemungkinan jauh lebih besar dibanding yang dirilis pemerintah. Dari fakta itu, Ainun mempertanyakan keseriusan pemerintah pusat mengatasi wabah Covid-19. Alih-alih membantu, pemerintah pusat justru memperlambat langkah pemerintah daerah yang ingin berjalan cepat mengantisipasi persebaran virus.

"Jangan sampai terjadi kematian massal karena penundaan birokrasi," kata Ainun.

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif pun memberi pernyataan senada. Menurutnya, salah satu musuh utama dalam penanganan wabah adalah birokrasi dan formalitas.

"Sepanjang pemerintah daerah siap mengatasi dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat pembatasan gerak orang dan interaksi sosial, harusnya bisa dijalankan," kata Syahrizal saat dihubungi Tirto hari ini.

Namun, penolakan itu semestinya tak menggentarkan para pemimpin daerah. Ia menilai PSBB hanyalah perangkat hukum, tanpa itu pemerintah daerah masih tetap bisa bertindak melakukan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang dilakukan oleh Jakarta beberapa waktu lalu, meskipun tidak bisa dilakukan dengan ketat.

Ia mencontohkan penanganan Covid-19 yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. Meskipun tidak berstatus PSBB tapi Pemkot Surabaya melakukan koordinasi penanganan Covid-19 hingga tingkat RT.

"Kunci penanggulangan ada di masyarakat- RT, RW, dusun, desa siaga Covid-19," kata Syahrizal.

Syahrizal melanjutkan, yang patut dikhawatirkan saat ini bukan hanya penolakan PSBB oleh Kemenkes. Ia juga mengkhawatirkan adanya wilayah yang enggan mengajukan lantaran ketentuan dalam PP Nomor 21 tahun 2020 bahwa Pemda harus menanggung implikasi fiskal akibat penerapan PSBB.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri