tirto.id - Demonstrasi menolak Otonomi Khusus Papua Jilid II bergulir di Bumi Cenderawasih pada September lalu. Di Timika dan Nabire, massa ditangkapi dan dibubarkan polisi. Rakyat Papua tak ingin kebijakan itu diperpanjang lagi hingga puluhan tahun kemudian.
Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan kalau yang sedang dibahas pemerintah adalah salah satu pasal di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. “Bukan mengakhiri atau memperpanjang undang-undangnya, tapi merevisi Pasal 34 tentang dana otsus. Dana itu habis masa berlakunya (pada) tahun 2021. Sehingga kalau sekarang (pasal itu) tak direvisi, dana tidak sah secara hukum,” ucap dia dalam konferensi pers daring, Jumat(2/10/2020).
Ia melanjutkan, pemerintah akan memberikan dana otonomi khusus sesuai dengan permintaan rakyat Papua. Jika penduduk minta jumlah uang meningkat, maka akan dinaikkan 2,5 persen dari dana alokasi umum. Keinginan lainnya agar warga langsung merasakan dampak dari peningkatan itu.
Mahfud mencontohkan, selama ini manfaat dana otonomi khusus tak dirasakan penduduk setempat. Maka dalam penggodokan pasal ini akan mengatur perihal pengendalian dana dari pusat.
“Ini dana banyak untukmu, wahai rakyat Papua. Tapi kami atur agar sampai ke rakyat, sambung dia. Lantas ada info yang menyesatkan, menurut Mahfud, yakni pemerintah mengeksploitasi alam Papua namun masyarakatnya tak mendapatkan hasil.
Pemerintah mengeluarkan dana untuk Papua sekira Rp46 triliun per tahun, sementara hasil pajak pertambangan, kehutanan, dan lainnya dari provinsi Papua ke pusat hanya Rp12 triliun. Menurut Mahfud isu menyesatkan itu adalah tuduhan dari kalangan tertentu.
“Kalau perhitungan Rizal Ramli yang dikemukakan di ILC bersama saya, rata-rata per kepala orang Papua itu mendapat 17 kali lebih banyak dari rata-rata per kepala nasional. Tapi tak sampai (diterima oleh rakyat), karena di situ banyak korupsinya,” tutur Mahfud.
Dia mengklaim pihaknya telah berkomunikasi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), pun tokoh masyarakat perihal otonomi khusus. Hasilnya lebih dari 90 persen rakyat Papua tak mempersoalkan kebijakan tersebut. Pihak yang menolak otonomi khusus hanyalah ‘orang-orang tertentu’.
Majelis Rakyat Papua, representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, menyebut melanjutkan Otsus atau tidak perlu ada dasarnya. Itu bisa dilihat dari empat aspek: kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur.
Evaluasi terhadap empat aspek itu semestinya melibatkan para ahli dan yang paling utama harus mengikutsertakan orang asli Papua. "Evaluasi Otsus dikembalikan ke rakyat, rakyat yang menilai," kata Ketua MRP Timotius Murib ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (26/7/2020).
Berdasarkan Pasal 77 UU Otsus, usul perubahan UU dapat diajukan rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah. Masalahnya, selama ini aspirasi masyarakat kurang didengar.
"Jokowi datang ke Papua tidak pernah bicara dengan MRP. Itu fatal. Lalu dari mana Jokowi mau mendapatkan aspirasi pembangunan yang sesungguhnya diinginkan rakyat Papua?"
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri