tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam Rapat Paripurna di Jakarta, Kamis (2/10/2025) lalu. Revisi UU BUMN ini merupakan perubahan kedua kalinya dalam tahun ini, setelah perombakan regulasi sempat disahkan pada Februari 2025.
Langkah ini diharapkan tak sebatas formalitas penataan kelembagaan semata, tapi menjadi momentum transformasi dan reformasi tata kelola BUMN ke depan. Terdapat beberapa poin utama yang termuat dalam revisi kali ini, utamanya terkait pembentukan Badan Pengaturan (BP) BUMN paling lambat pada Oktober 2028.
BP BUMN akan menjadi lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengaturan BUMN. Dengan begitu, Kementerian BUMN akan dibubarkan karena berganti menjadi BP BUMN.
Dalam salinan UU BUMN baru yang diterima Tirto, Jumat (4/10/2025), Pasal 3A Ayat (4) menyatakan bahwa BP BUMN berada di bawah dan bertanggung jawab terhadap presiden. Namun, sebelum BP BUMN dibentuk, Menteri BUMN tetap melaksanakan tugas pengelolaan BUMN. Sementara itu, perihal pembubaran Kementerian BUMN diatur dalam Pasal 93 Ayat (4) huruf (a).
Poin penting lain yang termuat dalam revisi keempat UU BUMN adalah penegasan bahwa menteri serta wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Ketentuan mengenai rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai organ BUMN berlaku paling lambat dua tahun atau terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara tersebut diucapkan.
Sebelumnya, pengaturan terkait larangan rangkap jabatan untuk menteri dan wakil menteri sebagai direksi, komisaris, serta dewan pengawas BUMN ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 228/PUU-XXIII/2025 yang dirilis pada 28 Agustus 2025.
Setidaknya terdapat 31 wakil menteri yang kini menjabat sebagai komisaris di perusahaan pelat merah. Misalnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (Komisaris PLN), Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo (Komisaris BRI), Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung (Komisaris Bank Mandiri), dan Wakil Menteri Pertanian Sudaryono (Komisaris Pupuk Indonesia).

Bahkan, berselang dua pekan setelah putusan MK itu dibacakan, tiga wamen diangkat menjadi komisaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Telkom, Selasa (16/9/2025). Mereka adalah Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo (Komisaris Utama Telkom), Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN Ossy Dermawan serta Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim diangkat menjadi komisaris.
Sebelumnya, dalam revisi UU BUMN pada Februari 2025 lalu, fokus utamanya terletak pada pembentukan badan pengelola Holding Investasi dan Holding Operasional yang jadi acuan pendirian Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Lebih lanjut, lewat revisi keempat UU BUMN kali ini, BPI Danantara juga diperkuat dengan penataan posisi dewan komisaris dalam Holding Investasi dan Holding Operasional dengan penegasan mesti berasal dari kalangan profesional.
Secara keseluruhan, terdapat 84 Pasal yang diubah dalam revisi UU BUMN kali ini, dengan 12 pokok pikiran pengaturan terkait lembaga. Selain poin yang sudah disebut sebelumnya, ada juga pokok lain, seperti penegasan kepemilikan saham Seri A dwiwarna 1 persen oleh negara pada BP BUMN.
Selain itu, revisi UU BUMN keempat ini menghilangkan ketentuan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara; serta pengaturan kewenangan pemeriksaan keuangan BUMN oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan BUMN.
Larangan Masih Setengah Hati?
Pengamat BUMN dari NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, memandang kehadiran BP BUMN akan berdampak bertambahnya birokrasi bagi BUMN. Hal ini antara lain tampak dari bertambahnya kewenangan yang diberikan kepada BP BUMN untuk mengoptimalkan BUMN.
“Ini cek kosong, yang artinya BP BUMN bisa intervensi BUMN dengan dalil optimalisasi,” ujar Herry kepada wartawan Tirto, Jumat (3/10/2025).
Di sisi lain, BUMN jadi seperti kembali ke masa lalu karena BPK dapat mengaudit. Selain itu, mengembalikan dewan komisaris, direksi, dan karyawan BUMN dengan statusnya sebagai penyelenggara negara.
“Dengan begitu, BUMN kembali jadi kekayaan negara yang dipisahkan, bukan lagi badan privat seperti tertuang dalam UU Nomor 1/2025 tentang BUMN,” ujar Herry.
Menurut Herry, meski terdapat larangan rangkap jabatan menteri dan wakil menteri, tampak eselon 1 ke bawah masih boleh merangkap jabatan sebagai komisaris. Karenanya, larangan itu dinilai Herry masih setengah hati.
Idealnya, yang perlu ditegaskan larangan pejabat atau penyelenggara negara rangkap jadi komisaris BUMN karena akan melahirkan benturan kepentingan.
“Selain itu, untuk menunjukkan itikad baik, menteri dan wakil menteri yang jadi komisaris sebaiknya mundur setelah UU ini disahkan. Ini soal standar etika. Kalau nunggu dua tahun, berarti ngabisin jatah,” ucap Herry.

Sementara itu, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai kekuatan hukum dari putusan MK yang melarang menteri dan wakil menteri rangkap jabatan pada BUMN sebetulnya sudah kuat. Maka tanpa adanya revisi pun Huda menilai sudah semestinya menteri dan wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan di BUMN.
Menurut Huda, putusan MK serupa sebenarnya sudah lahir sejak 2019, tetapi pemerintah masih melanggar. Karenanya, seharusnya pendapatan menteri dan wakil menteri yang rangkap jabatan tidak sah secara hukum sesuai larangan di UU Kementerian Negara.
Hal ini yang perlu ditegakkan dengan adanya penegasan lewat revisi UU BUMN baru ini. Huda mendesak pemerintah segera mencopot komisaris yang berasal dari pemerintahan.
Kemudian, komisaris BUMN juga harus bebas dari unsur partai politik maupun dari unsur relawan politik. Jika pun memang mumpuni, tetap mesti dilihat kesesuaian latar belakangnya dengan bidang BUMN yang ditunjuk.
“Masa ada komisaris tidak pernah belajar tambang jadi komisaris BUMN bidang tambang hanya karena kader partai tertentu. Tidak make sense dengan semangat profesionalisme BUMN. Rusak negara jika praktik seperti ini marak terjadi,” ujar Huda kepada wartawan Tirto, Jumat (3/10/2025).
Laporan Transparency International Indonesia (TII) bertajuk ”Komisaris Rasa Politisi: Perjamuan Kuasa di BUMN” menyebutkan bahwa dari 59 BUMN induk dan 60 anak usahanya, ada 165 orang pejabat komisaris teridentifikasi punya latar belakang politik. Sekitar 104 orang di antaranya merupakan kader partai, sementara 61 orang lainnya adalah relawan politik.
Dari 104 komisaris yang merupakan kader parpol itu, afiliasi dari Partai Gerindra menjadi yang paling dominan dengan porsi sebesar 48,6 persen. Disusul afiliasi politisi Partai Demokrat (9,2 persen), Golkar (8,3 persen), serta PDIP, PAN, hingga PSI yang mencatatkan angka 5,5 persen.
Sementara itu, dalam salinan revisi keempat UU BUMN yang diterima Tirto, Pasal 3Y menyatakan bahwa Kepala BP BUMN, organ, serta pegawai BP BUMN tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian terhadap BUMN.
Pasal 3Y memberikan perlindungan hukum selama pihak-pihak terkait dapat membuktikan bahwa kerugian tidak disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian mereka, serta pengelolaan dilakukan sesuai prinsip tata kelola yang baik.
Kendati begitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah mengaku jadi lebih leluasa dan mendapat kepastian hukum dalam memberantas korupsi di tubuh BUMN setelah adanya pengesahan revisi keempat UU BUMN.
Poin yang disoroti KPK adalah dihapusnya ketentuan yang menyebutkan anggota direksi, anggota dewan komisaris, serta dewan pengawas BUMN merupakan penyelenggara negara.
Dengan berstatus sebagai penyelenggara negara, ujar Budi, para pimpinan BUMN itu harus menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai salah satu instrumen pencegahan korupsi.
"UU tersebut menegaskan kembali keleluasaan dan kepastian hukum bagi KPK, dalam melakukan pemberantasan korupsi pada sektor BUMN, baik dalam konteks penindakan maupun pencegahan," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Implementasi Perlu Dipercepat
Pemerhati kebijakan publik dan ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai penegasan larangan rangkap jabatan komisaris oleh menteri dan wamen merupakan kemajuan mendasar dalam mengurangi conflict of interest. Pasalnya, jika rangkap jabatan dibiarkan berlarut, bias keputusan atau sekadar persepsi bias bakal bertahan dan menambah biaya modal institusional.
Karena itu, meski memberi masa transisi, langkah ini secara tata kelola idealnya dipercepat. Sinyal pasar dari percepatan itu jelas bahwa Indonesia serius menegakkan garis pemisah antara keputusan kebijakan dan aksi korporasi.
Semakin cepat garis itu ditegakkan, semakin cepat pula kepercayaan investor menguat, dan semakin rendah premi risiko yang ditanggung BUMN ketika menghimpun pembiayaan.
Menurut Achmad, secara institusional, revisi keempat UU BUMN ini membuat posisi BUMN menguat karena garis perannya menjadi jelas. BP BUMN berfokus dalam standardisasi fit and proper, batas leverage dan risiko valuta, protokol keterbukaan informasi, hingga penataan PSO agar tidak menggerus arus kas korporasi.
Sementara itu, BPI Danantara memegang kendali ekonomis: alokasi modal lintas holding, rotasi portofolio, sinergi operasional, serta mobilisasi pembiayaan yang lebih cerdas.
“Masalah lama BUMN adalah dualisme peran regulator merangkap ‘pemilik’ ekonomis yang membuat akuntabilitas kabur dan keputusan korporasi tersendat. Revisi UU memisahkan jalur BP BUMN sebagai perumus standar, pagar risiko, dan pengawasan, sementara BPI Danantara mengorkestrasi portofolio, aksi korporasi, serta pembiayaan proyek strategis,” terang Achmad kepada wartawan Tirto, Jumat (3/10).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































