Menuju konten utama

Relasi Berdarah IMF-Bank Dunia di Indonesia

IMF dan Bank Dunia sudah lama jadi sobat mesra Indonesia dan tutup mata terhadap korupsi serta pelanggaran HAM dari Aceh hingga Papua.

Relasi Berdarah IMF-Bank Dunia di Indonesia
Anggota Gegana Brimob menuju pos tugasnya usai mengikuti Gelar Pasukan Operasi Puri Agung VI 2018 untuk pengamanan pertemuan IMF-Bank Dunia di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, Kamis (4/10/2018). ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

tirto.id - Bank Dunia, institusi keuangan yang dibentuk pada 1944 atau setahun menjelang Perang Dunia II berakhir, mencairkan dana tak sedikit bagi Kerajaan Belanda pada 7 Agustus 1947. Sang presiden Bank, John J. McCloy, setuju untuk memberikan pinjaman sebesar US$195 juta dalam Proyek Rekonstruksi Pasca-Perang. Uang tersebut diniatkan untuk pemulihan ekonomi dalam negeri yang porak poranda karena perang.

Namun, tak semua dana itu dipakai untuk tujuan awal. Sebagian dari dana segar tersebut digunakan untuk melancarkan serangan militer di pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, salah satu bekas koloninya. Dalam narasi resmi sejarah kita, periode ini dikenal sebagai Agresi Militer I.

Bruce Rich dalam Mortgaging The Earth (1994) mencatat pinjaman Bank Dunia itu "memberikan sumber daya bagi pemerintah Belanda yang dibutuhkan untuk melanjutkan program pemulihan ekonomi dan melancarkan perang skala besar di belahan dunia." Tanpa itu, tak bisa Belanda melancarkan serangan—atau, minimal tidak semasif yang terjadi.

Dan itu hanya awal dari rentetan intervensi Bank Dunia—serta saudara kembarnya Dana Moneter Internasional (IMF) terhadap Indonesia.

Dihambat 'Politik Anti-Imperialis' Sukarno

Cengkeraman IMF-Bank Dunia menguat dan bahkan membentuk "wajah" Indonesia pada era Orde Baru. Namun, bukan berarti pada era sebelumnya tak ada relasi sama sekali. Di era Sukarno, presiden populis yang condong ke kiri itu, IMF telah berupaya menjadi bagian inheren dari ekonomi Indonesia.

Meski secara de facto telah jadi bagian Bank Dunia dan IMF pada pertengahan 1953 dengan dibakukan lewat Undang-undang Nomor 5 tahun 1954, tapi keterikatan ini tak memberi banyak keuntungan karena orientasi ekonomi yang dibangun Sukarno. Indonesia jadi bagian IMF dan Bank Dunia (dulu masih bernama International Bank for Reconstruction and Development-IBRD) secara otomatis ketika bergabung ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S. Indonesian Relations (2010), mencatat pada Mei 1962, tim kecil dari IMF berkunjung ke Indonesia dalam rangka riset kondisi ekonomi. Mereka merekomendasikan kepada Indonesia untuk melakukan serangkaian reformasi dalam rangka pemulihan krisis dan inflasi berkepanjangan seperti pengetatan fiskal, penghapusan subsidi untuk konsumsi domestik, dan kredit yang ketat—singkatnya, meliberalisasi ekonomi Indonesia.

Salah satu pihak dari Indonesia yang tertarik dengan gagasan tersebut adalah Menteri Keuangan Djuanda Kartawidjaja. Beberapa pejabat lagi yang sepakat dengan gagasan itu antara lain Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Zairin Zain; Gubernur Bank Indonesia Soemarno; dan Menteri Perindustrian Dasar & Pertambangan Chairul Saleh.

Orang-orang ini yang jadi "tangan kanan" penasihat-penasihat dari AS seperti ekonom kenamaan Bernard Bell. Bell juga jadi otak di balik "Regulasi 26 Mei" (ada pula yang menulisnya "Peraturan 26 Mei") oleh Djuanda—14 paket kebijakan yang di antaranya berisi enam peraturan soal ekonomi, empat soal kepegawaian, dan satu soal pelaksanaan peraturan; yang secara umum mirip seperti rekomendasi tim kecil IMF. Lebih spesifik: Regulasi 26 Mei mengatur soal penaikan harga-harga seperti ongkos listrik, kereta api, dan kertas.

Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965 (1974), menyebut aturan ini sebagai "instalasi pertama dari program stabilisasi yang didukung IMF."

Bagaimana sikap Sukarno?

Pada awalnya ia tak bersikap keras atas peraturan ini, meski sejak awal Partai Komunis Indonesia, salah satu "kakinya" selain tentara, menentang dengan keras. Sukarno masih mau membuka kesempatan bagi pinjaman internasional manapun, termasuk IMF dan Bank Dunia, sepanjang dibarengi syarat yang ketat dan tak mengikat.

Mimpi IMF ikut campur dalam ekonomi dan politik Indonesia baru benar-benar pupus setelah Regulasi 26 Mei dicabut pada April 1964. Hal ini disebabkan karena Sukarno marah terhadap "Barat" yang mengizinkan "negara boneka Malaysia" berdiri. Dampaknya, dalam penilaian Sukarno, IMF dan Bank Dunia adalah perwakilan "Barat" di bidang ekonomi yang hendak mengacak-acak Indonesia.

Politik konfrontasi dengan Malaysia, selain bikin gemetar kaki tangan "imperialis", juga jadi mimpi buruk IMF-Bank Dunia.

Indonesia akhirnya resmi keluar dari IMF pada 17 Agustus 1965, tujuh bulan setelah menanggalkan statusnya sebagai anggota PBB.

Mengenai pencabutan ini, Sutikno, delegasi Indonesia untuk IMF, mengatakan "jelas tidak ada harapan untuk stabilisasi." Bantuan US$30 juta yang sedianya diberikan IMF juga ditunda karena itu.

Infografik HL Indepth IMF WB

Mesra dengan Orde Baru

IMF dan Bank Dunia sumringah ketika Suharto berhasil menggulingkan pemerintahan Sukarno. Naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan dengan cara pembantaian massal antara 500 ribu orang hingga 3 juta orang, dalam periode 1965-1966, membuka kembali kesempatan bagi kedua lembaga keuangan itu masuk ke Indonesia. Hal ini semakin diperlancar karena faktanya Indonesia butuh dana segar untuk memulihkan kondisi ekonomi yang compang-camping.

Maka, dimulailah pembalikan orientasi ekonomi yang dramatis: dari pro-Timur (rezim komunis) ke pro-Barat, dengan motor penggerak dua kelompok besar yang saling berkelindan satu-sama lain: IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) dan ekonom-ekonom jebolan University of California yang telah disekolahkan sejak 1950-an berkat beasiswa dari Ford Foundation.

Sementara IGGI, yang terdiri beberapa negara maju dan institusi keuangan internasional termasuk IMF dan Bank Dunia, menyediakan dana segar yang jumlahnya besar bukan main, ekonom-ekonom yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley" jadi otak di balik segala regulasi yang terbit. Simbiosis mutualisme terjalin di antara mereka.

Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers (1984) menulis bahwa bantuan IGGI berupa program buat memperkuat neraca pembayaran. Banyak bantuan juga disalurkan dalam bentuk proyek dan jadi "penasihat"—yang tentu saja saran-sarannya selalu diikuti—dalam merencanakan program pembangunan.

Pada 1967, atau dalam periode tahun pertama IGGI berdiri, Indonesia sudah dapat pinjaman US$174 juta. Selain memberi dana segar, relasi harmonis antara Indonesia-IGGI membikin utang Indonesia dikurangi. Negara kreditur Barat sepakat untuk memoratorium utang Indonesia hingga 1971 dan kembali diperpanjang hingga 1999. Ini adalah imbal jasa bagi Suharto yang telah membuka keran investasi sebesar-besarnya lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Hasilnya terlihat dengan cepat: harga barang-barang turun, inflasi terkendali, produk-produk impor membanjiri pasar. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7-8 persen pada 1980-an hingga 1990-an membuat Bank Dunia tak segan melabeli Indonesia sebagai salah satu "Asian Miracle".

Namun, apa yang diklaim sebagai "keajaiban Asia" ini berdiri di atas pondasi yang rapuh.

Éric Toussaint, ilmuwan politik asal Belgia dalam The World Bank: A Critical Primer (2007), menjelaskan bagaimana institusi-institusi internasional ini, terutama Bank Dunia, bungkam meski tahu tak semua pinjaman untuk belanja program, melainkan masuk ke kantong pribadi para pejabat.

Pada Agustus 1997, Bank Dunia membuat laporan yang menyebut 20 sampai 30 persen anggaran yang terkait dengan dana pembangunan disalahgunakan; hal yang sebenarnya telah mereka tahu setelah mendukung Soeharto.

"Bank Dunia melanjutkan pinjamannya meski mengetahui dengan pasti bahwa dananya kemungkinan digelapkan," tulis Toussaint.

Bank Dunia juga abai ketika pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti aneksasi Timor Timur pada 1975, malah dalam derajat tertentu merekalah sponsor utama pelanggaran HAM. Contohnya, program transmigrasi yang, menurut Toussaint, tak lebih sebagai upaya untuk "menyingkirkan penduduk Jawa yang tidak diinginkan seperti orang tua, orang sakit, dan gelandangan."

Tak kurang dari US$500 juta dikucurkan demi kesuksesan program ini. Uang ini terutama dipakai untuk biaya pembangunan lokasi para transmigran sekaligus biaya perjalanannya.

Ada 3,5 juta orang dipindah sejak Bank Dunia mengucurkan dana pada 1974, padahal sejak 1950-1974 jumlah transmigran tak lebih dari 664 ribu orang.

Bank Dunia juga tebal kuping ketika kritik terhadap pemerintah Indonesia semakin masif di panggung internasional karena pelbagai pelanggaran HAM. Setelah IGGI bubar pada 1992 karena tragedi Santa Cruz di Timor Timur yang menyebabkan puluhan hingga ratusan sipil tewas, Bank Dunia justru mendirikan Consultative Group on Indonesia (CGI) sebagai gantinya.

Bagaimana dengan IMF?

Salah satu fase yang begitu diingat publik tentu saja ketika Michel Camdessus, Direktur IMF, berdiri sambil bersedekap tangan melihat Soeharto membubuhkan tanda tangan di dokumen Letter of Intent (LoI) sembari duduk. Fotonya ada di buku-buku sejarah anak sekolah.

Dokumen ini berisi paket kebijakan yang harus dilakukan pemerintah agar dapat pinjaman utang. Pada dasarnya, dokumen ini punya visi untuk mengintegrasikan secara total Indonesia dalam perekonomian global alias sistem ekonomi pasar mutakhir atau neoliberalisme.

Maka, demikianlah simpulan Toussaint tentang relasi IMF-Bank Dunia serta lembaga sejenis dan Indonesia: "Semua ada di sana: campur tangan dalam urusan internal suatu negara; dukungan untuk rezim diktator yang bersalah atas kejahatan kemanusiaan; mendukung rezim yang bertanggung jawab atas agresi negara tetangga (aneksasi Timor Timur pada 1975); penjarahan sumber daya alam untuk keuntungan perusahaan transnasional; dan agresi terhadap bumiputra (indigenous people)."

Baca juga artikel terkait PERTEMUAN IMF atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Fahri Salam