Menuju konten utama

Nasib Buruh di Balik Gemerlap Annual Meetings IMF-World Bank

Bank Dunia merilis rekomendasi negara macam Indonesia bersedia melonggarkan peraturan tenaga kerja termasuk anjuran memotong upah buruh.

Nasib Buruh di Balik Gemerlap Annual Meetings IMF-World Bank
Petugas membantu pengendara melakukan transaksi non tunai di pintu tol Palembang Indralaya (Palindra), Sumsel, Rabu (3/1/2018). Petugas tol paling terancam dari otomatisasi e-toll. ANTARA FOTO/Feny Selly

tirto.id - Hari ini Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Nusa Dua, Bali. Segala persiapan, baik kepanitiaan, anggaran, maupun penyediaan fasilitas, sudah dilakukan pemerintah.

Namun, muncul kritik terutama soal biaya untuk mempersiapkan acara ini: nyaris Rp1 triliun.

Sebelum digelar di Bali, pertemuan tahunan oleh Dewan Gubernur IMF dan Bank Dunia ini diadakan di markas IMF-Bank Dunia di Washington D.C., Amerika Serikat, selama dua tahun berturut-turut. Kemudian, untuk tahun berikutnya, pertemuan dilaksanakan di negara anggota terpilih.

Pertemuan-pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan perkembangan ekonomi dan keuangan global serta isu-isu terkini, pengurangan kemiskinan, pembangunan ekonomi internasional, dan permasalahan lain.

Pertemuan terdiri dari beberapa agenda: Siang Pleno IMF-WB, Pertemuan Komite Moneter dan Keuangan Internasional IMFC), Komite Pembangunan Bank Dunia, pertemuan grup kerja sama ekonomi (G-20, G-24, MENA, Commonwealth, BRICS, IIF, WEF), pertemuan sektor perbankan dan riil, seminar dan konferensi internasional, hingga jamuan pers.

Pertemuan ketiga di Bali ini akan menghadirkan 15.000 peserta, terdiri dari Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan dari 189 negara, sektor privat, organisasi nonpemerintahan, akademisi, dan media.

Kendati dibangun atas narasi “diskusi perkembangan ekonomi dan keuangan global,” ajang ini tetap memunculkan topik pembahasan yang lebih spesifik. Guna menjelaskan poin ini, kita perlu melihat bagaimana tiga gelaran terdahulu berjalan.

  • Annual Meetings IMF-World Bank 2015, Peru
Pertemuan di Lima, 9-11 Oktober 2015, berfokus pada penentuan langkah-langkah untuk mengakhiri kemiskinan global, pertumbuhan ekonomi, krisis Timur Tengah, serta perubahan iklim.

Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia, dalam pidato keanggotaannya berkata begini:

“Walaupun kita tetap yakin untuk mengakhiri kemiskinan yang ekstrem, kondisi saat ini cukup membuat kita kesulitan, karena kita berada di tengah-tengah periode pertumbuhan ekonomi global yang melambat, kenaikan suku bunga yang tertunda, hingga larinya modal dari pasar negara berkembang.

Guna memacu pertumbuhan, setiap dolar yang dikeluarkan untuk belanja publik, alangkah baiknya harus dipertimbangkan terlebih dulu dengan saksama. Harapannya, setiap dolar bisa dipakai untuk meningkatkan produktivitas. Dan, kita juga harus memastikan modal bisa diakses bagi semua kalangan, baik pemilik usaha kecil maupun pengusaha, agar semakin banyak lapangan kerja yang tercipta.”

Atas dasar itu, serangkaian keputusan dihasilkan selama acara. Pada 9 Oktober, IMF-Bank Dunia berjanji untuk menambah alokasi dana terkait solusi masalah perubahan iklim sebanyak $29 miliar setiap tahun. Sehari setelahnya, Bank Dunia bersama PBB dan Bank Pembangunan Islam (IDB) sepakat meningkatkan pembiayaan bagi negara-negara yang terpapar konflik di Timur Tengah serta Afrika Utara. Biaya itu nantinya dipakai untuk membantu penanganan pengungsi, modal investasi, serta mencapai pemulihan ekonomi.

  • Annual Meetings IMF-World Bank 2016, Washington D.C.
Pertumbuhan ekonomi global masih melambat, dan hal itu pula yang menjadi pokok bahasan dalam pertemuan pada 7-9 Oktober 2016 di Washington D.C.

Agustin Carstens, Gubernur Bank of Mexico, mengatakan keadaan tersebut membuat pemulihan ekonomi dalam lingkup yang lebih luas jadi timpang, selain masalah-masalah utama macam kesenjangan pendapatan, melemahnya perdagangan dan investasi internasional, proteksionisme, mandeknya reformasi kebijakan, serta meningkatnya ketidakpastian geopolitik maupun risiko keuangan jangka menengah.

Dalam mengatasi persoalan tersebut, IMF-Bank Dunia menawarkan beberapa solusi: Pertama, membuat kebijakan fiskal yang ramah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan memprioritaskan pajak serta investasi berkualitas tinggi, serta meningkatkan ketahanan dan memastikan utang publik sebagai bagian dari PDB yang berkelanjutan.

Kebijakan fiskal yang tepat dan kredibel, catat Carstens, “mampu mendukung pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kepercayaan diri.”

Kedua, kebijakan moneter yang proporsional sesuai mandat dan arahan masing-masing bank sentral. Dengan kebijakan ini, tiap negara diyakini bisa menciptakan stabilitas keuangan dan mengurangi kesenjangan.

Ketiga, memprioritaskan reformasi secara struktural yang dianggap Carstens sebagai “kunci untuk meningkatkan potensi pertumbuhan” asalkan disertai kebijakan pendukung lain yang, jelas Carstens, “saling bersinergi satu sama lain.”

  • Annual Meetings IMF-World Bank 2017
Masih diadakan di Washington D.C., 9-15 Oktober, pertemuan tahunan ini membahas mengenai strategi pemberantasan korupsi. Menurut IMF-Bank Dunia, mengatasi korupsi sama halnya “mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan inklusif, dan menjaga kepastian di pasar.”

Baik IMF maupun Bank Dunia memegang peran kunci dalam “membentuk kebijakan yang lebih efektif dan inovatif untuk memerangi korupsi.” Namun, kedua lembaga ini menegaskan kebijakan yang dikeluarkan nantinya harus juga diimbangi inisiatif tiap negara anggota dalam “meningkatkan kualitas, kerangka kerja, serta tata kelola lembaga garda terdepan pemberantasan korupsi.”

Selain perkara korupsi, pertemuan membahas upaya peningkatan peran perempuan dalam perekonomian. Dalam diskusi panel yang dipimpin Presiden Bank Dunia Jim Yong Kin, para peserta mendorong ada dukungan bagi perempuan untuk memperoleh akses, tak sebatas ke sektor keuangan, melainkan ke ranah teknologi hingga pendidikan, agar kelak perempuan mampu berkontribusi secara maksimal pada kerja-kerja ekonomi global.

Infografik HL Indepth IMF WB

Bagaimana Pertemuan 2018 di Bali?

Bank Indonesia, dalam situs resmi, menyebut tujuan utama penyelenggaraan pertemuan tahunan ini “menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia dan Asia sebagai pilar ekonomi yang tereformasi, lenting, dan progresif,” di samping “keterlibatannya yang lebih solid dengan IMF maupun World Bank dengan stigma yang berkurang.”

Indonesia boleh saja mematok tujuan semacam itu. Tapi, yang perlu diperhatikan, apakah (dan bagaimana) pertemuan tersebut bakal merespons laporan Bank Dunia soal hak-hak buruh yang terancam dikebiri?

Pada April 2018, Bank Dunia mengusulkan negara-negara berkembang agar mengurangi sejumlah peraturan ketenagakerjaan. Di antara aturan yang dimaksud adalah soal upah minimum, pesangon, serta wewenang pemberi kerja dalam merekrut atau menghentikan pekerjanya. Dengan kata lain, Bank Dunia menginginkan hubungan kerja yang "lebih fleksibel."

Visi dari usulan tersebut, menurut institusi yang lahir setelah konferensi Bretton Woods pada 1944 itu, menyiapkan negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi perubahan lanskap industri. Perubahan yang mereka maksud ialah apa yang sering dirayakan para guru pemasaran sebagai “Revolusi Industri 4.0.” Konsep ini menitikberatkan pada penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan otomatisasi sehingga tenaga kerja manusia semakin tak dibutuhkan secara langsung untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik.

Seorang juru bicara Bank Dunia anonim dalam laporan The Guardian mengatakan gagasan dalam World Development Report 2019 dapat diaplikasikan pemerintah di seluruh dunia. Ia berharap usulan ini dapat menciptakan manfaat bagi buruh dan semua masyarakat.

“Untuk menghapus kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran bersama, kita perlu mempertimbangkan inisiatif-inisiatif baru guna mengatasi gangguan yang pasti akan datang dari berbagai perubahan struktural,” katanya.

Usulan Bank Dunia itu ditentang oleh buruh.

Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Muhammad Rusdi menolak mentah-mentah wacana tersebut. Menurutnya, jika Indonesia menghapuskan sistem upah kerja minimum atau pesangon, hal itu hanya akan menguntungkan korporasi, dan semakin merugikan buruh.

Baca Tirto Visual Report:

Vincent Llyod dan Robert Weissman dalam “How International Monetary Fund and World Bank Policies Undermine Labor Power and Rights” menulis kebijakan-kebijakan yang dipatok IMF-Bank Dunia kerap berdampak buruk pada hak-hak serta standar hidup buruh. Kesimpulan ini didapat setelah meninjau dokumen perjanjian pinjaman antara IMF-Bank Dunia dan 26 negara.

Weissman mencontohkan syarat privatisasi yang membuat pekerja bisa di-PHK. Selain itu, syarat-syarat Bank Dunia menyebabkan perusahaan swasta dapat memecat pegawai sesukanya dengan alasan “tuntutan regulasi,” pengurangan upah, melebarnya kesenjangan, hingga pemotongan tunjangan jaminan sosial bagi pekerja.

Tak cuma fokus memoles diri sebagai tuan rumah atau berharap pada potensi keuntungan dari sektor pariwisata yang diklaim menggiurkan, pemerintah Indonesia sekiranya perlu memperhatikan dampak dari apa yang disepakati di Bali atau Washington.

Plus, jika laporan Bank Dunia itu benar-benar diaplikasikan, masa depan buruh di negeri ini yang bisa terancam atas nama “Revolusi Industri 4.0.”

Baca juga artikel terkait PERTEMUAN IMF atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam