AMBIL MESINNYA
BUANG MANUSIANYA

Bagi Syahril, Rina, dan Supri, ancaman terbesar bukanlah serbuan pekerja asal Cina, melainkan otomatisasi. Ketiganya adalah pultol yang entah akan bernasib bagaimana ketika semua gardu tol menggunakan transaksi elektronik.

 

Perusahaan tempat mereka bekerja, PT. Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JLJ), mengumumkan tidak akan ada PHK, tapi juga belum memberi tahu apa tugas mereka nanti. Semua masih serbagelap.

 

“Mungkin benar enggak akan di-PHK, tapi dirumahkan,” kata Syahril, tertawa lepas. “Dirumahkan bagaimana? Rumah saja saya belum punya, masih mengontrak.”

 

 

Sudah sebelas tahun Syahril mewakafkan hidupnya meladeni pemakai jalan tol, dengan kecepatan tangan yang hampir mekanik; 4 sampai 8 detik untuk setiap mobil. Selama itu, praktis ia menghabiskan waktu 11 atau 12 jam sehari untuk pekerjaannya. Sejam untuk persiapan ke gardu, 8 jam bekerja plus satu jam istirahat, sejam atau dua jam untuk penghitungan dan menyusun laporan harian.

 

“Nanti saya bikin rumah gerobak,” lanjutnya, lalu omong kepada Supri koleganya, “Lu sebelahan sama gua ya, Pri.”

 

Semua karena kebijakan elektronifikasi pembayaran tol demi mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai. Per 31 Oktober 2017, transaksi di pintu tol tidak lagi dengan uang kertas, digantikan dengan kartu tol yang tinggal ditempel pada mesin pemindai.

 

Para pultol memang masih punya kesempatan bekerja, untuk melayani pembelian kartu dan memberi penjelasan kepada pengguna jalan. Mereka seperti menggali kuburan mereka sendiri.

 

Kelak pada saatnya, para pekerja yang biasa berjaga 24 jam di gardu tol itu tidak lagi dibutuhkan. Mereka segera punah.

 

"Tidak ada PHK? Itu bohong besar.”
Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK)

 

Beberapa pekan silam, Syahril mengajukan pinjaman di salah satu bank pemerintah untuk merintis bisnis konter hape. Tapi pihak bank menampiknya. Ia mencoba meyakinkan petugas tersebut bahwa ia tak akan di-PHK, yang didapatinya adalah penolakan santun yang bertele-tele.

 

“Bapak pengin banget saya di-PHK? Saya tanya begitu. Dia kasih solusi: pinjaman 30 juta dari 100 yang saya ajukan,” kenangnya. “Tapi enggak saya ambil. Telanjur sakit hati saya.”

 

Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum Jasa Marga Kushartanto Koeswiranto mengklaim, hanya sekitar 1.300 pekerja yang terkena dampak otomatisasi. Jumlah tersebut sudah memasukkan karyawan dari sejumlah anak perusahaan Jasa Marga: PT Jasa Layanan Operasi (JLO) dan PT JLJ.

 

Namun, sebagaimana belum jelasnya akan ada PHK atau tidak, jumlah pekerja pultol ini juga kabur. Sampai hari ini tidak ada data yang transparan. Di Laporan Tahunan Jasa Marga 2016, tercatat ada 4.364 petugas pultol tetap Jasa Marga—belum termasuk pekerja outsourcing.

 

Angka 1.300 dan 4.363 tentu tak bisa disamakan.

 

Untuk menyelamatkan pultol, Jasa Marga menggadang-gadang program alih profesi bernama A-Life yang hingga saat ini hanya menyediakan 900 posisi baru.

 

Jika mengacu pada pernyataan Koeswiranto, akan ada 400 pekerja yang tidak kebagian. Sementara jika menggunakan data Jasa Marga 2016, ada 3.464 orang yang tidak terserap. Data itu pun belum menghitung karyawan anak perusahaan, JLJ dan JLO, seperti Syahril dkk.

 

Karyawan tetap Jasa Marga tentu akan mendapatkan kesempatan lebih dahulu, anak perusahaan menyusul kemudian.

 

"Dengar-dengar sih akan dialihkan ke Rest Area, tapi apa cukup?" Tanya Rina yang telah 5 tahun bekerja untuk JLJ.

 

Penerapan kebijakan pembayaran nontunai untuk seluruh ruas tol merupakan tanda bahaya bahwa otomatisasi sudah di depan mata. Kasus e-tol hanya tampak depan dari proses otomatisasi yang sedang terjadi di seluruh dunia.

 

Laporan terbaru McKinsey Global Institute memprediksi: hampir 50 persen pekerjaan yang sekarang ada dapat diotomatisasi pada tahun 2055, dan mesin akan mengambil alih 30 persen tugas manusia dari sekitar 60 persen pekerjaan.

 

Di Indonesia, ancaman risiko otomatisasi kerja bukan soal tol belaka. Di sektor-sektor lain, penggunaan teknologi mesin (pengganti manusia) juga tidak bisa dihindarkan. Di industri lain, seperti otomotif, otomatisasi berjalan perlahan tapi pasti sehingga terkesan sangat alamiah.

 

Pada Juli 2016, International Labour Organization (ILO) merilis laporan bertajuk ASEAN in Transformation: The Future of Jobs at Risk of Automation. Isinya tentang situasi di lima negara ASEAN yang dalam beberapa dekade mendatang akan dihantam risiko otomatisasi sebesar 56 persen.

 

Ancaman itu tidak sama rata. Probabilitas otomatisasi kerja terendah terjadi di Thailand (44 %) dan tertinggi di Vietnam (70 %). Sementara di Filipina, Indonesia dan Kamboja masing-masing 49 persen, 56 persen dan 57 persen. Perbedaan ini wajar terjadi karena struktur pasar tenaga kerja di masing-masing negara cenderung berbeda. Thailand cenderung menunjukkan skala yang kecil atas struktur pasar pekerjaan dengan keterampilan rendah (low skill), sementara Vietnam sebaliknya.

 

Bagaimana pekerjaan Anda?

 

CARI PEKERJAAN


Copyright 2017. Tirto.id