tirto.id - Bank Dunia lagi-lagi mengeluarkan keputusan kontroversial. April lalu, mereka mengusulkan negara-negara berkembang agar mengurangi sejumlah peraturan ketenagakerjaan. Di antara aturan yang dimaksud adalah soal upah minimum, pesangon, serta wewenang pemberi kerja (employer) dalam merekrut atau menghentikan pekerjanya. Dengan kata lain, Bank Dunia menginginkan hubungan kerja yang lebih fleksibel.
“Dalam banyak kasus, peraturan ketenagakerjaan—termasuk upah minimum, hambatan dalam keputusan perekrutan dan pemecatan, dan uang pesangon—membuat membebani perusahaan dengan biaya mahal dalam menyesuaikan tenaga kerjanya untuk mengakomodasi perubahan teknologi,” demikian tulis Bank Dunia dalam laporan kerja bertajuk World Development Report 2019 (PDF).
Visi dari usulan tersebut, menurut institusi yang lahir setelah konferensi Bretton Woods pada 1944 itu, adalah menyiapkan negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi perubahan lanskap industri. Perubahan yang mereka maksud ialah apa yang sering dirayakan para marketing guru sebagai “Revolusi Industri 4.0.”
“Revolusi Industri 4.0” menitikberatkan pada penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan otomatisasi sehingga tenaga kerja manusia semakin tak dibutuhkan secara langsung untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik.
Bank Dunia menilai peraturan ketenagakerjaan yang tidak terlalu membebani pemberi kerja dapat menjadi peluang bagi perusahaan dan berdampak positif bagi keseluruhan iklim ketenagakerjaan. Dengan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih baik, catat Bank Dunia, maka “secara alamiah semakin banyak perusahaan yang sukses mencapai puncak.”
Sebagai kompensasinya, Bank Dunia menawarkan apa yang dinamakan dengan “Kontrak Sosial Baru” yang salah satunya menganjurkan investasi lebih besar di bidang sumber daya manusia. Alasannya, investasi dalam sumber daya manusia “dapat meningkatkan peluang bagi pekerja untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.”
Simpulan Bank Dunia lewat laporan rekomendasi tahun ini bertolak belakang dengan apa yang mereka katakan lima tahun lalu lewat laporan yang sama. Ketika itu Bank Dunia menyatakan bahwa peraturan ketenagakerjaan nyaris tak berdampak pada tingkat penyerapan tenaga kerja.
Usulan Bank Dunia ini ditentang oleh buruh. Perwakilan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (International Trade Union Confederation), Peter Bakvis, menilai usulan tersebut sebagai suatu kemunduran. Bakvis menyebutkan rekomendasi ini tidak sesuai dengan agenda kemakmuran bersama yang digagas Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim, serta berpendapat usulan itu hampir sepenuhnya “mengabaikan hak-hak pekerja.”
“Visi ini akan membuat perusahaan terbebas dari beban kontribusi untuk jaminan sosial, punya fleksibilitas untuk membayar upah serendah yang diinginkan, serta memecat sesuka hati,” kata Bakvis di Washington DC, Amerika Serikat, kepada The Guardian.
Sementara di dalam negeri, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Rusdi, menolak mentah-mentah wacana tersebut. Menurutnya, jika Indonesia menghapuskan sistem upah kerja minimum atau pesangon, maka hal itu hanya akan menguntungkan korporasi. Sedangkan pekerja atau buruh tidak akan terpenuhi kesejahteraannya.
“Ini suatu kebijakan yang menjadi (dasar) perbudakan modern. Ini tidak beda jauh dari zaman romusha atau kebijakan tanam paksa,” kata Rusdi kepada Tirto, Minggu (27/5/2018).
Rusdi menuturkan, kebijakan upah minimum memberi peluang hidup bagi para pekerja. Dengan adanya aturan tersebut, pekerja memiliki kepastian penghasilan untuk menafkahi keluarganya. Apabila ketentuan itu dihilangkan, jelasnya, “bisa dipastikan buruh akan menjadi miskin dan tidak bisa hidup.”
Berkaca dari India
Bukan kali ini saja Bank Dunia dianggap tidak pro-pekerja. Tak lama setelah Bank Dunia mengeluarkan rekomendasi yang mengebiri hak-hak pekerja, di India, dua LSM, People’s Action for Development (PAD) dan Promotion and Advancement of Justice, Harmony and Rights of Adivasis (PAJHRA), melayangkan surat gugatan ke Korporasi Keuangan Internasional (IFC), perusahaan investasi bagian dari Bank Dunia.
Sebagaimana diwartakan Indian Express, surat gugatan tersebut menyoroti meningkatnya kematian pekerja di tiga wilayah perkebunan teh Assam (Hattigor, Majuli, Nahorani) selama sembilan tahun terakhir. Di perkebunan teh itu, IFC diketahui menanam modal (16%) bersama Amalgamated Plantations Private Limited (APPL) dan Tata Group. Total, ketiganya menguasai 25 perkebunan teh yang berlokasi di Assam dan West Bengal.
“Kami mendengar cerita tentang para pekerja teh dan anak-anak mereka yang meninggal akibat kecelakaan kerja. Mereka meninggal karena terpapar pestisida dalam waktu lama serta kurangnya perawatan medis yang memadai,” kata Wilfred Topno dari LSM People’s Action for Development (PAD).
Kematian pekerja bukan satu-satunya perkara yang muncul di perkebunan Assam. Mengutip laporan Compliance Advisor Ombudsman (CAO) pada 2016, Human Rights Watch menyatakan bahwa pekerja di Assam dibayar dengan upah rendah, tidak mendapatkan sanitasi yang baik, serta tinggal di rumah yang tak layak. Tapi, IFC atau Bank Dunia, “hanya sedikit mengambil tindakan serius” untuk menyelesaikan masalah.
CAO, dalam laporannya, menulis bahwa IFC telah gagal merealisasikan tujuannya, termasuk untuk “mendukung pekerjaan yang melindungi serta meningkatkan kesehatan pekerja yang nantinya bisa menyediakan jalan keluar dari kemiskinan.”
Direktur Accountability Counsel Asia Selatan, Anirudha Nagar, menyatakan Bank Dunia “tidak memenuhi komitmennya untuk meningkatkan kehidupan para pekerja teh di Assam.” Accountability Counsel adalah LSM yang aktif dalam advokasi masyarakat yang dirugikan oleh proyek-proyek konsorsium internasional.
IFC yang mendengar laporan tersebut segera menolaknya. Mereka bersikukuh tidak ada praktik-praktik yang merugikan para pekerja di perkebunan teh Assam. IFC lantas mengusulkan dibentuknya pengawas independen yang berfungsi untuk memeriksa aktivitas di perkebunan Assam; apakah benar-benar terjadi penyelewengan atau tidak. Sayang, setelah setahun berjalan, upaya IFC seperti tidak memberikan hasil signifikan.
Jengah dengan sikap IFC, gabungan LSM kemudian membuat petisi di situs web, Care2. Petisi itu menuntut IFC bertindak atas segala praktik yang merugikan pekerja di perkebunan teh Assam seperti jam kerja yang kelewat banyak, upah yang minim, sampai absennya keterlibatan pekerja dalam pengelolaan perkebunan. Petisi ini ditandatangani sekitar 67 ribu orang.
Selain petisi, LSM gabungan juga menginisiasi Project AccountabiliTEA untuk mendokumentasikan apa bukti-bukti pengabaian hak-hak pekerja dan kegagalan IFC dalam mewujudkan komitmennya.
Blunder Kebijakan
Juru bicara Bank Dunia yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada The Guardian bahwa gagasan dalam World Development Report 2019 dapat diaplikasikan pemerintah di seluruh dunia. Ia berharap usulan ini dapat menciptakan manfaat bagi buruh, dan tentunya semua masyarakat.
“Untuk menghapus kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran bersama, kita perlu mempertimbangkan inisiatif-inisiatif baru guna mengatasi gangguan yang pasti akan datang dari berbagai perubahan struktural,” katanya.
Masalahnya, sejarah mencatat, kebijakan-kebijakan yang dicetuskan Bank Dunia dengan maksud “memperbaiki situasi negara berkembang” justru seringkali berubah jadi blunder: ia tidak memberi manfaat, malah menjatuhkan negara ke jurang kesengsaraan dan kontrol kapitalisme.
Dalam “The World Bank and the Development Delusion” yang terbit di Al Jazeera, Jason Hickel menyatakan, setiap menangani krisis ekonomi atau memberi bantuan pinjaman negara berkembang, Bank Dunia punya strategi bernama “penyesuaian struktural” (structural adjustment) dan sudah dipakai sejak 1980.
Inti dari strategi ini ialah ketika Bank Dunia memberikan pinjaman ke negara berkembang, mereka menerapkan persyaratan yang harus dipenuhi seperti restrukturisasi ekonomi yang sejalan dengan kebijakan neoliberal (memotong subsidi, salah satunya), privatisasi BUMN, membatasi peraturan tentang tenaga kerja, menghapus tarif perdagangan, hingga memungkinkan perusahaan asing untuk membeli aset publik.
Alih-alih membantu negara berkembang, penyesuaian struktural malah menghancurkan mereka. Hickel mencontohkan bahwa sebelum tahun 1980an di mana intervensi Bank masih minim, tingkat pertumbuhan per kapita negara-negara berkembang menyentuh 3%. Tapi, setelah Bank Dunia masuk dengan pelbagai syarat dan janji-janjinya, pertumbuhan per kapita bisa turun hingga hampir setengahnya: 1,7%.
Senada dengan Hickel, Vincent Llyod dan Robert Weissman dalam “How International Monetary Fund and World Bank Policies Undermine Labor Power and Rights” mengatakan bahwa persyaratan yang dipatok kedua institusi tersebut nyatanya berdampak buruk pada hak-hak serta standar hidup pekerja. Kesimpulan ini didapat setelah ketiganya meninjau dokumen perjanjian pinjaman antara Bank-IMF dan 26 negara.
Contohnya adalah syarat privatisasi yang membuat pekerja bisa di-PHK. Selain itu, syarat-syarat Bank Dunia juga menyebabkan perusahaan swasta dapat memecat pegawai sesukanya dengan alasan “tuntutan regulasi,” pengurangan upah, melebarnya kesenjangan, hingga dipotongnya tunjangan jaminan sosial bagi pekerja.
Hal ini dapat dilihat dari kasus yang menimpa Argentina di awal milenium. Saat itu, Argentina sedang terkena krisis moneter yang akut; angka pengangguran tinggi serta pemerintah di ambang kegagalan membayar utang luar negeri. Selama tiga tahun, 1997-2000, ekonomi dalam negeri mengalami kontraksi luar biasa.
Agustus 2001, terjalin kesepakatan antara Argentina dengan Bank Dunia-IMF. Mereka sepakat memberikan bantuan pinjaman sebesar lebih dari $40 miliar. Tapi, Bank Dunia datang membawa banyak syarat. Mereka mendesak Argentina menerapkan “fleksibilitas tenaga kerja” yang berarti perusahaan bisa memecat pekerja tanpa landasan hukum, memangkas gaji pegawai pemerintah, serta privatisasi sektor keuangan dan energi milik negara.
Persyaratan tersebut membuat marah pekerja di Argentina. Puluhan ribu pekerja turun ke jalan untuk memprotes syarat-syarat itu di samping menolak negara tunduk begitu saja pada aturan kapitalisme internasional, yang nyatanya malah semakin memperburuk perekonomian negara.
Dari sini, seharusnya kita paham bahwa kebijakan Bank Dunia untuk membantu negara berkembang, seperti Indonesia, tidak betul-betul memberikan dampak positif melainkan justru merugikan negara berkembang. Hal serupa dapat diprediksi sebagai dampak jangka panjang dari rekomendasi Bank Dunia dalam World Development Report 2019.
Editor: Windu Jusuf