Menuju konten utama
Dua Dekade Erdogan

Rapor Merah Ekonomi Turki di Bawah Erdogan

Dua dekade kepemimpinan Erdoğan bukan tanpa cacat, terutama di sektor ekonomi. Apalagi karena gempa tempo hari lalu.

Rapor Merah Ekonomi Turki di Bawah Erdogan
Presiden Turki Tayyip Erdogan menyapa anggota Justice and Development Party (AKP) dalam satu pertemuan di parlemen di Ankara, Turki, Selasa (25/6/2019). ANTARA FOTO/Cem Oksuz/Presidential Press Office/Handout via REUTERS/nz/cfo

tirto.id - Dua bulan lagi, tepatnya 14 Mei, Turki akan menyelenggarakan pemilihan anggota parlemen dan presiden. Hajatan besar ini bakal berlangsung saat para warga masih berduka sebab dilanda bencana gempa yang menelan banyak korban jiwa. Hari pemungutan juga diselenggarakan sebulan lebih awal dari rencana.

Kandidat dalam pilpres tidak lain adalah Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Ini bakal menjadi pemilunya yang ketiga.

Pria yang semasa muda pernah berprofesi sebagai pesepak bola semiprofesional ini sudah merajai lanskap politik nasional Turki selama dua dekade nonstop—pertama sebagai perdana menteri (sejak 2003) kemudian presiden (sejak 2014). Dia memegang rekor pemimpin paling lama di negara tersebut, bahkan lebih dari bapak pendiri negara sendiri, Mustafa Kemal Atatürk (berkuasa 1923-1938). Erdoğan didukung penuh oleh partai yang didirikannya sendiri, Justice and Development Party (AKP).

Meskipun terkesan tak tergoyahkan, kepemimpinan Erdoğan sebetulnya bukan tanpa cacat, terutama di sektor ekonomi. Coba kita tengok riwayatnya.

Rapor Merah Ekonomi

Perekonomian Turki di bawah Erdoğan dan AKP sebenarnya pernah berjalan baik. Dirangkum dari artikel Mikołaj Rogalewicz di Warsaw Institute Review, mereka bersedia melanjutkan reformasi ekonomi yang sudah digencarkan oleh administrasi pendahulu dengan dukungan IMF. Diperkuat dengan obsesi Erdoğan pada pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur, ekonomi Turki pun berkembang pesat. Tingkat kemiskinan (miskin=hidup dengan uang di bawah 5,5 dolar/Rp80 ribuan per hari) berhasil ditekan sampai tiga perempatnya menjadi 8,5 persen selama kurun 2002-2018.

Akan tetapi, selama satu dekade belakangan, ekonomi dinilai sudah terlalu banyak melibatkan modal asing dan utang luar negeri. Cadangan devisa Turki tidak mampu menjaga neraca pembayaran agar tetap seimbang, lalu inflasi mulai meroket dan nilai mata uang lira merosot.

Kerapuhan ekonomi ini mulai terasa pada 2018 bersamaan dengan dimulainya periode kedua kepresidenan Erdoğan. Dalam pemilu kala itu Erdoğan masih merasa di atas angin karena didukung oleh basis massa cukup kuat—53 persen suara populer.

Pada tahun itu juga sistem pemerintahan resmi berubah dari parlementer jadi presidensial. Ini sesuai dengan reformasi konstitusional yang sedari lama dikampanyekan Erdoğan dan akhirnya disepakati sebagian besar rakyat lewat referendum. Dengan ini Erdoğan semakin mudah mengerahkan kekuasaannya, bahkan dalam urusan moneter Bank Sentral Turki yang idealnya bebas dari campur tangan pemerintah.

Dalam rangka mengontrol inflasi yang mulai tak terkendali, Bank Sentral memutuskan menaikkan tingkat suku bunga—langkah yang lazim diambil oleh bank-bank sentral di penjuru dunia. Di balik tujuannya yang mulia, efeknya tidak mengenakkan: orang-orang mengurangi belanja dan utang serta lebih banyak menabung sehingga ekonomi akan melambat.

Ketika akhirnya Bank Sentral mengubah tingkat suku bunga dari kisaran belasan persen jadi 24 persen, pertentangan keras datang dari sang presiden. Erdoğan rupanya alergi terhadap kebijakan tersebut. Menurut prinsip Erdoğan—yang dipengaruhi oleh latar belakangnya mengenyam pendidikan di sekolah Islam—bunga tinggi adalah “dedengkot dari segala kejahatan” yang memicu inflasi dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Di mata Erdoğan, kebijakan moneter suku bunga rendah justru mendorong investasi dan aktivitas produksi sehingga bisa memperluas lapangan kerja, sementara mata uang lira yang lemah akan menstimulasi ekspor dan mengurangi ketergantungan pada impor. Kata dia, pendekatan itu bisa mengerem laju inflasi.

Erdoğan pun menekan Bank Sentral untuk menurunkan suku bunga, bahkan menggonta-ganti gubernurnya agar mau menuruti perintahnya—politisasi yang dikecam pakar ekonomi dan akademisi karena sudah mengusik independensi institusi keuangan negara.

Kelak, keterbatasan mobilitas penduduk dan menciutnya pemasukan negara dari turisme akibat pandemi Covid-19 kian mempersulit ekonomi Turki. Pada Juli 2020, tingkat pengangguran mencapai rekor tertinggi, 14,2 persen.

Di tengah kekacauan itu, Berat Albayrak, menantu Erdoğan yang sudah dua tahun menjabat Menteri Keuangan, mengundurkan diri. Meskipun pengusaha kaya raya ini dicemooh karena dianggap tidak becus mengurus ekonomi, Albayrak sebenarnya hanyalah kambing hitam atas segala ambisi ekonomi mertuanya. Berita tentang Albayrak pada waktu sama memperkuat citra otoriter dan ketidakprofesionalan Erdoğan yang kerap mendelegasikan lingkaran terdekatnya pada jabatan penting meskipun tidak kompeten.

Seiring itu, merosotnya nilai lira mengakibatkan harga komoditas sehari-hari dan produk impor, terutama bahan bakar, semakin mahal. Demikian juga biaya sewa tempat tinggal dan harga properti.

Pada pengujung 2021, dilaporkan banyak antrean panjang warga membeli roti di kios-kios kecil yang harganya lebih murah daripada di pertokoan. Dilansir dari Euronews, seorang warga mengaku sudah memangkas pengeluaran rumah tangganya. “Saya biasa beli sepuluh potong roti, tapi sekarang cuma lima. Kami bahkan sudah tidak beli daging lagi.” Seorang lainnya bercerita sudah mengurungkan niat untuk membelikan anaknya mantel musim dingin karena khawatir tidak punya cukup uang untuk makan seminggu.

Sempat Goyah

Pada tahun 2021 pula, dukungan untuk Erdoğan dan AKP mulai menyusut. Menurut survei Metropoll pada April 2021, dukungan untuk AKP jatuh ke angka 27 persen—terendah sejak partai tersebut didirikan. Hasil survei Turkiye Raporu menyebut 17 persen orang yang memberikan suara untuk AKP pada pemilu 2018 tidak akan mau memilih mereka lagi. Selisih dukungan untuk Erdoğan dan figur pemimpin partai lain pun semakin menipis.

Temuan lain oleh Operational Research Company pada Oktober 2021 mengungkap kubu oposisi Nation's Alliance akan unggul 4,7 poin dari koalisi partai Erdoğan, People's Alliance, apabila pemilu dilangsungkan pada waktu itu.

Tak ketinggalan, asosiasi pengusaha terbesar di Turki, TUSIAD, secara terbuka mengkritik sikap keras kepala Erdoğan mempertahankan suku bunga rendah.

Ekonomi yang lesu terus dijumpai sepanjang 2022. Oktober tahun lalu, inflasi menembus 85,5 persen—tertinggi dalam seperempat abad terakhir. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto pada kuartal ketiga melambat drastis. Nilai ekspor ke daratan Eropa, partner dagang terbesar, juga menunjukkan tren turun seiring Benua Biru itu sendiri dihantui resesi akibat Perang Ukraina-Rusia.

Erdoğan masih jadi figur paling disorot di Turki setelah gempa besar mengguncang kawasan Anatolia tersebut pada 6 Februari. Administrasinya disalahkan karena lamban dalam mengerahkan evakuasi awal sehingga memicu karut-marut yang menambah derita para korban.

Infografik ekonomi Turki era erdogan

Infografik ekonomi Turki era Erdogan. tirto.id/Ecun

Kritik untuk Ankara juga dikaitkan dengan problem struktural yang menyebabkan tingginya korban jiwa akibat kerusakan gedung parah: lebih dari 40 ribu nyawa melayang dan 160 ribu bangunan rusak atau hancur. Selama Erdoğan berkuasa, administrasinya gencar memberikan amnesti atau ampunan terhadap pengembang gedung-gedung bermasalah demi meraup uang denda sebanyak-banyaknya dari mereka. Langkah otoritas pengadilan untuk menangkapi para pengusaha properti nakal dicibir sekadar upaya elite untuk berkelit dari tanggung jawab.

Di Gaziantep, kota basis pendukung AKP yang merasakan dampak parah gempa, pendapat warga tentang penanganan kacau oleh pemerintah terpecah belah. Menurut temuan CNN,kaum muda di kisaran usia 20-an tahun cenderung cuek terhadap pihak-pihak yang mengkritik respons lamban pemerintah, sedangkan angkatan tua usia 60-70 tahun jauh lebih vokal menyuarakan kekecewaannya.

Dampak gempa semakin menekan sendi-sendi perekonomian Turki yang sudah menciut. Pasalnya, sepuluh provinsi terdampak yang ditinggali oleh 13,5 juta orang (16 persen populasi) tersebut merupakan kawasan penghasil produk pertanian yang signifikan—mencakup 15 persen dari total produksi nasional. Jika pasokan dari sana berkurang, inflasi bahan pangan akan semakin parah, yang bulan Januari silam bertengger di angka 71 persen.

Kerusakan gempa juga berdampak pada produk yang mereka ekspor. Tahun lalu, kawasan yang sama berhasil mengekspor produk senilai 21,5 miliar dolar atau 8,5 persen dari total nilai ekspor nasional serta menyumbang 7,5 persen pendapatan pajak negara.

Pertanyaannya, mungkinkah karut-marut ekonomi, ditambah dengan kekacauan setelah gempa, menggerus peluang Erdoğan menang pilpres lagi?

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait ERDOGAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino