tirto.id - Ada pekerjaan yang lebih susah daripada mengajari lempung menulis yaitu membuat orang-orang percaya bahwa politik tidak pernah hitam dan putih. Ini barangkali berlebihan, tapi jika Anda menyimak atau setidaknya melihat perkembangan geopolitik timur tengah, maka Anda akan menyadari hal itu. Tak pernah ada sekutu abadi, tak pernah ada musuh abadi. Seperti suasana hati pemilik zodiak gemini, apa yang terjadi hari ini di Timur Tengah, barangkali hanya Tuhan yang tahu.
Pergolakan politik di Turki juga menarik untuk ditelaah. Negara ini beberapa tahun terakhir menarik banyak penggemar di Indonesia. Turki dianggap sebagai negara ideal bagi para muslim. Presiden Recep Tayyip Erdogan dianggap sebagai pemimpin idola karena membuat Islam berjaya di negara itu. Padahal, Turki bukan negara Islam. Sejauh ini, Turki masih sekuler. Pemisahan antara agama di ruang publik juga pemerintahan adalah hal yang bisa Anda temui secara kasat mata.
Penggemar Turki, atau penggemar Erdogan di Indonesia menganggap negara ini sebagai sebuah model sempurna bagaimana pemerintahan dijalankan. Turki dianggap menjunjung tinggi agama, punya sikap keras terhadap Israel, dan konon pemimpinnya dicintai rakyatnya. Namun, benarkah demikian?
Pada 2005, ketika Erdogan pernah melakukan kunjungan bisnis mewakili Turki ke Jerusalem, ia membawa delegasi besar investor dan pebisnis untuk menjajaki kerja sama ekonomi dengan Israel. Salah satu poin penting yang perlu dipahami juga, Erdoğan menawarkan diri sebagai negosiator dan penengah bagi Israel dalam konflik mereka terhadap Palestina.
Hubungan Turki dan Israel mulai memburuk pada Januari 2009, ketika terjadi pembantaian tiga minggu di Gaza yang dilakukan oleh Israel. Pembantaian ini membunuh 1.400 orang Palestina dan sebagian besar adalah warga sipil. Erdogan menjadi satu-satunya pemimpin dunia yang secara terbuka dan langsung yang mengecam Presiden Israel Shimon Peres pada World Economic Forum di Davos. Januari 2009, dalam sebuah forum di Davos, Erdoğan mengkritik Simon Peres yang dipuji dan diberi applaus karena sikapnya dianggap bangga membunuh orang sipil.
"Saya melihat ini sangat menyedihkan, orang memberikan tepuk tangan karena apa yang anda ucapkan. Anda membunuh orang-orang. Dan saya pikir itu salah," kata Erdogan. Kolumnis Washington Post, David Ignatius, menghentikan Erdogan sebelum ia berkomentar lebih jauh. Erdogan akhirnya meninggalkan ruang diskusi karena menganggap forum itu tak adil. Sikap ini membuat Erdogan semakin dikagumi karena dianggap membela Palestina tanpa kompromi.
Sikap ini kembali dibalas Israel dengan insiden “kursi pendek”. Pada Januari 2010, perwakilan Turki Ahmet Oğuz Çelikkol dipanggil untuk menemui deputi kementerian luar negeri Israel, Danny Ayalon, yang komplain karena program-program televisi di Turki menunjukkan kekejaman prajurit Israel. Celikkol, yang mewakili Turki diberikan kursi pendek, di belakang meja tanpa representasi bendera Turki sebagai bentuk pelecehan.
Tapi penyerangan terhadap Mavi Marmara pada 2010 merupakan puncak memburuknya hubungan Turki dan Israel. Sembilan orang warga Turki dalam penyerangan itu, satu orang yang lain Ugur Suleyman Soylemez, meninggal empat tahun kemudian karena koma. Turki lantas menarik duta besar mereka dari Tel Aviv sebagai protes, menurunkan level kerja sama politik mereka dan membekukan kerja sama militer dengan Israel. Turki menuntut agar Israel meminta maaf atas penyerangan itu, membayar kompensasi terhadap keluarga korban, dan menghapus blokade Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu lantas menelpon Erdoğan untuk meminta maaf, menyesalkan kesalahan yang berujung pada kematian warga Turki. Permintaan maaf ini diatur dan diprakarsai Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Permintaan maaf itu kemudian menjadi awal mula proses pemulihan hubungan bilateral kedua negara.
Memburuknya hubungan Turki dan Israel bukan berarti kerja sama ekonomi mereka ikut memburuk. Setidaknya berdasarkan Turkish Statistical Institute, yang dikonfirmasi oleh pemerintahan Israel, kerja sama ekonomi antara Israel dan Turki telah mencapai angka 5,6 miliar dolar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Emmanuel Nachshon bahkan mengatakan, “Kerja sama ekonomi antara Turki dan Israel memenuhi kebutuhan satu sama lain dan saat ini semakin berkembang.”
Kerja sama ekonomi Turki dan Israel bisa dilacak sejak tahun 1996 ketika mereka menandatangani perjanjian kebebasan ekonomi bilateral. Pada 1997, mereka membuat kerja sama pencegahan pajak berganda. Hubungan ini kemudian berkembang pada kerja sama investasi pada 1998. Kerja sama ekonomi sama Israel dan Turki meningkat 26 persen dari 1,58 miliar dolar dari 2010 menjadi dua miliar dolar pada paruh 2011.
Berdasarkan data Kamar Dagang Israel, ekspor Israel kepada Turki meningkat 39 persen dari 648 juta dolar pada pertengahan 2010 menjadi USD 950 juta pada pertengahan 2011. Pada periode yang sama, Impor dari Turki meningkat 16 persen dari 907 juta dolar menjadi 1,05 miliar dolar.
Turki merupakan negara keenam destinasi ekspor barang produksi Israel. Bahan kimia dan olahan minyak menjadi bahan utama yang diekspor. Sementara Turki membeli peralatan pertahanan tercanggih dari Israel. Turki juga menjadi negara penyedia jasa sepatu militer dan seragam bagi pasukan militer Israel. Israel sendiri mengimpor sayur, minuman, dan tembakau dari Turki.
Berdasarkan data dari Turkish Statistical Institute, kerja sama ekonomi Israel dan Turki bukan terjadi baru-baru ini saja. Barang impor dari Israel ke Turki meningkat menjadi 134,98 juta dolar pada Desember 2015 dari 119,49 juta dolar pada November 2015. Rata-rata nilai impor dari Israel ke Turki periode 2014-2015 adalah 180,83 juta dolar. Rekor tertinggi untuk impor dari Israel ke Turki terjadi pada Mei 2014 dengan nilai 310,5 juta dolar. Sedangkan, rekor terendah impor dari Israel ke Turki terjadi pada Februari 2015 dengan nilai 93,8 juta dolar.
Koran Turki Hürriyet menyebut, negara itu memiliki kerja sama militer bersama Israel. Bentuk kerja sama itu dalam bentuk latihan bersama dan persenjataan militer modern. Pada 2007 nilai kerja sama mereka sudah mencapai 2,6 miliar dolar dan 1,8 miliar dolar, di antaranya adalah untuk pertukaran teknologi dan perlengkapan militer. Gregg Carlstrom dari Al Jazeera mengatakan bahwa Ankara adalah teman Islam paling dekat dari Israel. Pilot Israel bahkan sudah biasa berlatih di teritori udara Turki.
Sebelum memburuknya hubungan Turki dan Israel, berdasarkan badan urusan pariwisata Israel pada 2008-2009, warga Israel yang pergi melancong ke Turki mencapai angka 560.000 orang. Angka ini menurun pada 2010 karena menteri turisme Israel Stas Misezhnikov meminta warganya untuk memboikot Turki karena sikap mereka terkait Gaza. Saat ini mayoritas turis Turki berasal dari negara-negara Arab mencapai 1,4 juta orang pada 2011 setelah sebelumnya hanya 912.000 orang pada 2009. Erdoğan menganggap ini sebagai keberhasilan dan menyatakan tak butuh wisatawan Israel.
Hubungan benci tapi cinta ini memang mewarnai relasi Israel dan Turki. Saat bencana gempa Izmit pada 1999 terjadi, pasukan khusus Israel dan paramedik turun memberikan bantuan terhadap pemerintah Turki. Sekitar 17.000 orang terselamatkan atas bantuan Israel yang diberikan selama berminggu-minggu usai kejadian. Begitu juga sebaliknya pada saat terjadi peristiwa kebakaran hutan di gunung Carmel pada 2010, Turki merupakan negara pertama yang memberikan bantuan kepada Israel untuk membantu memadamkan api.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti