Menuju konten utama

Rapid Test Dipatok Rp150 Ribu, padahal Gratis Pun Tidak Perlu

Rapid test tidak perlu ada meskipun diberikan gratis kepada masyarakat.

Rapid Test Dipatok Rp150 Ribu, padahal Gratis Pun Tidak Perlu
Menko PMK Muhadjir Effendi menunjukkan alat rapid test buatan Indonesia di Jakarta, Kamis (9/7/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Cukup banyak ahli kesehatan yang menyebut tes cepat alias rapid test tidak efektif mendeteksi virus SARS-CoV-2 atau COVID-19. Alasannya: rapid test, yang mengecek antibodi lewat darah, memiliki sensitivitas yang tidak tinggi sehingga banyak kemungkinan terjadi hasil negatif palsu maupun positif palsu.

Namun toh pemerintah bersikeras mempertahankan tes tersebut. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menetapkan hasil non-reaktif rapid-test sebagai salah satu syarat perjalanan. Orang tidak boleh bepergian ke luar kota--terutama lewat jalur udara--jika tak menyertakan dokumen ini.

Banyak yang menduga rapid test hanya dipakai untuk keperluan komersial belaka. Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lantas bermanuver dengan menetapkan batas tarif tertinggi rapid test sebesar Rp150 ribu. Hal itu diatur dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020, ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan oleh karena kurang efektif, sebaiknya rapid test ditiadakan saja.

“Memang tidak perlu ada [rapid test] dan sekalipun gratis juga tidak perlu,” kata Pandu kepada reporter Tirto, Senin (13/7/2020). “Tapi Kemenkes malah bikin surat edaran harga, kayak harga eceran seperti barang.”

Menurutnya kebijakan ini hanya mempertegas jika rapid test pada akhirnya hanya jadi ladang bisnis, entah itu rumah sakit atau maskapai penerbangan--kini ada beberapa perusahaan yang menyediakan fasilitas rapid test sendiri. “Ini sudah melampaui batas-batas kepatutan. Sangat tidak etis kalau sampai orang mencari uang di tengah kepanikan semacam ini.”

Harus Ada Pemeriksaan Lain

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn) Aryati juga menyatakan rapid test tidak efektif. “Harus ada pemeriksaan yang lain seperti pemeriksaan cek darah lengkap,” kata Aryati kepada reporter Tirto.

Aryati mengatakan dalam panduan rapid test, ketika seseorang mendapatkan hasil non reaktif, maka ia harus dites kembali 10 hari kemudian. “Tapi kenyataannya di lapangan banyak tidak dilakukan.”

Ia menegaskan rapid test lebih tepat digunakan kepada mereka yang sudah dinyatakan sembuh dari paparan COVID-19.

Atas dasar ini semua PDS PatKLIn mengirim surat ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, ditandatangani langsung oleh Aryati pada 6 Juli 2020. Isinya menyarankan gugus tugas membatalkan Surat Edaran Nomor 9 tahun 2020 tentang kriteria dan persyaratan perjalanan.

SE tersebut mengatur pelaku perjalanan umum darat, perkeretaapian, laut, dan udara harus menunjukkan surat keterangan non-reaktif rapid test atau uji tes PCR dengan hasil negatif. Surat ini dikeluarkan lembaga kesehatan, berlaku 14 hari setelah dikeluarkan.

“Perhimpunan merekomendasikan agar tidak memberlakukan rapid test dan PCR untuk persyaratan perjalanan,” kata Aryati, yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Tes PCR sebenarnya lebih efektif dibanding rapid test. Tes ini dapat langsung menyimpulkan hasil definitif: apakah seseorang terpapar virus SARS-CoV-2 atau tidak, dengan sensitivitas hingga 80 persen. Orang yang telah dinyatakan positif akan dikarantina di fasilitas kesehatan atau diminta karantina mandiri--jika gejala yang muncul ringan.

Aryati dan organisasinya menyarankan syarat PCR seperti ini juga dihapus karena ada kemungkinan orang terpapar setelah hasil keluar.

Sebagai gantinya, ia menyarankan pelaku perjalanan melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) PCR dengan sampel swab atau saliva (ludah) di stasiun atau bandara sesaat sebelum berangkat, bukan hanya menenteng dokumen negatif yang keluar beberapa hari sebelumnya.

Aturan syarat perjalanan ini juga digugat oleh seorang warga bernama Muhammad Sholeh ke Mahkamah Agung (MA) pada akhir Juni lalu. Ia beralasan mahalnya biaya membuat tes hanya bisa diakses orang mampu, dan oleh karenanya kebijakan ini diskriminatif.

Selain itu ia juga menganggap peraturan ini sia-sia karena jika mengacu pada protokol kesehatan, orang yang bersuhu di atas 38 derajat celcius tidak boleh bepergian meski telah mengantongi--sebut saja--surat bebas COVID-19.

“Pertanyaannya, yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian hasil rapid test atau tes suhu badan?” kata Sholeh.

Baca juga artikel terkait RAPID TEST atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Reja Hidayat