tirto.id - Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo menyatakan pemerintah ingin menggunakan alat polymerase chain reaction (PCR) sebagai alat utama penanganan COVID-19. Akan tetapi, pemerintah saat ini lebih menggunakan rapid test karena keterbatasan.
Dalam pemaparan usai rapat dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7/2020), Doni mengatakan pemerintah akan menggunakan PCR test daripada rapid test dalam penanganan COVID-19.
"PCR test harus menjadi prioritas utama walaupun sudah ada ketentuan dari menkes untuk dilakukan rapid test," kata Doni usai rapat bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7/2020).
Doni mengatakan, pemerintah ingin lebih menggunakan PCR sebagai dasar penanganan Covid-19. Sebab, tingkat akurasi PCR jauh lebih tinggi dalam penanganan COVID-19. Akan tetapi, pemerintah tetap menggunakan rapid test hingga pemerintah berhasil memenuhi kebutuhan PCR di Indonesia.
"Selama PCR tes belum terpenuhi, maka jalan tengahnya untuk sementara dahulu untuk pelaksanaan rapid test," kata Doni.
Penggunaan Rapid Test dalam penanganan COVID-19 mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Sebab, tingkat keakuratan rapid test tidak optimal. Isu rapid test pun diperkuat setelah Kementerian Kesehatan lewat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yanmas) Kementerian Kesehatan mengumumkan batas tertinggi tarif rapid test sebesar Rp150 ribu.
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengkritik langkah Dirjen Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengatur harga rapid test. Menurut Hermawan, Dirjen Yankes tidak perlu mengeluarkan tarif rapid test karena rapid test bukan alat diagnostik.
"Rapid test ini bukan diagnostik testing instrumen. Jadi bukan alat diagnostik. Jadi harus diluruskan. Tidak ada sangkut pautnya dirjen Yankes mengeluarkan surat edaran terkait tarif. Itu kesesatan yang nyata menurut kami," kata Hermawan dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya secara daring, Sabtu (11/7/2020).
Dirjen Yankes Kemenkes seharusnya mengatur standarisasi mutu pelayanan kesehatan. Saat ini, alat rapid test cukup banyak sehingga Kemenkes memberikan standar alat yang digunakan rumah sakit. Tarif pelayanan justru diserahkan kepada pihak rumah sakit lewat Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), apalagi rapid test tidak diakomodir di BPJS Kesehatan.
"JKN tidak menjamin rapid. Karena rapid memang tidak ada gunanya dilakukan individu atau kelompok masyarakat. Kalau rapid dilakukan atas permintaan pribadi juga itu kesesatan," Tutur Hendrawan.
"Jadi rapid tidak boleh dilakukan individu, kelompok masyarakat atau perusahaan. Rapid hanya boleh dilakukan untuk kebutuhan penyelidikan epidemiologi dan untuk perencanaan strategi berikutnya," kata Hendrawan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali