tirto.id - Wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) kembali menjadi perbincangan usai Edi Slamet Irianto, mantan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, memunculkan rancangan lembaga tersebut dalam forum yang digelar Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (11/6/2025).
Lembaga ini dirancang berada langsung di bawah Presiden, dipimpin oleh seorang menteri/kepala, dan dibantu dua wakil: satu untuk urusan operasional dan satu lagi untuk urusan dalam negeri lembaga.
Di atasnya, dibentuk dewan pengawas yang terdiri dari sejumlah pejabat tinggi negara secara ex officio, termasuk Menko Perekonomian, Panglima TNI, Kapolri, hingga Kepala PPATK, serta empat anggota independen.
Namun demikian, belum ada kejelasan apakah desain kelembagaan yang dipaparkan itu sudah menjadi rujukan resmi pemerintah. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, juga tak bisa mengonfirmasi apakah struktur tersebut sudah sampai ke meja Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Kami belum bisa menanggapi hal tersebut, ya,” katanya lewat pesan singkat, Jumat (13/6/2025).
Edi menjelaskan, BPN merupakan strategi quick win yang dirancang timnya untuk diimplementasikan oleh pemerintah Prabowo-Gibran. Jika lembaga tersebut jadi terbentuk, 100 hari pertamanya akan difokuskan pada rekrutmen pejabat eselon I, konsolidasi data penerimaan nasional, serta pengamanan penerimaan negara untuk periode 2024–2025. Reformasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disebut menjadi fokus utama dalam tahap awal itu.
“Dulu (struktur ini dirancang) waktu pembahan BPN itu sendiri, waktu di TKN,” jelas Edi saat dikonfirmasi mengenai asal-usul desain lembaga tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa bentuk organisasi itu belum final dan bisa berubah sesuai dinamika kebijakan ke depan. “Organisasi itu akan disesuaikan dengan keadaan,” tambahnya.
Edi menyebut, pemisahan fungsi penerimaan dan pengeluaran dalam sistem keuangan negara sudah sangat mendesak. Tata kelola yang terintegrasi dan transparan harus dibangun untuk memperkuat basis penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang. Ia mencontohkan program-program besar seperti makan siang gratis dan penguatan sektor pangan yang membutuhkan pembiayaan signifikan dari penerimaan dalam negeri.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti keruwetan regulasi yang kerap membuat pelaku usaha kebingungan membedakan kewajiban pajak dan non pajak. Masalah lain yang dianggap krusial adalah birokrasi pemungutan yang berbelit-belit, yang menurutnya membuka celah kebocoran penerimaan negara.
“Kebocoran di sektor penerimaan negara berdampak jebloknya kinerja penerimaan negara. Ini kenapa kita harus melakukan pembentukan BOPN (Badan Otorita Penerimaan Negara),” ujarnya.
Hal serupa disampaikan oleh Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute. Menurutnya, belum ada dasar hukum maupun dokumen resmi yang menunjukkan bahwa struktur yang dipresentasikan Edi adalah versi final. Apalagi, struktur ini disusun saat masa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029, memang terdapat rencana pembentukan BPN, tetapi belum diuraikan secara konkret.
Hanya disebutkan bahwa prosesnya akan dibagi dalam tiga tahap: perencanaan dan persiapan yang mencakup reformasi administrasi dan penyempurnaan proses bisnis; internalisasi tata kelola sistem baru untuk efektivitas administrasi dan kelembagaan; serta implementasi penataan tata kelola lembaga secara menyeluruh disertai evaluasi atas efektivitas sistem pengumpulan pendapatan negara terhadap pencapaian target rasio pendapatan negara.
Berdasarkan logika dasar yang sederhana, pendirian organisasi apapun, baik di sektor swasta maupun sektor publik, tujuannya adalah agar program kerja bisa efektif tercapai dan teralisasi. Selain itu, sumber daya organisasi tersebut juga akan dikelola secara efisien dan tidak ada pemborosan,” kata Prianto saat dihubungi Tirto, Kamis (12/6/2025)
Dus, konsep awal pembentukan BPN, termasuk struktur organisasi di dalamnya yang turut melibatkan TNI dan Polri sebagai Dewan Pengawas tidak terlepas dari upaya efisiensi dan efektivitas kelembagaan guna meningkatkan rasio pajak. Rencana pembentukan BPN di RPJMN 2025-2029 pun tidak terlepas dari target menaikkan rasio pajak hingga 23 persen di 2029.
“Pertanyaan efektif atau tidak efektif atas sesuatu yang belum terjadi tidak dapat dijawab secara akurat. Semua jawaban akan menggunakan asumsi karena kata efektif berkaitan dengan target dan pencapaiannya. Pada saat ini, pembentukan BPN masih berupa wacana. Selain itu, landasan hukumnya juga belum ada. Jadi, tidak dapat dinilai apakah BPN itu efektif atau tidak,” tambah Prianto.
Lampiran Perpres 12/2025 memang sudah menampilkan infografis tentang garis besar intervensi untuk mendirikan BPN. Namun, itu masih terlalu sederhana dan tidak menggambarkan rencana membentuk BPN dan cara meningkatka rasio pajak hingga 23 persen, dari yang di kuartal I 2025 hanya sebesar 7,95 persen. Turun sangat dalam dibandingkan rasio pajak pada 2024 yang masih sebesar 10,08 persen.
“Selain itu, yang tampak di permukaan adalah bahwa Kemenkeu masih enggan untuk memisahkan fungsi DJP (Direktorat Jenderal Pajak) dari Kemenkeu. Alasannya logis, karena memisahkan fungsi penerimaan dan fungsi belanja di APBN (Anggaran Pendapatan dan belanja Negara) jauh lebih sulit dari kondisi ketika kedua fungsi tersebut masih berada di satu atap Kemenkeu,” jelasnya.
Hal ini terlihat pula dari Menkeu, Sri Mulyani, yang baru sekali menanggapi terkait rencana pembentukan Badan Otorita ini, yakni usai dirinya dipanggil Prabowo pada 14 Oktober 2024 lalu. Menurutnya, tidak ada rencana pembentukan BPN dan dia pun menegaskan bahwa Kemenkeu masih satu. “Nggak ada, Kemenkeu masih satu,” tegasnya.
Terpisah, Peneliti perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, justru mempertanyakan apakah saat ini saat yang tepat untuk membentuk BPN. Sebab, menurutnya salah satu esensi pembentukan lembaga semi-otonom revenue authority (SARA), termasuk BPN di berbagai negara adalah pemberian hak dan kewenangan baru, bukan sekadar perubahan struktur organisasi.
Sebagai contoh, kewenangan untuk merekrut dan memberhentikan karyawan langsung atau menentukan besaran anggaran sendiri.
“Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah, apakah ada tidaknya kewenangan tersebut merupakan masalah utama organisasi otoritas pajak di Indonesia selama ini? kalau tidak, untuk apa kita perlu membentuk SARA seperti BPN yang berbiaya besar? Pertanyaan kedua, apakah kewenangan tersebut bisa dilakukan tanpa perlu membentuk SARA? Contohnya terkait kewenangan SDM (rekrutmen)” tutur Fajry.
Namun, tanpa BPN, Kemenkeu tetap bisa melakukan rekrutmen pegawai DJP, bahkan secara besar-besaran seperti yang terjadi pada periode 2013-2018.
Di sisi lain, pembentukan SARA saja tidak cukup untuk menyelsaikan berbagai masalah perpajakan yang terjadi di Indonesia. Sebab, BPN bukanlah sebuah ‘peluru perak’ atau ‘silver bullet’ yang menjadi solusi ajaib atau penyelesaian cepat yang efektif untuk masalah yang sulit.
Alih-alih membentuk BPN, Fajry menilai bahwa pemerintah perlu melakukan banyak hal seperti tetap menjaga disiplin fiskal dengan target penerimaan pajaknya tetap rasional, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, mengerek investasi di berbagai sektor khususnya infrastruktur dan teknologi informasi.
Selain itu, melembagakan sebuah organisasi berdasarkan standar etika dan profesional yang tinggi, mengubah proses bisnis, hingga menghapus praktik klientisme yang berkaitan erat dengan korupsi politik dalam birokrasi juga hal yang cukup krusial di waktu sekarang.
“Jadi, kalau pembentukan BPN hanya berupa otak-atik struktur organisasi, saya kira tidak akan efektif. Apalagi desainnya tidak ada pengawasan dari kemenkeu. Padahal, salah satu kunci keberhasilan SARA adalah adanya koordinasi yang kuat dengan Kementerian Keuangan,” tegas Fajry.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana