tirto.id - Sekira pertengahan Mei 1945, Raden Sukemi Sosrodihardjo, ayah Bung Karno, tiba-tiba jatuh sakit. Tepat benar setelah cucu pertamanya lahir. Selama sakit, Fatmawati merawat sendiri mertuanya itu dengan seksama.
Suatu malam, saat semua penghuni rumah sudah terlelap, Fatmawati sendirian terjaga menemani Raden Sukemi. Fatmawati memijit sang mertua sekadar untuk mengurangi rasa sakit yang dikeluhkannya. Di saat itulah tiba-tiba Raden Sukemi membisikkan sebuah ramalan kepada menantunya.
“Aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi... dalam waktu dekat... anakku akan tinggal di istana yang besar dan putih itu.”
Ramalan itu dicatat Cindy Adams sesuai kesaksian Sukarno dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014: 271). Beberapa waktu setelah itu Raden Sukemi mangkat. Fatmawati tak memberitahukan kepada sang suami hingga ramalan itu benar-benar terjadi tiga purnama kemudian.
Telepon Genting Usai Proklamasi
Usai membacakan teks proklamasi dan mengikuti upacara kemerdekaan sederhana di halaman rumahnya, Sukarno tumbang. Keletihan yang sangat menderanya usai dua hari yang menekan menjelang proklamasi. Ia tak ingat apa-apa lagi di sisa hari itu.
Hatta juga tak banyak berkisah. Usai segala upacara tersebut, ia dan Sukarno hanya sempat duduk-duduk barang setengah jam lalu pulang. Di rumah ia sudah ditunggu sanak keluarganya dan larut dalam suka cita kemerdekaan.
Dalam memoarnya, Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011), tak ada kisah yang benar-benar penting selain telepon dari Nishiyama, ajudan Laksamana Maeda, pada sore harinya. Ada seorang opsir Kaigun (angkatan laut Jepang) yang ingin bertamu, katanya.
“Aku persilakan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tulis Bung Hatta dalam memoarnya (hlm. 95).
Lebih jauh opsir itu menjelaskan kepada Hatta bahwa pencantuman kalimat tersebut dalam UUD berarti diskriminasi terhadap minoritas. Hatta segera mengklarifikasi bahwa itu bukanlah diskriminasi seperti yang mereka anggap. Mr. Maramis, jelas Hatta, yang dianggap wakil agama minoritas dalam panitia penyusun bakal UUD, pun tak punya keberatan apa-apa soal kalimat tersebut.
Tetapi, mereka tetap berkeberatan. Semestinya UUD yang jadi pokok hukum mengikat bagi semua golongan, bukan hanya mayoritas. Konsekuensinya cukup pelik juga: golongan Protestan dan Katolik lebih baik berdiri di luar Republik Indonesia jika kalimat itu tetap tercantum dalam pembukaan UUD.
Hatta galau. Terbayang perjuangannya selama lebih 25 tahun memerdekakan Indonesia akan kandas begitu saja karena perpecahan. Kata-kata opsir Kaigun itu begitu memengaruhi pikirannya.
“Setelah itu aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya bahwa esok hari dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat penting itu,” kenang Hatta (hlm. 96).
Esoknya, 18 Agustus 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu, digelarlah sidang pertama PPKI setelah kemerdekaan di Gedung Cuo Sangi In Pejambon—kini kompleks Kementerian Luar Negeri. Sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengajak wakil-wakil umat Islam berunding. Di antara yang diajak Hatta adalah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo, dan Teuku Muhammad Hasan.
Hatta lebih dulu menjelaskan duduk perkara sebagaimana yang diceritakan opsir Kaigun sehari sebelumnya. Dalam Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (SNI VI-2008: 158) disebutkan bahwa rembuk itu tak berlangsung lama tapi cukup alot. Saat ketiga orang lainnya cukup menginsafi penjelasan dan kekhawatiran Hatta, Ki Bagus Hadikusumo benar-benar ingin mempertahankan kalimat itu.
Hatta, sebagaimana diceritakan dalam memoarnya, merasa tak akan ada masalah jika kalimat itu diganti dengan kalimat yang lebih umum sifatnya. Peraturan yang berdasar pada syariat Islam nantinya bisa diajukan bilamana DPR sudah terbentuk.
Teuku Hasan akhirnya yang turun tangan melunakkan hati Ki Bagus. Kepada Ki Bagus ia beralasan bahwa yang terpenting saat itu adalah persatuan lebih dulu. Ki Bagus pun melunak. Akhirnya disepakati bahwa kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam pembukaan UUD diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sukarno Jadi Presiden
Tepat pukul 11.30 rapat dibuka Sukarno selaku ketua PPKI. Seluruh anggota PPKI yang berjumlah 27 orang hadir. Rapat pleno pertama membahas pengesahan Pembukaan dan UUD hasil rancangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan sebelumnya.
Kesepakatan antara Hatta dan keempat tokoh Muslim itu berdampak besar bagi kelancaran rapat pleno pertama PPKI. Tak sampai dua jam, rancangan Pembukaan dan UUD disahkan. Pukul 12.50 sidang pleno pertama selesai.
Ketika sidang pleno kedua dimulai pukul 13.15, Sukarno mengumumkan adanya penambahan anggota PPKI. SNI VI menyebut anggota baru itu adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Mr. Kasman, Sajuti Melik, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan Mr. Ahmad Subardjo. Agenda rapatnya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia (hlm. 159).
Dalam pleno kedua itu, Oto Iskandar di Nata mengusulkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara aklamasi saja. Sepenuturan Hatta dalam memoarnya, Oto sekaligus mengusulkan Sukarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.
Hatta menulis pula, “Kemudian Soekardjo Wirjopranoto mengemukakan bahwa presiden dan wakil presiden harus merupakan satu Dwitunggal. Konstruksi semacam itu adalah unik dalam sejarah, tidak ada contohnya dalam dunia sekarang, tetapi menurut pendapatnya adalah suatu keharusan bagi Indonesia pada masa itu” (hlm. 98-99).
Sementara Sukarno menjawab usulan itu dengan penuh percaya diri. Dalam autobiografinya Bung Besar menuturkan, “Baiklah. Hanya itu. Itulah semua yang kuucapkan. ‘Baiklah.’ Aku tidak membuat suatu yang merepotkan. Tak seorangpun ingin membuat sesuatu yang merepotkan. Terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan” (hlm. 270).
Dan begitulah sidang pleno kedua PPKI hari itu diakhiri dengan pengangkatan Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Dalam SNI VI disebut bahwa sebelum sidang ditutup Presiden Sukarno yang baru terpilih itu membentuk panitia kecil yang ditugasi merancang soal-soal pembagian wilayah negara, kepolisian, tentara, dan perekonomian (hlm. 160).
Usai sidang PPKI pertama itu Bung Karno yang masih merasa letih secara emosional langsung saja pulang. Berjalan kaki ia ke rumahnya di Pegangsaan Timur. Di jalan, presiden baru itu bertemu tukang sate kaki lima. Terbitlah keinginannya sekadar merayakan pengangkatannya hari itu.
Lantas, “Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama, ‘Sate ayam lima puluh tusuk.’”
Tanpa sungkan Presiden Sukarno menyantap lahap sate pesanannya di situ juga. Berjongkok, di dekat got dan tempat sampah sebagaimana orang kebanyakan. “Itulah seluruh pesta perayaan terhadap kehormatan yang kuterima,” tuturnya kepada Cindy Adams yang menulis autobiografinya (hlm. 270).
Sampai di rumah, Bung Karno menghampiri Fatmawati di dapur. Diceritakannya soal pengangkatan sebagai presiden kepada sang istri. Fatma menjawab, “Tiga bulan yang lalu Bapak sudah meramalkannya.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan