tirto.id - Bulan ketiga pendudukan di Indonesia, balatentara Jepang makin menunjukkan watak fasismenya. Selain mengharuskan rakyat Indonesia melakukan senam pagi (taiso) dan menyanyikan lagu kebangsaan "Kimigayo", warga muslim sangat risih membungkukkan badanke arah matahari terbit (seikirei).
Dalam buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2012), pihakMuhammadiyah mencatat: “... rakyat Indonesia melakukan protes atas aturan tersebut. Bagi Muhammadiyah, umat Islam tidak dibenarkan mengadakan penghormatan yang demikian itu walau kepada raja sekalipun.”
Dan salah satu penentangnya adalah Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1944-1953).
“Dalam menjalankan tugasnya memimpin Muhammadiyah, ia didampingi oleh Haji Ahmad Badawi,” tulis Nasruddin Anshory dalam Matahari Pembaruan: rekam jejak K.H. Ahmad Dahlan (2010). Ki Bagus menggantikan Haji Mas Mansur yang menjadi salah satu pimpinan Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) di Jakarta.
Polemik Piagam Jakarta
Sebagai salah satu orang terkemuka di Jawa, pada Februari 1945, Ki Bagus pernah diundang ke Jepang bertemu Kaisar Hirohito alias Tenno Heika. Belakangan, Ki Bagus menjadi anggota dari Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bertugas merumuskan Undang-undang Dasar. Ia mewakili golongan Islam bersama dr. Sukiman Wirjosanjoyo. Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Haji Agus Salim.
Di antara kalangan muslim dalam BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo ialah orang paling bersemangat yang menginginkan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar.
Ki Bagus Hadikusumo pernah memaparkan pentingnya Islam sebagai dasar negara Indonesia pada sidang BPUPKI tanggal 28 Mei 1945. Namun semua paparannya selalu mendapat bantahan dari anggota lain yang menentang negara Islam. Sidang tampaknya bakal menemui kebuntuan. Hingga akhirnya Ki Bagus berdoa di depan para hadirin:
“Ya Allah, berikan kami petunjuk ke jalan yang benar, yaitu jalan yang telah Engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Sesudah kesepakatan Piagam Jakarta, Ki Bagus (tidak termasuk sebagai anggota Panitia Sembilan) mengusulkan frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dan hanya menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Usul ini ditolak Sukarno.
Pendirian Ki Bagus, tokoh sepuh kelahiran 1890 di Yogyakarta, ditanggapi Sukarno dengan rasa canggung. Karena itu, Sukarno menunjuk Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk bicara dengan Ki Bagus sehari setelah Proklamasi dan sebelum berlangsung sidang PPKI.
Dalampembicaraan itu, “Hasan memberikan tekanan pada pentingnya kesatuan nasional. Adalah sangat mutlak untuk tidak memaksa minoritas-minoritas Kristen penting (Batak, Manado, Ambon) masuk ke dalam lingkaran Belanda yang sedang berusaha kembali datang (menjajah Indonesia),” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1989).
Kendati sedikit melunak setelah berbincang dengan Teuku Mohammad Hassan, Ki Bagus sebenarnya belum sepenuhnya merelakan bahwa yang dijadikan dasar negara bukan Islam.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengumpulkan tokoh-tokoh Islam, termasuk Ki Bagus. Hatta menegaskan bahwa dasar negara adalah Pancasila karena Indonesia terdiri dari berbagai macam kemajemukan.
Sempat terjadi kebuntuan dalam sidang dan diusulkan agar dilakukan voting. Namun Abikoesno Tjokrosoejoso justru menilai itu tidak perlu karena, seperti kata Bung Karno, isi Piagam Jakarta, termasuk sila pertama, sudah merupakan hasil kompromi.
“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya, dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan [Ki Bagus] Hadikusumo,” ucapnya, dikutip dari buku Piagam Jakarta (1981) karya Endang Saifuddin Anshari.
“Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian,” imbuh Abikoesno yang tidak lain adalah adik kandung pemimpin Sarekat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto.
Apa yang dikatakan Abikoesno membuat hati Ki Bagus Hadikusumo luluh dan menerima keputusan bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Namun Ki Bagus menginginkan persoalan agama ditempatkan sebagai sila pertama. Dan akhirnya, Pancasila sila pertama diresmikan dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut politikus Muhammadiyah A.M. Fatwa, seperti dicatat Nur Hidayat Sardini dalam 60 Tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016), penerimaan Ki Bagus atas usulan para koleganya telah “memperlihatkan kebesaran hati demi kesatuan dan persatuan bangsa.”
Kandasnya cita-cita menerapkan Islam sebagai dasar negara tidak lantas membuat Ki Bagus mengingkari komitmen berbangsa dan bernegara. Selama masa perang mempertahankan kemerdekaan seiring kembali masuknya Belanda, ia dan santri-santrinya turut berjuang dengan membentuk Angkatan Perang Sabil.
Ki Bagus meninggal pada 4 November 1954, tepat hari ini 65 tahun lalu. Ia menjabat sebagai Ketua Umum Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juni 2017 sebagai bagian dari laporan mendalam tentang Piagam Jakarta. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Fahri Salam & Ivan Aulia Ahsan