Menuju konten utama

Rakus Konglomerat Properti Bikin Rumah Murah Tinggal Mimpi

Kawasan di pinggiran kota penyangga Jakarta jadi bank lahan para baron properti. Menggembosi impian warga bergaji pas-pasan punya rumah.

Rakus Konglomerat Properti Bikin Rumah Murah Tinggal Mimpi
Ilustrasi: Rumah murah tinggal mimpi. tirto.id/Lugas

tirto.id - "Generasi Milenial susah punya rumah." Kalimat ini acap jadi omongan, dan menggambarkan kegelisahan, untuk kalangan muda kelahiran 1980-1997. Jangankan Jakarta, salah satu kota termahal di Indonesia, Milenial kini dihadapkan pada keputusan sulit mendapatkan rumah di kawasan penyangga. Sebut saja di Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Pasalnya, penaikan harga tanah ini timpang dengan kenaikan pendapatan para Milenial. Keadaan itu memaksa Ais Fitria, seorang karyawan bank swasta, memutar otak untuk mendapatkan rumah subsidi sesuai kantong dia.

Perempuan asal Depok ini bercerita dua bulan lalu membeli rumah subsidi di perumahan Permata Mutiara Maja di Banten. Ia memutuskan membeli rumah agak jauh dari Jakarta karena lebih murah dibandingkan daerah lain. Jika rumah subisidi di Maja dipatok uang muka Rp12 juta dengan enam kali cicilan, sementara di Bojong Gede, perbatasan Depok-Bogor, mencapai Rp22 juta dengan dua kali cicilan.

Pada umumnya, persoalan uang muka menjadi momok menakutkan bagi pekerja kelas menengah-bawah macam Fitria. Pasalnya, pendapatan yang pas-pasan menjadi pertimbangannya. Penghasilan bulanan Fitria sebesar Rp2,5 juta, sementara sang suami Rp3,5 juta per bulan. Dengan penghasilan mereka, ia harus menyisikan biaya kontrakan, pendidikan anak, belanja bulanan, transportasi, dan sebagainya.

“Yang penting bisa punya rumah dengan harga terjangkau bersama keluarga, walaupun jarak perumahan jauh dari tempat kerja di Jakarta,” kata Fitria kepada Tirto, awal pekan ini, yang membutuhkan waktu 2 jam dari Maja ke Tanah Abang dengan kereta komuter.

Rumah subsidi yang dibeli Fitria bertipe 22/60 seharga Rp130 juta. Harga ini tergolong cukup ramah bagi kantong Fitria, apalagi skema cicilan bulanannya flat sebesar Rp800 ribu/bulan, dengan jangka waktu 10 tahun. Pertimbangan lain ia memilih Maja karena lokasi perumahannya berjarak 1 kilometer dari Stasiun Maja.

Maja, bersama beberapa daerah lain di pinggiran kota penyangga Jakarta, semakin tren diminati untuk pengembangan rumah subsidi karena didukung sejumlah faktor. Termasuk di antaranya Maja menjadi target kota mandiri oleh pemerintah sejak Februari 1998 sebagai substitusi derasnya urbanisasi. Maja juga memasok lahan yang masih cukup melimpah untuk dikembangkan dengan harga tanah yang masih rendah.

Melaju dari daerah Maja, ada kawasan dengan pasokan lahan berlimpah tapi dengan harga yang makin mahal. Daerah tersebut adalah Parung Panjang di Kabupaten Bogor. Daerah ini berubah tata ruangnya berkat limpahan pengembangan kawasan skala kota modern oleh PT Sinarmas Land di Bumi Serpong Damai (BSD) City. Jarak Serpong dan Parung Panjang sekitar 2 kilometer.

Semula Parung Panjang identik dengan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah karena lokasinya sepi dan minim fasilitas. Proyek hunian pertama adalah Bumi Parung Panjang, dibangun oleh Perumnas sejak 1995. Menyusul perumahan Griya Parung Panjang yang dibangun pengembang swasta PT Mustika Putra Nusantara.

Rumah Murah Menjadi Rumah Mewah

Pertumbuhan rumah subsidi berkembang sejak peremajaan Stasiun Parung Panjang dan penambahan rel dobel jalur Tanah Abang, Jakarta - Rangkasbitung, Banten. Sejumlah developer membangun hunian subsidi, di antaranya perumahan Puri Harmoni 8, Metro Parung Panjang, Savana Alam Serpong, Puri Mutiara Parung Panjang, Pesona Indonesia Residen, dan Serpong Green Paradise. Mayoritas para pengembang mematok harga sekitar Rp135 juta sampai Rp140 juta per unit.

Belakangan perumahan kelas menengah mulai tumbuh. Ia ditandai pembangunan Serpong Kencana (Forest Hill) yang dikembangkan PT Blessindo Terang Jaya (kini PT Mandiri Mega Jaya), anak usaha Hanson International Tbk. Perusahaan ini punya sayap usaha beragam, dari tekstil, pertambangan, dan properti. Serpong Kencana dikembangkan di Jalan Dago, Kabasiran, sekitar 1,5 km dari Stasiun Parung Panjang.

Masih di lokasi yang sama, BSA Land bekerjasama dengan Perumnas membangun perumahan Sentraland Paradise Parung Panjang. Tak lama kemudian, BSA Land kembali membangun perumahan The River. Mayoritas perumahan kelas menengah ini mematok harga antara Rp229 juta sampai Rp500 juta per unit.

Pelan tapi pasti kawasan yang semula identik untuk perumahan masyarakat menengah-bawah berubah menjadi kawasan rumah untuk kelas berduit. Para pengembang skala besar mulai mencaplok dan mengubahnya menjadi kawasan real estate.

Pada 28 April 2018, Millennium City, kawasan kota baru seluas 1.388 hekater atau hampir tiga kali luas Meikarta, yang terletak di Parung Panjang, diluncurkan ke publik di Ritz Carlton, SCBD Sudirman. Proyek ini dikembangkan oleh PT Pacific Millenium Land, sebuah konsorsium dari enam konglomerat: Tan Kian (Century Properties Group Indonesia), Benny Tjrokrosaputro (Hanson Group), Soetikno Soedarjo (MRA Group), Ganda Sitorus dan Martua Sitorus (Gamaland Group), dan Glenn Sugita (Northstar Group).

Century Properties Group Indonesia merupakan pemain lama di bidang properti kelas premium. Sederet properti mereka di Jakarta adalah Central Business District (CBD) Mega Kuningan dan Sudirman. Sebelum beralih nama menjadi Century Properties Group Indonesia, perusahaan ini dikenal Dua Mutiara Group, yang didirikan oleh konglomerat Tan Kian.

“Selain dari sisi desain mewah, kualitas dan mutu bangunan juga menjadi perhatian utama kami dalam menyelesaikan dan serah terima unit setiap proyek yang kami kerjakan. Hal sama juga akan kami terapkan dalam konsep dan perencanaan di kota baru Millennium City,” kata Tan Kian, Presiden Direktur PT Pacific Millennium Land kepada awak media saat peluncuran tersebut.

Kawasan kota baru ini akan dikembangkan dalam sembilan tahap, termasuk sebagai pusat bisnis dengan luas lahan 20 ha hingga 50 ha.

Hans Leander, wakil direktur operasional PT Pacific Millennium Land, mengatakan pembangunan tahap pertama seluas 82 ha akan dimulai September 2018 dari pintu gerbang utama di Desa Kabasiran, Parung Panjang.

“Target kami tahap satu punya empat klaster. Totalnya 1.150 unit rumah dengan nilai pendapatan mencapai Rp1 triliun,” katanya kepada Tirto, akhir Juni lalu, di Gedung Sahid Sudirman Center, Jakarta Pusat.

Sampai saat ini, Millennium City sudah memasarkan dua klaster; Alton House sebanyak 317 unit, dan Charlton sebanyak 263 unit. Satu unit rumah paling murah di klaster Alton House dibanderoli Rp627 juta. Mereka memang menargetkan pasar pembeli berkocek tebal.

Infografik HL Indepth Properti

Dampak Perumahan Mewah

Sebelum peluncuran Millennium City, PT Pacific Millennium Land gencar membeli lahan pertanian warga dan lahan kosong di desa-desa Kabupaten Bogor seperti Parung Panjang, Sukamulya, Pabuaran, Mekarsari dan desa-desa di Kabupaten Tangerang seperti Dangdang dan Mekarwangi. Mereka merencanakan kawasan ini berdiri di lahan seluas 3.000 ha.

“Pasti ada hambatan saat pembebasan," ujar Hans Leander. "Kalau ada yang bilang enggak ada hambatan, bohong. Case by case. Sampai saat ini kami masih bebaskan sesuai SK kami 3.000 ha."

Namun, pola tukar guling lahan ini tidak memakai nama PT Pacific Millennium Land, melainkan lewat anak-anak perusahaannya. Termasuk di antaranya PT Bandha Wibawa Asih, PT Chandra Tribina, dan PT Sukses Mandiri Berdikari Jaya.

Berdasarkan data dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu Kabupaten Bogor pada 2018 dan Bappeda Kabupaten Bogor 1990-2018, PT Chandra Tribina membebaskan lahan 400 ha di Desa Sukamulya, 400 ha di Desa Pabuaran-Sukamulya, 750 ha di Desa Mekarsari dan Sukamulya. Sedangkan PT Sukses Mandiri Berdikari Jaya membebaskan lahan di Parung Panjang seluas 150 ha.

Adapun PT Bandha Wibawa Asih membebaskan lahan warga di Desa Mekarwangi seluas 214 ha. Harga tanah ini antara Rp170 ribu sampai Rp600 ribu per meter. Perusahaan yang sama membeli 150 ha tanah di Desa Dangdang, dengan harga relatif murah. Bayangkan, harga tanah di desa yang berjarak 1,5 kilometer dari Stasiun Cicayur ini cuma Rp400 ribu per meter. Ini diungkapkan pejabat pemerintah Desa Dangdang dan Mekarwangi.

Yeti Mariati, kepala urusan umum Kelurahan Kabasiran, mengatakan Millennium City telah membeli lahan-lahan sawah dan petak kosong warga. Harganya variatif, antara Rp800 ribu sampai Rp2,5 juta per meter.

"Untuk daerah Kabasiran, Millennium City sudah membebaskan 100 hektare," kata Yeti kepada Tirto di kantor Kelurahan Kabasiran.

Makin rakusnya para baron properti—dan mayoritasnya adalah para konglomerat Indonesia—di kawasan pinggiran macam Parung Panjang menyebabkan lahan kosong menyusut, sementara lahan terbangun meningkat sejak tujuh tahun terakhir.

Merujuk penelitian Ali Machsun berjudul "Analisis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terhadap Kesesuaian Lahan Di Kecamatan Parung Panjang tahun 2008-2015", tugas akhirnya untuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (PDF), lahan terbangun di Kecamatan Parung Panjang meningkat 17 persen. Dari 2.546 ha pada 2008 menjadi 3.772 ha pada 2015. Artinya, ada peningkatan 1.226 ha.

Sementara lahan kosong menyusut 14 persen. Masih dalam laporan itu, dari 1.033 hektare lahan kosong pada 2008 menjadi 71 hektare pada 2015. Artinya, lahan kosong di Kecamatan Parung Panjang menyusut 926 ha.

Seiring penyusutan lahan kosong dan besarnya lahan yang dikuasai pengembang kelas kakap, maka pilihan konsumen masyarakat berpenghasilan pas-pasan seperti Ais Fitria makin terbatas. Fitria, yang kini berusia 31 tahun, akan merampungkan cicilan rumah subsidinya saat dia berusia 41 tahun. Dalam 10 tahun ke depan, kawasan Maja bakal berubah total. Dan, mengikuti tren pasar properti, kawasan yang semula untuk masyarakat kelas menengah-bawah ini pun makin berubah peruntukannya buat kaum berduit.

Pertanyaannya: Bila Anda kini seperti Fitria, usia di atas 25 tahun, bekerja di Jakarta, berpenghasilan sebatas UMR, dan Anda belum memiliki rumah, ke mana Anda akan mencarinya?

Baca juga artikel terkait PROPERTI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Bisnis
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam