tirto.id - Seorang perempuan muda bersama dengan ibunya berjalan menyusuri lorong ruang pameran properti di JCC, Jakarta. Afifah (26) nama perempuan itu, ketiak kanannya mengapit brosur-brosur simulasi perumahan yang dibagikan oleh para tenaga pemasaran.
Setelah puas berkeliling dan memilah perumahan yang potensial, mereka berdua memutuskan akan mengambil rumah di Maja, Banten. Kawasan ini berjarak sekitar 46 km bila ditarik garis lurus dari pusat kota seperti JCC, Senayan, dan lebih jauh dari rumah orang tuanya di Jakarta Pusat. Untungnya, Maja salah satu wilayah di sisi barat Jakarta yang sudah terkoneksi dengan jaringan KRL Jabodetabek.
“Beli rumah di sana (daerah Kota) sudah nggak mungkin, soalnya miliaran. Terpaksa ambil yang jauh karena dari segi biaya mampunya yang itu,” katanya kepada Tirto.
Afifah, bukan satu-satunya orang yang terpaksa membeli hunian jauh dari tempatnya beraktivitas sehari-hari. Masih banyak orang-orang bernasib sama seperti Afifah yang membeli rumah jauh dari pusat kota demi terjangkau dengan kantong.
Ia hanya seorang karyawan non PNS di salah satu kantor pemerintahan, gajinya, cukup UMP DKI Jakarta Rp 3,35 juta per bulan. Begitu juga yang terjadi dengan pekerja lainnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Ada sebagian dari mereka yang akhirnya putus asa untuk bisa memiliki rumah karena harga yang kelewat tinggi, dan bila terjangkau lokasinya jauh dari pusat kota.
Berdasarkan hasil survei Rumah.com yang berjudul Property Affordability Sentiment Index yang mengajukan pertanyaan alasan masyarakat tak membeli properti. Sebanyak 45 persen responden mengaku tidak siap membeli rumah pada tahun ini. Sementara alasan tertinggi kedua sebesar 34 persen disebabkan oleh harga rumah yang terlalu tinggi.
Selain masalah harga properti yang selangit, sebanyak 34 persen responden lainnya menyatakan cukup dengan hanya memiliki satu properti saja. Sisanya, sebanyak 10 persen mengaku tak dapat menemukan properti yang tepat, dan 8 persen lainnya tidak mendapat pinjaman atau tak punya cukup dana untuk membeli rumah.
Survei tersebut dilakukan atas kerja sama lembaga riset Intuit Research, Singapura. Survei tahunan ini mengambil sampel responden sebanyak 1.030 orang yang dilakukan pada November-Desember 2016. Dari survei ini memunculkan pertanyaan, apakah masih ada kesempatan bisa memiliki rumah bagi orang-orang seperti Afifah?
Susahnya Punya Rumah
Persoalan memiliki rumah jadi bagian berat bagi kehidupan para pekerja perkotaan yang bergaji pas-pasan. Ini tak hanya terjadi di Ibu Kota Jakarta, juga kota-kota lain seperti Yogyakarta. Bagi konsumen seperti Afifah sudah pasti masalah harga rumah yang terus naik, dan lokasi yang teramat jauh jadi tantangan untuk punya rumah. Bagi pengembang persoalan ini juga jadi masalah buat mereka.
Survei Harga Properti Residensial di Pasar Primer dari Bank Indonesia juga menjabarkan hal serupa. Survei selama Triwulan IV/2016 yang dirilis bulan Februari 2017 ini mengungkapkan sejumlah faktor utama yang menghambat pertumbuhan bisnis properti dari kacamata para pengembang perumahan.
Suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi faktor penghalang terbesar dalam pengadaan rumah yang mengambil porsi 19,91 persen, disusul uang muka rumah sebanyak 18,39 persen, perizinan 16,15 persen, pajak 13,76 persen, serta kenaikan harga bangunan sebanyak 13,54 persen.
Persoalan bunga KPR yang tinggi hingga dua digit tentu pukulan besar bagi calon pembeli rumah. Faktanya, survei ini juga mencatat 77,22 persen memilih KPR untuk membeli rumah. Jumlah ini meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang masih 74,77 persen.
Ini menggambarkan bahwa orang-orang seperti Afifah yang berpenghasilan Rp3,35 juta per bulan mau tak mau harus mengambil KPR. Persoalan tak sampai di situ saja, Afifah harus berjuang mengumpulkan uang muka yang tak sedikit dan pastinya tak mudah.
Dengan penghasilan sebesar itu, maka yang paling mungkin adalah membeli perumahan dengan fasilitas KPR subsidi. Perumahan di Maja, Banten yang dipilih Afifah memang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp4 juta per bulan pekerja formal sebagai syarat penerima fasilitas KPR subsidi.
Pemerintah memang sempat punya program bantuan uang muka Rp4 juta per calon nasabah KPR subsidi. Selain itu, untuk bank BUMN tertentu ada program DP KPR subsidi sebesar 1 persen. Namun kenyataannya calon nasabah KPR subsidi seperti Afifah yang berpenghasilan Rp3,35 juta harus merogoh Rp22,5 juta untuk uang muka (DP) rumah tipe 22/60 seharga Rp150 juta/unit dengan bunga 5 persen per tahun.
Dengan menghitung 22 persen penghasilan Afifah untuk mencicil rumah atau Rp 750.000/bulan maka ia harus mencicil selama 25 tahun. Afifah baru akan melunasi kredit di usia 51 tahun dari saat ini usianya masih 26 tahun. Afifah barangkali masih beruntung karena penghasilannya memenuhi syarat penerima KPR subsidi. Bagi yang berpenghasilan per bulan lebih dari Rp4 juta, maka mau tak mau harus menggunakan KPR non subsidi.
Sebagai gambaran harga rumah non subsidi dengan tipe 30/84 bisa mencapai Rp300 juta di wilayah Bojonggede, Bogor, Jawa Barat. Calon nasabah KPR ini harus menyiapkan uang muka Rp45 juta. Bila ditambah booking fee rata-rata untuk rumah non subsidi adalah Rp5 juta dan biaya surat-surat Rp10 juta, maka total dana yang dibutuhkan Rp60 juta. Tentu uang sebesar ini sangat berat bagi mereka yang punya penghasilan sedikit di atas Rp4 juta/bulan.
Misalnya seseorang dengan penghasilan Rp6 juta per bulan maka untuk punya uang muka saja harus menabung gaji selama 10 bulan, dan tentu ini mustahil. Untuk cicilan mereka harus menyisihkan Rp2,2 juta per bulan selama 25 tahun. Namun, ini semua hitung-hitungan di atas kertas, karena di lapangan selain masalah syarat kesanggupan mencicil, calon nasabah KPR harus lolos dari proses apa yang disebut sebagai BI Checking saat mengajukan KPR di bank.
“Kalau mau lolos KPR BI Checking-nya harus bagus ya mbak. Jika tidak lolos, Booking Fee hangus,” kata Wahyu seorang tenaga pemasaran pengembang properti yang dipilih Afifah.
BI Checking memang tahapan yang harus dilewati bagi calon nasabah KPR atau lainnya. BI Checking biasa disebut juga dengan Informasi Debitur Individual (IDI) Historis, menurut website resmi Bank Indonesia, IDI Historis merupakan produk/output yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Debitur (SID).
IDI Historis mencakup informasi seluruh penyediaan dana/pembiayaan dengan kondisi lancar dan bermasalah mulai dari Rp1 ke atas, serta menampilkan informasi mengenai historis pembayaran yang dilakukan dalam kurun waktu 24 bulan terakhir oleh seorang nasabah. Cakupan IDI Historis meliputi antara lain identitas debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas penyediaan dana/pembiayaan yang diterima, agunan, penjamin, dan kolektibilitas atau ketepatan membayar.
Lembaga keuangan anggota Biro Informasi Kredit selanjutnya dapat mengakses SID selama 24 jam setiap hari untuk melihat data-data debitur yang disajikan secara individual dengan lengkap. Data-data debitur yang dihimpun oleh Bank Indonesia (BI) bersumber dari laporan yang disampaikan oleh anggota Biro Informasi Kredit.
“Kredit motor, kredit rumah sebelumnya, kredit mobil sampai kredit panci pun akan terdeteksi, jadi jangan kreditur sampai bohong,” tegas Wahyu.
Calon nasabah KPR seperti Afifah dan lainnya sudah harus mengingat, apa saja kredit yang pernah mereka tunggak atau beban cicilan yang masih tersisa di lembaga keuangan. Mereka juga harus berhitung, seberapa besar penghasilan setiap bulan dalam memenuhi maksimal 30 persen penghasilan sebagai beban kredit seorang nasabah agar tak kewalahan mencicil.
Rumah memang kebutuhan utama, tapi bagi orang-orang seperti Afifah--jalan terjal untuk memiliki rumah bukan suatu yang mudah bisa dilewati. Siap atau tidak siap hanyalah pilihan, tapi paling tidak Afifah sudah mencoba memulainya walau dengan KPR. Bagaimana dengan Anda?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra