Menuju konten utama
Sekjen REI Totok Lucida

"Jangan Sampai Pasar Properti Dimonopoli Beberapa Pengembang Saja"

Pengembang properti harus taat aturan 1 rumah mewah, 2 rumah medium, 3 rumah murah. Tapi, pengawasannya masih minim.

Totok Lucida, Sekjen Real Estate Indonesia. Tirto/Sabit

tirto.id - Konsep kota mandiri di pinggiran Jakarta sedang jadi tren, meski kadang menuai masalah. Misalnya, keriuhan yang terjadi saat Lippo menawarkan hunian di Kota Mandiri Meikarta pada tahun lalu. Kali ini ada proyek yang sama bakal dibangun, tetapi beda pengembang.

Kota mandiri bernama Millennium City itu akan dibangun di atas lahan 1.388 hektare, atau tiga kali lipat dari lahan Meikarta. Ia berlokasi di Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Tidak seperti Meikarta yang jorjoran beriklan di televisi, dan belakangan terganjal isu izin pengembangan, Millennium City yang digagas oleh enam konglomerat, termasuk pemilik Batik Keris dan Tan Kian, ini masih jarang didengar, kecuali oleh kalangan baron properti sendiri.

Guna mengetahui lebih mendalam soal tren pengembangan kota mandiri, dan gerak ekspansi bisnis pasar properti ke pinggiran Jakarta, Ringkang Gumiwang dari Tirto mewawancarai Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia (REI) Totok Lucida. Berikut petikannya.

Konsep pengembangan Kota Mandiri di pinggiran Jakarta tengah jadi tren. Apa yang menjadi pertimbangan pengembang?

Kami dari REI sudah mempertimbangkan sejak 1,5 tahun lalu. Bersama badan penasihat Pak Darmono (Setyono Djuandi Darmono), pendiri PT Jababeka Tbk. Kalau kami hanya bangun rumah, itu banyak enggak ditempati karena tidak terintegrasi.

Untuk itu, kami perlu bangun suatu daerah dengan terintegrasi. Supaya tujuannya orang itu ketika membutuhkan sesuatu tidak perlu ke kota besar. Jadi ada efisiensi.

Disana ada sekolah, dari TK, SD sampai dengan universitas. Ada industrinya untuk pekerja. Meskipun lokasinya dekat dengan kota metropolitan. Jadi memang trennya ke kota mandiri. Ini juga biar Jakarta tidak macet.

Untuk mengembangkan kota mandiri, lahan yang diperlukan sangatlah luas. Seringkali kota mandiri dibangun di atas lahan yang sebenarnya untuk masyarakat menengah-bawah. Tanggapan Anda?

Saya kira enggaklah. Prinsip kota mandiri itu untuk semuanya. Anda melihat Millennium City itu sebenarnya mirip Meikarta. Harga per meter perseginya di Meikarta itu di bawah rata-rata harga rusunami.

Jadi jangan melihat landed house. Apa yang disediakan itu untuk semuanya. Maka, kami batasi. Karena takut kalau bangun kota mandiri, nanti dihuni orang asing. Nah, untuk orang asing itu minimal Rp5 miliar.

Pemerintah setuju untuk membatasi harga properti orang asing minimal Rp5 miliar. Kalau di Jabodetabek itu Rp7,5 miliar. Kalau orang Indonesia boleh, tapi yang kelas bawah. Pembatasan-pembatasan itu tetap dilakukan supaya semua bisa merasakan.

Tapi memang ini subsidi silang. Kalau bangun untuk masyarakat ke bawah semua, ya pengembang enggak untung. Kayak Maja, itu harganya murah. Tapi enggak semuanya. Ada daerah yang harganya mahal. Ini subsidi silang biar tidak rugi. Yang pasti, konsep tempat hunian untuk semua itu akan terus kami dorong.

Tapi dari hasil pengamatan kami, harga rumah di proyek Millennium City minimal Rp600 juta?

Kami dalam mengembangkan tempat hunian harus memenuhi ketentuan hunian berimbang. Rumusnya: 1 rumah mewah, 2 rumah medium, dan 3 rumah murah. Kalau melanggar kena sanksi, bisa denda atau kurungan.

Mereka mungkin bangun dulu rumah menengah-atas karena memang daerah sana cocoknya buat kelas menengah. Meski begitu, mereka juga wajib untuk bangun yang low class. Bisa saja di daerah lain, yang masih di dalam satu kabupaten. Pada prinsipnya, masyarakat yang menikmati rumah itu harus merata.

Di sisi lain, mekanisme yang mengatur kelas rumah itu tidak ada. Meikarta, misalnya, malah bangun hunian MBR (masyarakat berpenghasilan rendah/miskin) dulu. Artinya, mereka punya visi sendiri. Mungkin agar penghuninya lebih banyak dulu atau karena hal lain.

Seperti apa pengawasan dari REI terkait hunian berimbang ini?

Saat ini memang REI belum bisa mengawasi penuh penerapan hunian berimbang di setiap pengembang. Namun, ke depan, kami mengarah ke sana: mengawasi dengan sertifikasi anggota. Selama ini belum.

Pengawasan bisa dilihat dari masterplan. Kadang-kadang ada suatu daerah yang cocok untuk kelas bawah. Saya bangun menengah-atas, ya enggak laku. Lalu bangun rumah kelas-bawah di Pondok Indah, bisa drop harganya. Bisa sepi properti, harga properti Jakarta bisa turun. Kami kan memikirkan mikro dan makro agar semua jalan. Jangan mikir satu kondisi saja.

Dalam hal Millennium City, ada kasus di Rumpin: semula daerah itu untuk perumahan menengah-bawah. Namun, kini harganya sudah naik ke level kelas menengah-atas. Apakah ini bisa disebut pelanggaran komitmen?

Saya pikir enggak. Saya dulu bangun rumah sederhana di Surabaya. Lokasinya di pojok. Kalau siang hari itu orang enggak mau lewat sana. Saya bangun buat rumah TNI. Laku 2.500 unit. TNI bangun sendiri lewat koperasi, bangun lagi 2.000 unit.

Setelah itu pembangunan rumah itu berhenti. Karena setelah 4.500 unit, daerahnya kini sudah punya lapangan golf. Sudah ramai kondisinya. Tentu kalau bangun rumah murah, pasti tidak menguntungkan lagi.

Sebagai pelaku usaha, mencari keuntungan itu perlu. Namun kami ada kewajiban untuk tetap menyediakan rumah murah. Tentu pasti kami penuhi. Tapi daerahnya bukan di sana lagi, digeser ke tempat lain.

Nah, bisa di daerah situ, bisa juga di daerah lain. Nanti kalau berkembang lagi, ya sudah cari tempat lain lagi. Bagaimanapun, properti itu secepat dengan pertumbuhan manusia. Maka, pemerintah mencanangkan 1 juta rumah.

Selama ini kan terus terjadi backlog. Kalau sudah sampai satu juta. Tambah lagi. Kami harus bangga, kami satu-satunya negara di dunia yang menyediakan MBR dengan melibatkan swasta. Di luar negeri, hanya negara yang menyediakan MBR.

Di satu sisi, kami juga enggak bisa menghalangi karena ini bisnis. Tapi kami bisa menuntut kewajiban mereka agar memenuhi undang-undang. Pengembang Pondok Indah, misalnya, mungkin dulu sempat ada rumah sederhana.

Namun, saat ini, Pondok Indah sudah menjadi salah satu daerah termahal di Jakarta. Tentu kalau mau bangun rumah sederhana di sana sudah enggak mungkin lagi. Ya sudah carikan alternatif. Tapi pengembang tetap mau tanggung jawab.

Tidak jarang ada kasus lahan yang kondisinya tengah bersengketa, tetapi tetap masuk di dalam masterplan pengembang. Tanggapan Anda?

Artinya, pengembang meyakini sengketa lahan itu bisa diselesaikan; apakah itu lewat jalur hukum atau lewat jalur damai. Jadi kalau memang mampu menyelesaikan, bisa masuk dalam masterplan.

Terkait sengketa ini, kami mengusulkan kepada pemerintah, suatu kasus tanah itu bisa dibatasi masa tenggang untuk gugatan. Misalnya kakek Anda punya tanah, lama enggak diketahui. Sudah 20 tahun. Lalu suratnya sah, dan belum diganti rugi.

Setelah itu, Anda menggugat orang yang membebaskan tanah Anda itu. Tentu orang yang membebaskan tanah Anda itu wajib mengganti, tetapi perdata saja, pidana hilang. Biar prosesnya jadi tidak lama.

Ada yang menilai pasar properti di pinggiran Jakarta sudah mengarah ke oligopoli. Apa benar seperti itu?

Selama ini memang ada pembiaran. Jadi memang perlu dikembalikan. Boleh jadi orang kaya, tapi jangan menjadi super kaya. Jangan monopoli. Tapi ini memang tidak mudah seperti membalikkan tangan.

REI mendukung pemerintah agar jangan sampai lahan atau properti ini terus-menerus dikuasai beberapa pengembang besar saja. Bahkan pemerintah menunjuk sejumlah BUMN untuk mencegah hal ini terjadi lebih jauh lagi.

Sebenarnya, para pengembang yang memiliki land bank dengan jumlah besar itu pelan-pelan sudah menyadari agar tidak menguasai lahan seluas-seluasnya. Pemerintah juga meminta pengembang besar menggandeng pengembang kecil.

Ambil contoh Ciputra. Mereka punya lahan di satu daerah. Mereka mengajak pengembang lokal untuk bangun rumah di sana dengan harga khusus. Lippo juga begitu; beli tanah Rp500.000 per meter persegi dijual ke pengembang lokal Rp150.000 untuk bangun MBR.

Jadi mereka sadar, kok. Cuma mereka juga minta bahwa menggandeng pengembang lokal dimasukkan ke dalam ketentuan hunian berimbang. Mereka kan enggak ambil untung di situ, dari harga beli saja sudah tekor.

Dalam mengembangkan kota mandiri, tidak sedikit pengembang yang membentuk konsorsium. Tanggapan Anda?

Memang sudah seharusnya begitu. Supaya perkembangannya lebih cepat. Rakyat butuh cepat. Backlog besar. Ambil contoh pengembangan industrial estate, kalau ambil sendiri pasti agak berat.

Beda misalnya dikembangkan oleh 10 konglomerat; masing-masing konglomerat itu mengenal 10 perusahaan. Totalnya 100 perusahaan. Langsung besar industrial estate. Kalau sendiri, ya cuma dapat 10 perusahaan.

Baca juga artikel terkait PROPERTI atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Indepth
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Fahri Salam