tirto.id - “Millennium City, Kota Baru 1.388 hektare di Serpong,”
Reklame besar itu terlihat mencolok di Jalan Raya Dago, Bogor. Terletak 1,8 kilometer dari Stasiun Parung Panjang, sebuah pagar bercat merah yang berdiri dua bulan lalu menjadi penanda pembangunan sebuah kota mandiri.
Di balik pagar, tampak tanah tandus yang dulunya areal persawahan. Di sekitarnya sejumlah rumah penduduk masih berdiri meski kelak kawasan ini bakal disulap gila-gilaan menjadi hunian bagi warga berduit.
“Millennium City kami kembangkan sebagai sebuah kota terpadu. Dengan lahan yang kami kuasai mencapai 3.000 hektare, 1.388 di antaranya untuk Millennium City. Kami membangunnya sama kayak BSD,” ujar Hans Leander, wakil kepala operasional PT Pacific Millennium Land kepada Tirto, akhir Juni lalu, di Gedung Sahid Sudirman Center, Jakarta Pusat.
Sama seperti Bumi Serpong Damai, sebuah kota terencana di Tangerang Selatan yang berdiri pada 1980-an oleh Sinarmas Land, salah satu baron developer di Indonesia, PT Pacific Millennium Land dimiliki oleh enam konglomerat yang berminat dalam pasar properti. Mereka adalah Tan Kian (Century Properties Group Indonesia), Benny Tjokrosaputro (PT Hanson International Tbk., pemilik Batik Keris), Soetikno Soedarjo (MRA Group), Ganda Sitorus dan Martua Sitorus (Gamaland Group), serta Glenn Sugita (Northstar Group).
Dalam rencana induk, kawasan kota mandiri ini bakal digarap pada September 2018, yang disebut-sebut mengintegrasikan klaster perumahan premium dan areal komersial, pusat bisnis, kantor, hotel, apartemen, dan sejumlah fasilitas pendukung lain yang menopang kualitas hidup kaum berduit. Untuk proyek ini, konsorsium telah gencar memasarkan investasi properti tersebut kepada para calon pembeli. Total perumahan yang dipasarkan pada tahap awal sebanyak 1.150 unit dan 760 unit ruko, menurut Hans Leander.
Wilayah mana saja yang terpapar pembangunan Millennium City?
Leander mengklaim mayoritas lahan terletak di Tangerang Selatan, “hanya 10 persen” di Kabupaten Bogor.
Klaim itu agak meleset dari dokumen presentasi PT Hanson International Tbk., yang kita bisa akses secara terbuka, yang menampilkan peta kawasan kota baru itu berada di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor (hlm. 30).
Kepala sarana dan prasarana tata ruang Bappeda Kabupaten Bogor Ajat Rochmat Jatnika mengatakan kepada Tirto bahwa ia pernah didatangi pengembang Millennium City sekitar tahun 2015. Pertemuan itu untuk mengenalkan rencana sebuah proyek pembangunan kota baru di Parung Panjang.
“Dulu waktu ekspos penguasaan lahan mungkin enggak realistis. Izin lokasi banyak [di Parung Panjang], tapi untuk pembebasan tanahnya itu enggak ada,” ujar Jatnika.
Berdiri di Lahan Sengketa
Hans Leander mengungkapkan pembangunan pintu gerbang pertama Millennium City terletak di Kabasiran, sebuah desa di Kecamatan Parung Panjang. Ia enggan menyebutkan lokasi detilnya, hanya mengatakan pintu gerbang Kabasiran bukan satu-satunya akses menuju kota baru tersebut.
Ia membenarkan kawasan perumahan mewah ini akan berhadapan dengan perumahan Baletirtawarna klaster Argawarna, sebuah perumahan kelas menengah yang dibangun PT Bumi Serpong Damai Tbk milik Sinarmas Land. Perumahan ini akan tergabung dengan kawasan industri seluas 345 hektare di pinggiran BSD City, tepatnya di Jalan Raya Serpong-Rumpin.
“Untuk daerah Kabasiran, Millennium City sudah membebaskan lahan 100 hektare,” kata Yeti Mariati, kepala urusan umum Kelurahan Kabasiran.
Problemnya, merujuk rencana induk pembangunan Millennium City yang seluas 1.388 hektare itu masuk ke lahan Desa Sukamulya, tepat berdampingan dengan Lanud Rumpin. Lahan ini masih menjadi titik didih sengketa antara warga desa dan TNI Angkatan Udara.
Warga mengklaim ada sekitar 450 hektare lahan yang semestinya jadi milik mereka dari total lahan seribuan hektare di lokasi tersebut. Sementara lahan yang kelak dikembangkan sebagai Millennium City mengambil sekitar 400-an ha di tanah sengketa tersebut.
Sengketa lahan ini mencuat sejak 2007, bahkan sudah enam kali diadukan dan dirundingkan lewat kantor staf presiden di Istana, tetapi hingga kini belum juga beres.
Arjani, kepala urusan pemerintahan Desa Sukamulya, mengatakan konflik agraria ini bikin Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor, provinsi maupun pusat enggan menerbitkan sertifikat tanah warga.
Menurut klaim Aliansi Gerakan Reforma Agraria, sebuah lembaga nirlaba yang menangani kasus ini, luas lahan sengketa terdiri 397 hektare permukiman (15 kampung), 205 ha pekarangan (termasuk pertanian), 8,2 ha pemakaman umum, 198 ha persawahan (6 area utuh, 5 menjadi danau, dan 1 menjadi water training TNI AU), 74 ha perkantoran (Lapan dan Detasemen Bravo), 36 ha lapangan terbang, 39 ha perumahan BSD, dan 109 ha sarana umum (kantor desa, sekolah, masjid, pasar, dan sebagainya).
Mohammad Ali, sekjen Aliansi, mengatakan konflik agraria ini telah berdampak pada menyusutnya permukiman penduduk, pertanian, dan mata pencaharian warga desa.
“Masa depan warga hilang. Seluruh tanah desa terkena klaim TNI AU,” ujar Ali.
Sementara Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Novyan Samyoga membantah klaim warga bahwa tanah TNI AU sebagai aset negara hanya seluas 79 ha. Ia mengklaim tanah di Rumpin yang jadi hak TNI AU mencapai ribuan hektar berdasarkan inventaris kekayaan negara di Kementerian Keuangan.
“Acuan mana dulu yang mau dipakai?” kata Samyoga kepada Tirto, awal Juli lalu. “ Untuk penyelesaian tidak mudah juga. Kalau dulu mungkin bisa dengan cara dipaksa keluar. Kalau sekarang enggak bisa.”
Mohammad Ali menuding tanah seribu hektare yang diklaim TNI AU di Desa Sukamulya “kemungkinan besar digunakan untuk pengembang properti.” Menurutnya, dari hasil temuan organisasinya, ada master plan pembangunan perumahan mewah di lahan konflik tersebut.
“Analisis kami, tanah yang diklaim seribu hektare itu bukan untuk TNI AU. Mereka enggak akan mengembangkan lebih dari 79 ha. Tetapi, tanah seribuan hektare itu harus tetap dilepas untuk kepentingan properti," kata Ali.
Marsekal Pertama Novyan Samyoga membantah tudingan Aliansi. Menurut mantan Komandan Pangkalan Udara Adisutjipto Yogyakarta ini, pernyataan Ali tersebut “mengada-ada.”
“Kalau tanah itu tidak masuk tanah negara (TNI AU), ya bebas saja untuk dikembangin. Jadi isu yang selama ini untuk TNI AU enggak benar. Kamu bicara halaman (tanah) TNI AU atau bukan? Kalau enggak masuk [tanah negara],mau dikembangin ya enggak masalah,” kata Samyoga.
Tukar Guling untuk Millennium City
Hans Leander dari PT Pacific Millennium Land mengatakan nantinya pengembangan Millennium City mencapai Lapangan Udara Rumpin di Desa Sukamulya.
“Iya, pengembangan kami sampai ke Landasan Rumpin,” ujarnya.
Namun, saat Tirto mempertanyakan bahwa sebagian pembangunan proyek yang ia sebut itu berdiri di atas tanah sengketa antara warga desa dan TNI AU, Leander buru-buru membantahnya.
Ia menyebut master plan pembangunan Millennium City jauh dari Lanud Rumpin. Ia mencoba meyakinkan bahwa pembangunan itu tidak masuk Lanud Rumpin. “Mungkin Anda salah informasi,” katanya ragu.
Keraguan Hans terbantah dari pengakuan pemerintah Desa Sukamulya. Saat ini pengembang besar yang membebaskan lahan di kawasan Sukamulya adalah PT Chandra Tribina, anak usaha PT Pacific Millennium Land. Pembebasan itu seluas 400 ha di sisi kanan dan kiri Jalan Raya Rumpin.
“Pembebasan lahan sejak 2014, sebelah kanan di wilayah pemakaman Taman Rumpin, sebelah kiri berbatasan dengan Desa Mekarsari karena akan menyatu dengan tanah perusahaan (Chandra Tribina) di sana,” kata Arjani, kepala urusan pemerintahan Desa Sukamulya, kepada Tirto.
Pola yang sama untuk lahan di Kabupaten Tanggerang. Millennium City telah membebaskan 150 ha tanah di Desa Dangdang dan 214 ha di Desa Mekarwangi. Tukar guling kedua lahan ini memakai PT Bandha Wibawa Asih, anak usaha PT Pacific Millennium Land. Hal ini diungkapkan oleh pemerintah Desa Dangdang dan Mekarwangi.
Keluarnya izin lokasi pembebasan lahan ini oleh dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu Kabupaten Bogor menjadi tanda tanya ketika tanah tersebut masih jad titik sengketa. Saat dikonfirmasi Tirto, Danni Rachmat, kepala pelayanan dan perizinan pemanfaatan ruang dari dinas tersebut, berdalih tak mengetahui informasi sengketa di kawasan Sukamulya.
“Kalau lahan [masih] konflik, izin lokasi kami tahan dulu, kecuali tidak ada informasi dari wilayah itu,” katanya.
Ketidaktahuan kepala dinas Kabupaten Bogor ini dipertanyakan oleh pihak pejabat desa. Menurut Arjani, kasus sengketa lahan warga Rumpin sudah berlangsung dua belas tahun, dan tak mungkin para pejabat kabupatan bahkan provinsi tidak tahu, karena konflik agraria ini sudah diberitakan secara nasional, bukan tingkat kecamatan.
“Kami enggak tahu permainan orang atas. Mana tahu di atas udah enggak masalah, kan?” sindir Arjani.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam