tirto.id - Kebudayaan Yunani Kuno mewariskan kisah tentang sosok dewi terakhir yang terbang ke langit dan menjadi bintang terang. Astra, nama dewi itu, kemudian dipakai oleh William Soeryadjaya bersama sang adik Tjia Kian Tie dan rekannya Lim Peng Hong saat membangun perusahaan ekspor-impor sekarat yang mereka beli di Jalan Sabang No. 36 A, Jakarta. Sebuah toko yang sempit dan sering kebanjiran.
Sebagai bintang terang yang didirikan 20 Februari 1957, Astra kini sudah menjadi perusahaan raksasa dan go public dengan nama PT Astra International Tbk. Hingga 1998, bisnisnya telah memiliki enam pilar utama: otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan, agribisnis, teknologi informasi, infrastruktur dan logistik.
Semangat menjadi bintang terang ini rupanya mendorong Astra ingin juga mencicipi terangnya bisnis properti di Indonesia yang diproyeksikan masih akan terus tumbuh meski sempat mengalami perlambatan. Gongnya dimulai sejak awal 2014, dimulai dengan dibangunnya gedung pencakar langit Menara Astra dan tiga tower apartemen premium di Sudirman senilai Rp8 triliun.
“Kami meluncurkan lini bisnis baru, yaitu bidang properti yang kami sebut dengan Astra Properti, menyusul bisnis infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan dan operator air bersih,” kata Prijono Sugiarto, Presiden Direktur PT Astra International Tbk.
Ia juga menegaskan bahwa pembukaan lini bisnis baru ini dimulai dengan riset mendalam tentang kebutuhan dan perkiraan perkembangan properti di Indonesia dalam beberapa dekade ke depan. Perusahaan ini juga telah menghitung ulang peluang masa depan dari pilar-pilar bisnis mereka yang selama ini menjadi lumbung laba perusahaan.
Sebuah Alasan
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pilar utama bisnis Astra terimbas perlambatan ekonomi yang terutama terjadi pada sektor tambang terkhusus batu bara, perkebunan, hingga industri otomotif. Otomotif, pertambangan, dan jasa keuangan selama ini kontributor terbesar bagi Astra.
Tapi tiga pilar utama ini justru sedang lesu. Sektor pertambangan misalnya sedang hancur-hancuran. Kontribusi sektor ini terhadap ekonomi anjlok sangat dalam. Pada 2013 masih menyumbang 11 persen dari PDB, tahun lalu diperkirakan hanya menyumbang 7 persen.
Bisnis mobil juga sama. Pasar kendaraan roda empat di Indonesia mengalami kelesuan sejak 2014 setelah mengalami puncaknya pada tahun sebelumnya. Pada 2014, pasar turun 1,78 persen, dan terparah adalah tahun lalu saat pasar mobil anjlok 16,12 persen. Kondisi pasar yang lesu juga berimbas pada penjualan mobil Astra, yang penjualan mobilnya tahun lalu menurun 17 persen menjadi 510.000 unit.
Bisnis motor Astra juga terpukul. Penjualan sepeda motor di Indonesia tahun lalu turun 18 persen menjadi hanya 6,5 juta unit. Kondisi ini juga dialami PT Astra Honda Motor (AHM) yang penjualannya turun 12 persen menjadi 4,5 juta unit. Semua ini memengaruhi raihan laba Astra dari bisnis otomotif yang menurun 12 persen menjadi hanya Rp7,5 triliun.
Nasib serupa juga terjadi pada bisnis jasa keuangan yang labanya menurun sebesar 25 persen menjadi Rp3,6 triliun pada 2015. Kinerja PT Federal International Finance (FIF), PT Toyota Astra Financial Services, PT Astra Sedaya Finance, PT Asuransi Astra Buana, dan PT Bank Permata Tbk, ramai-ramai turun.
Laba bisnis alat berat dan pertambangan juga menurun sebesar 28 persen menjadi Rp2,3 triliun. Pukulan terbesar terjadi pada lini agribisnis yang mengalami penurunan 75 persen, termasuk dari PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL), akibat anjloknya harga CPO.
Berbagai penurunan dari berbagai pilar bisnis itu membuat laba keseluruhan Astra turun sebanyak 20 persen menjadi sebesar Rp16 triliun di 2015. Tren penurunan ini sudah terlihat sejak 2013. Tapi pada tahun itu jugalah Astra mulai menyusun kekuatan untuk memulai membangun pilar bisnis properti mereka.
Melihat melemahnya iklim bisnis yang menjadi tumpuan pilar bisnisnya beberapa tahun terakhir, tak berlebihan jika Astra memutuskan masuk ke pasar properti jadi pilihan yang logis dan tepat. Meski demikian, Astra keberatan bila bisnis properti dianggap sebagai sekoci penyelamat dari persoalan melambatnya perahu bisnis Astra.
“[Nggak] ada itu karena pilar bisnis lain lesu, kita kan ada corporate planning, semua peluang kita kaji. Kalau ada yang bilang kita ke properti karena yang lain lesu, seolah hanya jual kacang goreng saja. Intinya ada peluang baru,” kata Head of Public Relations Division PT Astra International Tbk Yulian Warman kepada tirto.id.
Apa yang disampaikan Yulian mungkin ada benarnya, sebab peluang pasar properti memang menjanjikan. Untuk ukuran pemain baru, Astra sudah bisa membusungkan dada. Ketiga tower apartemen Anandamaya di Sudirman, Jakarta, sejauh ini telah terjual 91,35 persen dari 509 unit yang ditawarkan. Padahal proyeknya baru rampung 2018.
Meraih Peluang
Selain pasar yang terus tumbuh, harga properti di Indonesia secara alamiah juga terus merangkak naik. Data Bank Indonesia (BI) mengungkapkan indeks harga properti residensial Indonesia sejak 2014-2016 rata-rata menunjukkan tren positif, pada triwulan I-2014 indeks harga properti masih 173,38 poin, kemudian pada triwulan II-2016 sudah mencapai 193,13 poin.
Indonesia Property Watch (IPW) juga mencatat adanya pemulihan pasar properti sejak pertengahan 2016. Pada triwulan III-2016, nilai penjualan perumahan di Jabodebek-Banten yang menjadi acuan pasar perumahan di Indonesia tumbuh 8,1 persen (qtq) dengan nilai penjualan sebesar Rp1,169 triliun, dan volume penjualan naik 11,8 persen. Melihat angka-angka ini, tak ada alasan Astra untuk tak masuk mencari peluang di properti.
Memasuki bisnis properti pun bukan hal baru bagi perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Sebut saja Grup Djarum yang juga mengembangkan bisnis properti sebagai bagian dari bisnis utama mereka di industri rokok, perbankan, dan industri elektronika.
Grup Djarum memiliki properti di Jakarta seperti WTC Mangga Dua, Margo City Depok, dan masih banyak lainnya. Pendatang baru ini meramaikan pemain pengembang properti papan atas yang sudah lama bercokol seperti Agung Podomoro, Agung Sedayu, Intiland, Modernland, Sinar Mas Land, dan lainnya.
“Kalau kita liat, tren di luar negeri, kalau perusahaan sudah mapan, ujung-ujungnya main ke properti. Ini bagian dari diversifikasi bisnis,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda kepada tirto.id.
Sebagai perusahaan besar, Astra memang sudah pantas punya bisnis properti. Potensi Astra menggarap pasar properti sangat ditopang sumber dayanya yang kuat. Astra saat ini memiliki 202 anak perusahaan yang mempekerjakan 212.682 karyawan. Jumlah ini tentu jadi pasar yang pasti bagi bisnis properti mereka.
“Karyawan Astra banyak, captive market-nya banyak untuk jualan properti, daripada ke orang lain yang mengambil,” tambah Ali.
Namun sebagai pendatang baru, Astra mengambil strategi berkolaborasi dengan merangkul pengembang senior yang sudah punya banyak jam terbang. PT Astra Land Indonesia (ALI) membentuk perusahaan patungan dengan PT Mitra Sindo Makmur, anak perusahaan PT Modernland Realty Tbk, untuk mengakuisisi dan mengembangkan kawasan seluas 70 hektar di Jakarta Timur.
Astra memang sudah memulai babak baru dengan menyusun pilar bisnis baru mereka di bidang properti. Perusahaan ini mencoba membuktikan segala perubahan harus disikapi dengan langkah-langkah dan pembacaan peluang dengan baik, termasuk saat menghadapi kondisi bisnis yang sedang lesu.
Langkah ini mengingatkan pada kisah William Soeryadjaya, pendiri Astra yang menyematkan nama “International” untuk sebuah perusahaan mungil yang kantornya sering kebanjiran, 60 tahun lalu. Ia menjadi bukti bahwa pebisnis haruslah visioner, dan kini Astra telah menemukannya di bisnis properti yang mulai dibangunnya.