tirto.id - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menilai Presiden Joko Widodo perlu bersikap atas pemberhentian 56 pegawai KPK yang tidak lolos peralihan menjadi ASN. Hal tersebut selaras dengan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) merupakan kewenangan pemerintah, bukan KPK.
Pada 15 September 2021, pimpinan KPK mengumumkan bahwa 56 pegawai tersebut akan berakhir bertugas di KPK pada 30 September 2021.
"Pemberhentian itu tidak didasarkan kewenangan. Kewenangan itu ada di presiden. Presiden masih punya waktu sampai 2 tahun setelah disahkan uu 19/2019 yaitu berakhirnya bulan Oktober," ujar Zaenur kepada Tirto, Jumat (24/9/2021).
Menurut Zaenur, Jokowi juga mesti ambil sikap atas rekomendasi yang telah diberikan Ombudsman RI. Temuan ORI menyatakan TWK KPK memiliki sejumlah pelanggaran yakni pelanggaran malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK, salah satunya soal tanggal mundur (backdate) kontrak dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
"Dalam Pasal 38 ayat 1 UU ORI, rekomendasi itu wajib dilaksanakan oleh lembaga yang diberikan rekomendasi," tukas Zaenur.
ORI telah mengirim rekomendasi tersebut ke presiden dan DPR sejak 16 September 2021. Artinya presiden memiliki waktu 60 hari sejak saat itu untuk ambil sikap. Jika tidak, presiden telah melanggar UU ORI.
"Surat keputusan [Pimpinan KPK] itu bisa dicabut presiden. Karena MA yang memberikan kewenangan kepada presiden bukan KPK," tandas Zaenus.
KPK memberhentikan 56 pegawai yang tidak memenuhi syarat peralihan menjadi aparatur sipil negara berdasarkan hasil rapat koordinasi antara KPK, KemenPANRB, dan BKN pada 13 September 2021.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan alasan pemberhentian 56 pegawai lebih cepat sesuai dengan mandat UU KPK yang diundangkan pada 17 Oktober 2019. Sebelumnya dikabarkan bahwa para pegawai yang tidak menjadi ASN akan berakhir masa tugasnya pada 1 November 2021.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan