Menuju konten utama

Profil Heru Widodo: Ahli 01 dan Sejarah Kemenangan di Sidang MK

Heru Widodo pernah menorehkan sejarah gemilang dalam karier hukumnya, yakni memenangkan uji materiil di Sidang MK pada 2017.

Profil Heru Widodo: Ahli 01 dan Sejarah Kemenangan di Sidang MK
Saksi ahli tim kuasa hukum 01 selaku pihak terkait, Edward Omar Syarief Hiariej (kiri) dan Heru Widodo (kanan), dalam Sidang MK terkait gugatan sengketa Pilpres 2019 di Gedung MK, Jakarta, Jumat (21/6/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Tim kuasa hukum paslon nomor 01 Jokowi-Ma’ruf menghadirkan Heru Widodo sebagai ahli dalam sidang sengketa gugatan Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sejarah karier Heru Widodo menunjukkan, ia pernah memenangkan gugatan uji materiil di Sidang MK.

Heru Widodo memperoleh gelar doktor di bidang hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung berkat disertasinya berjudul “Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada: Evaluasi Terhadap Prosedur Beracara di Mahkamah Konstitusi Indonesia 2008-2014” yang juga mengupas tentang pelanggaran TSM yang terjadi dalam pemilu daerah.

Sebelum menempuh studi di Universitas Padjajaran, pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 1 November 1971, ini terlebih dulu menuntaskan pendidikan SI dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Selain mengajar di Pascasarjana Universitas Islam As-Syafiiyah (UIA), Heru Widodo juga berprofesi sebagai pengacara dengan mendirikan Heru Widodo Firma Law Office. Beberapa kasus sengketa pilkada pernah ia tangani.

Pernah Menang di MK

Heru Widodo pernah menang di Sidang MK saat menjadi kuasa hukum Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie, dalam gugatan uji materiil salah satu poin sebagai syarat calon dalam Undang-Undang Pilkada Gubernur pada 2017.

Dalam permohonannya, Rusli Habibie merasa keberatan dengan klausul bahwa mantan terpidana tidak boleh dilantik (sebagai gubernur terpilih), namun tidak memberikan batasan kasus atau lama hukuman.

“Apabila ancaman pidana di bawah 5 tahun penjara boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Ini sinkron dengan aturan lain seperti UU Pemilu, syarat menjadi anggota MK, BPK, MA. Semua syaratnya tidak pernah menjadi terpidana yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara,” kata Heru usai memenangkan gugatan di MK, dikutip dari HukumOnline (21 Juli 2017).

Heru menambahkan, “Demikian pula tentang status kepala daerah terpilih yang menjadi terdakwa. MK memberikan tafsir terdakwa dapat diberhentikan sementara hanya yang ancaman pidananya 5 tahun atau lebih.”

“Ini penting untuk mencegah tindakan politicking lawan politik yang kalah dalam kontestasi untuk menelikung calon yang menang dengan menterdakwakan hanya dengan pasal-pasal pidana ringan," sambungnya.

Ada beberapa sengketa Pilkada 2017 lainnya yang juga ditangani Heru Widodo sebagai kuasa hukum dari pihak terkait, antara lain mendampingi Bupati Banggai Kepulauan, Bupati Sarolangun, Bupati Tolikara, Wali Kota Yogyakarta, serta Gubernur Sulawesi Barat.

Signifikansi Sengketa Pilpres

Dalam lanjutan Sidang MK terkait gugatan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga (paslon nomor urut 02) sebagai pihak pemohon, Heru Widodo bersama Eddy Hiariej ditunjuk menjadi saksi ahli untuk paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf selaku pihak terkait.

Di persidangan, Heru memaparkan bahwa ukuran signifikansi pelanggaran merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi penetapan hasil sengketa pemilu di MK. Menurutnya, kata “signifikan” hanya berdasarkan pada frasa yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 473 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Pasal tersebut, imbuh Heru, salah satunya menjelaskan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional, meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.

“Dari frasa (signifikan) tersebut ada tiga kategori. Pertama, signifikan apabila pelanggaran terjadi di tempat pemohon kalah. Jika sebaliknya dikatakan tidak signifikan,” papar Heru di Sidang MK, Jumat (21/06/2019).

Yang kedua, Heru melanjutkan, sengketa menjadi signifikan jika dilakukan pemulihan dan hasilnya akan mengubah hasil perolehan suara peserta pemilu. Pelanggaran juga dapat dikatakan signifikan apabila kondisi penegakan hukum tidak bekerja dan penyelenggara tidak menghormati putusan lembaga penegak hukum.

Ketiga, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan pemilu telah mengatur mengenai sistem penegakan keadilan pemilu, mulai dari proses hingga hasil, untuk diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan MK.

Heru menyatakan, jika masalah pelanggaran yang dimohonkan ternyata tidak memenuhi unsur signifikan seperti yang diatur dalam UU tersebut, maka MK tidak seharusnya menyelesaikan sengketa itu.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Hukum
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz