Menuju konten utama

Sejarah Hidup Marsudi Wahyu Kisworo & Jurus Tai Chi Saksi Ahli KPU

Sejarah hidup Profesor Marsudi Wahyu Kisworo penuh dengan canda, dan sebagai saksi ahli KPU, ia berhasil mencairkan ketegangan di Sidang MK.

Sejarah Hidup Marsudi Wahyu Kisworo & Jurus Tai Chi Saksi Ahli KPU
Saksi Ahli dari KPU, Marsudi Wahyu Kisworo (berdiri), dalam sidang sengketa gugatan Pilpres 2019 di gedung Mahkamah Konstitusi, (MK) Jakarta, Kamis (20/6/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Sidang gugatan sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (20/6/2019), berlangsung cair berkat Prof. Dr. Ir. Marsudi Wahyu Kisworo. Bak master tai chi, saksi ahli Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini dengan lihai dan tenang menangkis serangan dari tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga. Siapakah Marsudi dan bagaimana rekam sejarah hidupnya?

Selama sekitar dua jam, Marsudi menjadi penampil utama di Sidang MK. Ia nyaris selalu berdiri karena tak berhenti memberikan keterangan kepada majelis hakim maupun menjawab pertanyaan dari pemohon, termohon, juga pihak terkait. Sampai-sampai, Hakim MK memintanya untuk duduk sejenak. Marsudi pun menjawab:

"Saya [berusia] 60 tahun, tapi masih fit karena tai chi," ujarnya sembari memperagakan jurus laiknya pendekar. Seisi sidang pecah dengan tawa akibat tingkah lucu sang saksi ahli.

Tim kuasa hukum BPN mewakili pemohon melontarkan serangan bertubi-tubi terkait indikasi kecurangan yang dituduhkan terhadap KPU dalam penghitungan suara Pilpres 2019. Marsudi, lagi-lagi dengan gaya tai chi-nya yang sering memancing geli, selalu mampu menangkisnya.

Gaya Humor Sang Profesor

Untuk mengenal dan mengetahui riwayat Marsudi Wahyu Kisworo, cukup buka konten “tentang saya” di blog pribadinya. Di situ, dengan gaya ringan dan terkadang kocak, pria kelahiran 29 Oktober 1958 di Kediri, Jawa Timur, ini memaparkan sejarah hidup dan kariernya, dari lahir hingga kini.

“Tapi jangan ditanya soal Kediri, karena kedua orang tua saya ketika saya berumur 3 tahun pindah ke Ponorogo,” kelakar Marsudi dalam tulisan di blog-nya.

Lulus SD di Ponorogo, Marsudi kemudian melanjutkan pendidikan ke Madiun hingga tamat SMA. Tahun 1978, ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Elektro dengan spesialisasi Teknik dan Sistem Komputer. Semasa kuliah, ia bekerja sambilan, jualan komputer mini.

Marsudi tamat S1 di ITB pada 1983, lalu bekerja di Jakarta sambil mengajar di beberapa perguruan tinggi. Dua tahun berselang, ia melepas masa lajang.

“Saya menikah tahun 1985 dengan istri saya yang masih sama sampai sekarang yaitu Taty Adiyanty,” tulisnya dengan gaya humor.

Tahun 1989, Marsudi menempuh S2 di Curtin University of Technology, Perth, Australia, berkat beasiswa dari Australian International Development Assistance (AIDAB). Hanya butuh setahun saja baginya untuk menuntaskan studinya ini, kemudian lanjut ke S3. Marsudi akhirnya meraih gelar master di bidang Teknologi Informasi (TI) pada Oktober 1992.

Pulang ke tanah air setelah beberapa tahun menimba ilmu di benua kanguru, Marsudi kembali ke STMIK Bina Nusantara, tempatnya mengajar dulu, sebagai Direktur Penelitian dan Direktur Program Pasca Sarjana.

“Selain itu, [saya] ikut juga dalam euforia lulusan doktor luar negeri yang merasa sok pintar bikin perusahaan konsultan TI, di samping mengajar di Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,” sebutnya.

Master Perintis Paramadina

Marsudi terpilih menjadi Ketua STMIK Darma Bakti pada 1995. Tiga tahun kemudian, ia diajak Nurcholish Madjid alias Cak Nur dan beberapa orang alumni Islamic Network (ISNET) mendirikan Universitas Paramadina dengan menggandeng Yayasan Pondok Mulya (YPM).

Situasi pada 1998 itu sebenarnya sedang tidak kondusif karena krisis moneter dan gejolak politik sedang melanda tanah air. Namun, dengan tekad yang kuat dan niat baik, Cak Nur, Marsudi, dan kawan-kawan lainnya tetap beritikad mewujudkan berdirinya Paramadina di tengah masa sulit.

Awalnya, perguruan tinggi yang masih bernama Universitas Paramadina-Mulya (UPM) itu belum punya gedung sendiri. Sambil menunggu pembangunan kampus yang berlokasi di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, di lahan seluas 4,5 hektare, kegiatan perkuliahan diselenggarakan dengan menyewa tempat di Kompleks Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan.

“Waktu itu kita diberi sewa murah sekali karena memang lagi krisis dan gedung itu kosong,” kenang Marsudi dikutip dari buku Ahmad Gaus A. F. berjudul Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (2010).

Selanjutnya, pada 2002, Marsudi diangkat sebagai guru besar dalam bidang TI oleh pemerintah dalam usia 44 tahun. “Konon, waktu itu saya adalah profesor pertama dalam bidang ini,” tulisnya.

Ketika Cak Nur maju sebagai capres jelang Pemilu 2004, namun kemudian jatuh sakit hingga meninggal dunia pada 29 Agustus 2005, Marsudi mengisi posisi sebagai Pelaksana Harian Rektor Universitas Paramadina.

Tahun 2005, Marsudi bergabung dengan perguruan tinggi internasional Swiss German University (SGU) di Serpong, Tangerang. Ia menjabat Pro-Rector for Academic Affairs merangkap dekan di Faculty of Information and Communication Technology, juga pengganti dekan di Faculty of Business hingga 2010.

Selain itu, seperti diungkap dalam buku Melesat atau Kandas? New Indonesia (2016) karya Cahyana Ahmadjayadi, Marsudi juga tercatat sebagai Pembina Ikatan Ahli Informatika Indonesia dan Rektor Perbanas Institute Jakarta.

Marsudi aktif pula di berbagai kegiatan lain, termasuk menjadi Ketua Dewan Ahli Perhimpunan Persahabatan Antarbangsa Indonesia Cina, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer, Ketua Umum Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia, serta Ketua Umum Yayasan Pelaut Binasena.

“Oh ya, soal yang dua terakhir ini memang aneh karena saya bukan orang laut. Karena posisi itulah saya yang menjadi penandatangan sertifikat internasional keterampilan dan keahlian para pelaut kita. Jangan tanya kenapa ya,” tulis Marsudi kocak di blog-nya.

Di Sidang MK terkait gugatan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan kubu Prabowo-Sandiaga, KPU mempercayakan posisi saksi ahli kepada Marsudi. Mengenai tudingan kecurangan yang ditujukan kepada KPU, Marsudi mampu menjawab dengan mantap dan terbilang sukses mencairkan ketegangan di persidangan berkat nalar humorisnya.

Bahkan, sebelum meninggalkan ruang sidang, Marsudi yang merasa sudah panjang lebar berbicara di depan majelis mengaturkan permohonan maaf, namun tetap dengan menyelipkan kelucuan.

"Maaf kalau saya menggurui karena memang saya guru. Kalau saya enggak menggurui, berarti saya enggak bisa kerja," seloroh Marsudi menutup panggungnya di Sidang MK.

Baca juga artikel terkait SEJARAH POLITIK atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Hukum
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz