Menuju konten utama

Pro Kontra APBN untuk Bangun Kembali Ponpes Al-Khoziny

Jika APBN digunakan untuk menalangi kelalaian, pesan yang sampai ke publik bukan “negara peduli”, melainkan “negara permisif”.

Pro Kontra APBN untuk Bangun Kembali Ponpes Al-Khoziny
Foto udara bangunan musala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nz

tirto.id - Usai sembilan hari melakukan operasi tanpa henti, Selasa (7/10/2025), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan alias Basarnas resmi menghentikan pencarian dan evakuasi jenazah korban runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur.

Dengan demikian, total korban akibat tragedi itu mencapai 171 orang, dengan 104 orang dinyatakan selamat sementara 67 lainnya meninggal dunia. Korban meninggal tersebut termasuk bagian tubuh yang tidak lengkap, yang kini masih proses identifikasi oleh pihak Disaster Victim Identification (DVI).

Perlu digarisbawahi, apa yang terjadi di Al Khoziny bukan sekadar “peristiwa”, melainkan “tragedi” yang memakan banyak korban dan memiliki dampak emosional yang sangat signifikan. Tapi, alih-alih diminta bertanggung jawab, pihak ponpes kabarnya justru akan dibantu negara.

Pemerintah lewat Kementerian Pekerjaan Umum (PU) belum lama ini menyampaikan pihaknya tidak hanya akan melakukan revitalisasi Ponpes Al Khoziny, namun melakukan pembangunan ulang terhadap bangunan ponpes tersebut. Upaya itu dinilai lebih terjangkau ketimbang melakukan tambal sulam.

Bukan berarti pakai dana pemerintah, uang yang dipakai untuk membangun kembali Al Khoziny merupakan uang rakyat. Menteri PU Dody Hanggodo menjelaskan, anggaran yang digunakan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi tidak menutup kemungkinan apabila ada bantuan dari pihak swasta.

“Kalau soal anggaran, InsyaAllah cukup lah, InsyaAllah cuman dari APBN. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga ada bantuan dari swasta. Cuma, sementara waktu dari APBN,” ujarnya, dilaporkan Antara, Selasa (7/10/2025).

Dody bilang, semestinya anggaran pondok pesantren masuk ke Kementerian Agama, namun, karena musibah ini merupakan “kondisi darurat”, maka kementeriannya bakal ikut andil. Masalahnya, keputusan pemerintah ini diambil sebelum adanya kepastian hukum terkait pihak yang mesti bertanggung jawab dalam kasus ambruknya Ponpes Al Khoziny.

Polda Jawa Timur sendiri kini masih dalam proses pemeriksaan dan telah memeriksa 17 saksi terkait penyelidikan kasus robohnya pesantren tersebut. Kapolda Jawa Timur, Irjen Nanang Avianto, mengatakan pemeriksaan belasan saksi dilakukan untuk mendalami penyebab kegagalan konstruksi bangunan musala asrama putra yang ambruk.

“Kami sudah memeriksa sekitar 17 saksi dan jumlah itu masih bisa bertambah. Pemeriksaan lanjutan akan melibatkan pihak yang bertanggung jawab dalam pembangunan serta sejumlah ahli,” kata Nanang di Surabaya, Rabu (8/10/2025) malam, dilansir dari Antara.

Nanang menjelaskan pihaknya juga membentuk tim yang terdiri dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim. Tim tersebut segera melakukan perkara guna meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan.

Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan indikasi kuat adanya kelalaian dalam proses pembangunan dan pengawasan struktur bangunan. Serupa, sebelumnya peneliti teknik sipil juga mengungkap adanya kemungkinan kegagalan dari sistem pondasi akibat beban berlebih (overloading condition) atau kegagalan sistem penopang (shoring system).

Kesalahan Berpikir dan Upaya Mencederai Keadilan

Menyoal wacana pemerintah menggelontorkan APBN untuk pembangunan kembali Ponpes Al Khoziny, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Roy Murtadho, menilai langkah terlalu terburu-buru jika benar-benar dilakukan.

Sebab, sebelum mengambil keputusan itu, alangkah baiknya hal yang harus didahulukan yakni menyelesaikan penyelidikan atas runtuhnya musala pesantren. Dengan begitu, maka bisa diputuskan siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

“Karena bagaimanapun setiap ada peristiwa, apalagi tragedi, mau nggak mau harus ada yang bertanggung jawab. Kita bisa mengatakan bahwa tidak ada penyebab atas peristiwa atau tragedi tersebut. Jadi, suka tidak suka, memang harus ada yg tanggung jawab. Kalau tidak, seolah-olah tragedi runtuhnya musala itu cipratan dari Tuhan atau skenario Tuhan,” ujar Roy saat dihubungi Tirto, Kamis (9/10/2025).

Pernyataan itu sebelumnya memang sempat dilontarkan Pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny, KH Abdus Salam Mujib saat meminta maaf kepada keluarga wali santri usai bangunan musala ambruk pada Senin (29/9/2025) sore. Ia menyebut apa yang terjadi adalah takdir dari Allah.

Meski Roy percaya bahwa tak ada kiai yang dengan sengaja mau mencelakai murid-murid atau santri-santrinya, ia meyakini adanya unsur tak berhati-hati atau sembrono, entah dari pekerja proyek pembangunan ponpes maupun pengelola pesantren. Maka hal itulah yang harus dilacak dan diputuskan secara hukum.

“Kalau kita cek, jangan-jangan karena kesembronoan atau kekurang hati-hatian. Terus terang sebagai seorang santri yang dibesarkan oleh pesantren, perasaan saya campur aduk, antara sedih dan kecewa,” kata tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.

Jika tak dibuktikan siapa yang salah dan malah tiba-tiba mau dibantu dengan APBN, menurut Roy, kasus ambruknya ponpes Al Khoziny ini justru sama sekali tak memberikan pelajaran. Publik malah akan punya persepsi, pihak yang bersalah tidak hanya tak diberi sanksi atas kesalahannya, tapi justru dibantu oleh negara.

“Bahwa nanti pemerintah akan punya komitmen untuk bantu pembangunan pesantren, ya itu bagus. Tapi nggak tiba-tiba karena ada kasus seperti ini terus mau gelontorkan dana APBN untuk bantu pembangunan,” ujarnya.

Roy bahkan mengibaratkan langkah pemerintah menggunakan APBN dengan seorang pengendara mobil yang melanggar lalu lintas yang kemudian menabrak seorang pejalan kaki.

Alih-alih pelaku penabrakan dihukum atas kesembronoan dan ketidak hati-hatiannya, justru penabrak dikasih mobil baru.

“Ini kan kesalahan berpikir dan mencederai keadilan. Terus terang ini tidak enak disampaikan. Tapi kita juga sepakat nggak boleh ada impunitas. Sekali lagi, meski kita yakin bahwa tidak mungkin kiai, atau para ustad pengelola pesantren dengan sengaja mau mencelakai santrinya, ini murni kecerobohan,” tegas Roy.

APBN Bukan Dompet Empati

APBN bukan dana sosial yang bisa digunakan hanya karena rasa kasihan. Ia adalah amanah konstitusi, diatur oleh Pasal 23 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan landasan dan prinsip itu, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, berpendapat setiap penggunaan APBN harus memenuhi asas efisiensi, keadilan, dan keterbukaan.

“Menggunakan APBN tanpa audit penyebab bisa menjadi preseden berbahaya—seolah semua kesalahan bisa dimaafkan dengan uang negara. Padahal fungsi APBN adalah menjaga disiplin fiskal dan mendorong tata kelola yang benar,” kata Achmad kepada jurnalis Tirto, Kamis (9/10/2025).

Pesantren memang berperan besar dalam pendidikan dan sosial, tetapi secara hukum tetap lembaga privat. Oleh karenanya bantuan negara sah diberikan bila tujuannya untuk kepentingan publik, seperti peningkatan mutu pendidikan, sanitasi, atau digitalisasi.

“Namun untuk pembangunan fisik akibat kelalaian internal, logika fiskalnya berbeda. Pemerintah harus memastikan batas yang jelas antara solidaritas publik dan penyelamatan lembaga privat,” lanjut Achmad.

Ia menilai alasan ‘darurat’ yang dipakai pemerintah tidak boleh jadi dalih untuk melangkahi prosedur. Jika pihak pesantren belum mempertanggungjawabkan dana atau belum diaudit, penggunaan APBN justru berpotensi melanggar asas kehati-hatian dan menimbulkan moral hazard institusional. Dengan kata lain lembaga lain bisa merasa aman berbuat lalai karena yakin akan diselamatkan negara.

Penutupan operasi SAR mushalla ambruk di Ponpes Al Khoziny

Anggota Basarnas membacakan doa untuk korban bangunan mushala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/10/2025). Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas), Marsekal Madya TNI Muhammad Syafie, secara resmi menyatakan operasi SAR di lokasi runtuhnya bangunan mushalla ditutup pada Selasa, 7 Oktober 2025 setelah sembilan hari penuh operasi tanpa henti dengan total 171 korban berhasil dievakuasi, terdiri dari 104 korban selamat dan 67 korban meninggal dunia. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nz

Negara tetap perlu hadir, namun dengan tahapan yang disiplin. Achmad mendorong beberapa hal, pertama menangani korban dan kebutuhan darurat santri sebagai kewajiban moral.

Kedua, melakukan investigasi menyeluruh atas penyebab keruntuhan. Dan ketiga yakni menggunakan APBN hanya setelah kesalahan dan tanggung jawab jelas.

“Langkah seperti ini meneguhkan integritas negara, membantu tanpa menutup mata atas kelalaian. Empati tidak boleh menggantikan penegakan aturan,” ujar Achmad.

Pemerintah seharusnya membangun kepercayaan publik dengan menunjukkan bahwa setiap bantuan disertai pembenahan sistemik, bukan sekadar reaksi politis atas tragedi.

Achmad menekankan bahwa jika APBN digunakan untuk menalangi kelalaian, pesan yang sampai ke publik bukan “negara peduli”, melainkan “negara permisif”.

Padahal, setiap rupiah APBN yang keluar untuk menutupi kelalaian berarti mengurangi porsi belanja yang lebih produktif—gizi anak, subsidi pendidikan, atau kesehatan masyarakat.

“Inilah sebabnya kebijakan fiskal harus berbasis aturan (rule-based), bukan emosi. Empati penting, tapi empati yang taat prosedur akan melahirkan keadilan yang berkelanjutan,” kata Achmad.

Negara harus hadir dalam duka rakyat, namun kehadiran itu harus rasional dan bertanggung jawab. Empati sosial tak boleh menenggelamkan akuntabilitas publik.

“APBN boleh digunakan untuk pesantren, sekolah, atau rumah ibadah bila memenuhi asas transparansi dan keadilan. Tetapi bila penggunaannya berpotensi menutupi kelalaian, maka pemerintah wajib menunda hingga investigasi tuntas,” tegas Achmad.

Tugas negara bukan hanya memperbaiki gedung yang runtuh, tetapi mencegah keruntuhan berikutnya—baik secara fisik maupun moral. Itu menjadi wujud nyata kebijakan publik yang bijak, yakni empati yang tertib, bukan solidaritas yang serampangan.

Baca juga artikel terkait PONPES AMBRUK atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto