tirto.id - Insiden ambruknya bangunan asrama putra Pondok Pesantren Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025) meninggalkan duka mendalam dan masih terus menjadi perhatian. Bagaimana tidak, korban meninggal dan luka-luka akibat kejadian itu mencapai ratusan dan mereka adalah anak-anak yang sedang mengemban ilmu.
Ketika peristiwa terjadi, para santri tengah melangsungkan salat Asar berjamaah di lantai dua yang difungsikan sebagai musala. Sebelum akhirnya roboh dan menimpa santri, gedung itu diketahui sempat bergoyang. Kemudian saat santri masuk rakaat salat kedua, bagian ujung musala ambruk dan merembet ke bagian lain gedung.
Di tengah proses evakuasi yang masih berlangsung, laporan korban meninggal yang tadinya satu orang, per Rabu (1/10/2025) jumlahnya bertambah menjadi lima orang. Secara total, jumlah korban luka berat hingga ringan akibat reruntuhan sedikitnya mencapai 100 orang, sementara 59 orang lainnya masih terjebak dalam reruntuhan.
Pengasuh pesantren, Abdul Salam Mujib, yang sewaktu kejadian tak berada di lokasi, mengatakan bahwa bangunan tiga lantai yang ambruk itu memang masih dalam tahap renovasi. Sejak pagi hingga pukul 12.00 WIB di hari itu, atap lantai tiga yang ambruk baru saja dicor.
"Proses pengecoran dari pagi, siang sudah selesai," kata Salam kepada awak media di lokasi kejadian, Senin (29/9/2025). Rencananya, lantai pertama bangunan difungsikan sebagai tempat ibadah, sementara lantai dua dan tiga akan dijadikan balai pertemuan.
Proses renovasi gedung disebut Salam sudah berjalan sejak beberapa bulan lalu dan bangunan yang ambruk ini merupakan tahapan akhir dari seluruh proses renovasi ponpes. Ia menduga, struktur bangunan tidak kuat menopang beban setelah pengecoran, oleh karenanya terjadi musibah ambruknya bangunan.
Menteri Agama, Nasaruddin Umar, pun sontak mengambil langkah merespons peristiwa ini. Sehari usai kejadian, ia bertandang ke lokasi dan menyalurkan bantuan sebesar Rp610 juta untuk penanganan dan menyiapkan upaya agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
“Musibah yang terjadi sore kemarin, selain berdoa, kita juga memberi bantuan yang segera diperlukan dalam rangka menyelamatkan keadaan yang ada di sini supaya kondisinya menjadi lebih baik,” ujar Nasaruddin, seperti dilaporkan Tirto, Rabu (1/10/2025).
Katanya, Kemenag akan mengambil tindakan untuk meminimalisir potensi terjadinya kembali kejadian serupa. Nasaruddin pun mengaku akan segera menggelar pertemuan dengan para pihak terkait, seperti para ahli di bidang Pembangunan. Hal ini dinilai penting untuk merumuskan kebijakan yang bisa dijadikan panduan saat akan membangun gedung atau lainnya.
Kegagalan Sistem Pondasi atau Penopang?
Penyebab utama ambruknya gedung ponpes masih menyisakan tanya bagi publik. Hal ini tentu harus diusut untuk menghindari insiden berulang.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko IPK), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyatakan pihaknya tengah melakukan investigasi dan menekankan pentingnya kualitas bangunan untuk menjamin keselamatan publik. Sebab, bangunan bukan hanya soal fungsi, tapi juga konstruksi.
“Yang jelas, ini juga menjadi bukti bahwa kualitas bangunan, konstruksi itu penting sekali. Karena bukan hanya kenyamanan atau fungsi, tetapi juga keselamatan yang paling utama,” ujarnya di Kompleks Kementerian Investasi, Rabu (1/10/2025).
Berdasarkan analisis Tim SAR gabungan dan ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), penyebab runtuhnya bangunan adalah kegagalan konstruksi. Jenis keruntuhan yang terjadi adalah “pancake collapse”, kondisi lantai-lantai bangunan runtuh secara vertikal dan bertumpuk satu sama lain. Pola ini menyebabkan terciptanya celah-celah sempit yang sangat menyulitkan proses evakuasi.

Meski belum bisa dipastikan, Andri Setiawan, Peneliti Struktur dari Technical University of Valencia, Spanyol, menjelaskan kemungkinan umum yang menyebabkan kasus seperti itu bisa terjadi.
Pertama yakni ada kegagalan dari sistem pondasi akibat beban berlebih atau overloading condition. Hal itu bisa terjadi lantaran bangunan pesantren pada awalnya dirancang hanya untuk satu atau dua lantai saja, tetapi akhirnya dilakukan penambahan lantai tanpa adanya kajian ulang terhadap desain awal gedung.
Kemungkinan lainnya yakni kegagalan sistem penopang (shoring system), yang berfungsi untuk menahan berat beton cair saat proses pengecoran. Andri bilang, beban yang berlebih dapat mengakibatkan sistem penopang tersebut patah di salah satu titik kritis, yang kemudian menimbulkan kegagalan penopang lain di sekitarnya.
“Jika sistem penopang ini gagal, beton basah yang notabene belum punya kapasitas untuk menahan beratnya sendiri akan runtuh dan menimpa lantai di bawahnya, sehingga memicu kegagalan beruntun atau efek domino,” terang Andri kepada jurnalis Tirto, Rabu (1/10/2025).
Kesalahan perhitungan, di mana elemen-elemen struktur seperti balok, kolom, dan pelat dirancang dengan dimensi penampang yang terlalu kecil sehingga tidak mampu menahan beban rencana, juga sangat mungkin menjadi persoalan.
“Selain itu, dapat juga terjadi kesalahan dalam pelaksanaan di lapangan yang menyebabkan penurunan mutu beton dari spesifikasi awal. Hal ini dapat menimbulkan kegagalan material secara prematur,” tutur Andri.
Bagaimana aturan standar struktur bangunan seperti ponpes?
Andri menambahkan, bangunan publik seperti pesantren seharusnya dirancang dengan standar SNI 2847:2019 terkait persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung; SNI 1727:2020 terkait beban desain minimum dan kriteria terkait untuk bangunan gedung dan struktur lain; serta SNI 1726:2019 terkait tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung.“Terkhusus, karena gedung pesantren umumnya bisa diklasifikasikan sebagai bangunan pendidikan seperti sekolah, yang dapat dialihfungsikan sebagai shelter ketika terjadi bencana, fasilitas semacam ini seharusnya dirancang dengan faktor kepentingan yang lebih tinggi daripada bangunan kantor atau rumah tinggal pada umumnya,” terang Andri.
Mengacu ke dokumen SNI 1726:2019 untuk perhitungan beban gempa, gedung pesantren dikategorikan sebagai Kategori Risiko IV (infrastruktur penting) yang harus dapat berfungsi kembali sesegera mungkin pascabencana sebagai lokasi penyaluran bantuan. Mengingat fungsi tersebut, kejadian ini tentu sangat disayangkan karena bangunan yang seharusnya menjadi penyangga nyawa justru menimbulkan bencana.

Di saat izin mendirikan bangunan (IMB) dianggap menjadi faktor penting untuk mencegah kasus seperti ini, gedung Ponpes Al Khoziny justru diduga tidak mengantongi IMB, alias berdiri tanpa dokumen resmi. Meski, perlu digarisbawahi, IMB tak kemudian menjamin sebuah gedung aman.
Itu mengapa dalam penerbitan izin, perlu dilakukan proses peer review secara menyeluruh dan detail oleh pihak ahli. Proses ini dilakukan untuk memastikan bahwa bangunan tersebut sudah dirancang dengan kaidah dan asumsi yang benar dan sesuai dengan peraturan gedung yang berlaku.
“Selain itu, pengawasan lapangan juga merupakan faktor yang sangat penting untuk memastikan bahwa proses konstruksi dan spesifikasi material yang digunakan di lapangan benar-benar sesuai dengan apa yang tercantum pada dokumen perhitungan yang disetujui pada tahap perizinan,” tutur Andri.
Urgensi Sosialisasi Peraturan Rancang Terkini
Pelajaran utama dari kasus runtuhnya ponpes ini untuk dunia ketekniksipilan adalah perlunya pengawasan dari pihak berwenang terkait pemberian izin gedung. Poin terpenting adalah memastikan bahwa izin tersebut benar-benar diberikan setelah melewati tahap penilaian dan pengawasan yang komprehensif dan transparan.
Andri yang fokus dengan dunia struktur bangunan, menyoroti soal masih adanya disparitas informasi. Dia mengatakan hanya perancang-perancang di kota besar yang memiliki akses dan tahu dalam menggunakan peraturan rancang terkini. Berkaca dari masalah itu, sosialisasi yang menyeluruh terkait peraturan rancang terkini menjadi mendesak.
“Perancang bangunan di daerah-daerah lainnya masih mengalami keterbelakangan informasi. Hal ini perlu dijembatani baik oleh pemerintah, universitas, maupun pihak ahli bangunan sehingga penyetaraan informasi di seluruh wilayah Indonesia dapat tercapai,” terang Andri.

Kejadian ini tentu menjadi alarm pentingnya memperhatikan standar kelayakan bangunan yang mengedepankan keselamatan anak, serta mitigasi risiko yang dapat mengancam keselamatan anak. Sebab, merancang bangunan fasilitas pendidikan aman bukan hanya berdampak positif terhadap fungsi bangunan, tapi juga menyelamatkan anak-anak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, mendorong semua pihak dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing untuk fokus pada penanganan, khususnya evaluasi korban.
“Pihak Pesantren harus kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya untuk penanganan; mulai pendampingan hingga pemulihan. Amanah UU Perlindungan Anak, penanganan kasus anak harus cepat, dalam pengobatan, pendampingan psikososial, bantuan sosial hingga pemulihan secara komprehensif,” tutur Aris saat dihubungi Tirto, Kamis (2/10/2025).
Regulasi sudah diatur jelas terkait kelayakan bangunan dan keselamatan anak. Maka catatannya terletak pada implementasi dan kepatuhan yang masih perlu dioptimalkan, termasuk memaksimalkan pengawasan.
“Kami berharap ke depan satuan pendidikan, tidak hanya Pesantren memperhatikan standar kelayakan bangunan yang mengedepankan keselamatan anak, serta dilakukan uji kelayakan, monitoring dan evaluasi berkala,” tutup Aris.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































