tirto.id - Kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terkait pendidikan tinggi tak lolos dari kritik. Kebijakan yang menurut Mendikbud Nadiem Makarim dapat "melepaskan belenggu kampus agar lebih mudah bergerak" ini, misalnya, dicap memperkuat komersialisasi pendidikan.
Kebijakan yang diberi nama Merdeka Belajar: Kampus Merdeka ini mengubah empat hal.
Pertama, kampus punya otonomi membuka program studi baru. Syaratnya, perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta (PTN dan PTS) itu harus memiliki akreditasi A dan B. Sebelum peraturan ini berlaku, yang boleh membuka program studi baru hanya yang sudah berbadan hukum (perguruan tinggi negeri badan hukum/PTN BH)--jumlahnya 11, per April tahun lalu.
Syarat tambahan: program studi tersebut baru dapat dibentuk jika kampus telah menjalin kerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas peringkat top 100 QS dan bukan di bidang kesehatan dan pendidikan.
Perubahan kedua diberlakukan dalam proses akreditasi. Lewat Kampus Merdeka, akreditasi "bersifat otomatis." Sementara saat ini, akreditasi wajib dilakukan setiap lima tahun sekali.
Ketiga, Nadiem akan mempermudah PTN Badan Layanan Umum (BLU) untuk menjadi PTN BH. Hingga saat ini, yang dapat menjadi PTN BH hanya perguruan tinggi berakreditasi A.
Poin keempat terkait sistem kredit semester (SKS). Poin ini berupaya untuk mengubah "definisi SKS," kata Nadiem, yang tidak lagi diartikan sebagai "jam belajar," tapi "jam kegiatan."
Dengan sistem baru ini mahasiswa berhak mengambil mata kuliah di luar program studi sebanyak dua semester atau setara 40 SKS. Karena bentuknya kini jadi 'jam kegiatan', SKS di sini maknanya lebih luas: ia tak hanya berbentuk belajar di kelas, tapi juga termasuk "magang, pertukaran pelajar, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil".
"Setiap kegiatan yang dipilih mahasiswa harus dibimbing oleh seorang dosen yang ditentukan kampusnya," kata Nadiem.
Pro Pasar Bebas
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kebijakan Nadiem sangat berorientasi pasar bebas, terutama poin ketiga, yaitu mempermudah suatu kampus jadi PTN BH.
Kepada reporter Tirto, Sabtu (25/1/2020), Ubaid mengatakan PTN BH itu sendiri adalah bentuk komersialisasi pendidikan tinggi yang "mengeksklusi anak-anak dari kalangan tidak mampu." Mempermudah kampus berbadan hukum dianggap sama saja memperluas praktik komersialisasi pendidikan.
Pernyataan Ubaid selaras dengan tulisan Darmaningtyas dkk dalam buku Melawan Liberalisasi Pendidikan(2013). Di sana dijelaskan PTN BH--yang muncul pertama kali pascareformasi--pada dasarnya melepaskan tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan bagi warganya. Kampus-kampus PTN BH perlahan dicabut subsidinya oleh negara.
Kampus, dengan dalil otonomi non-akademik, diminta mencari uang sendiri untuk biaya operasional. Akhirnya yang paling mudah dilakukan adalah menaikkan biaya kuliah. Pada akhirnya biaya kuliah yang tinggi semakin sulit dijangkau si miskin.
Alasan serupa dipakai oleh Mahkamah Konstitusi kala membatalkan seluruhnya UU 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pemberian otonomi nonakademik--termasuk mencari uang sendiri--dinilai tak akan mampu dimaksimalisasi semua kampus. Hal itu dianggap akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan.
MK juga menilai status kampus sebagai badan hukum membuat pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan sama sekali. Badan hukum, misalnya, memungkinkan kampus dipailitkan, dan negara tak memikul tanggung jawab sama sekali jika itu terjadi.
Ubaid juga menyebut Nadiem terlalu mengikuti logika industri. Menurutnya ini bertolak belakang dengan fungsi pendidikan tinggi yang seharusnya lebih mengedepankan kebutuhan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
"Soal kebutuhan industri itu memang penting, tapi tri dharma perguruan tinggi harus tetap didahulukan. Jika melulu tunduk pada industri, maka kampus menjadi agen-agen kapitalis yang jauh dari misi kemanusiaan," katanya.
Ubaid juga mempermasalahkan mengapa Nadiem seperti mengeluarkan kebijakan sapu jagat untuk seluruh 'kampus konvensional', tapi seolah abai dengan kampus berbasis pendidikan dan praktik, seperti Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan politeknik.
Kampus-kampus yang berbasis pendidikan LPTK contohnya seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ) atau Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang 'melahirkan' guru.
"Kebijakan di atas tidak menyinggung problem besar di kampus-kampus LPTK. Output-nya masih bermasalah. Guru-guru dengam kualitas rendah itu, kan, semua lulusan LPTK. Seakan-akan LPTK cuci tangan dengan problem kualitas guru yang rendah ini. LPTK kita harus dievaluasi, mengapa output-nya buruk?"
Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Dian Septi Trisnanti, juga mengkritik kebijakan ini, terutama mekanisme magang yang diperbanyak waktunya.
Nadiem mengatakan "perguruan tinggi harus adaptif" yaitu dengan "mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri."
Sementara menurut Dian Septi, saat ini sistem kerja magang tak ubahnya perbudakan karena ia hanya menyediakan tenaga kerja murah. Seorang buruh magang biasaya diupah jauh lebih rendah dari buruh biasa, meski beban kerjanya sama. Hal serupa kami temukan dan diangkat dalam laporan berseri pada 2017 lalu. Saat itu kami menemukan pemagangan hanya jadi celah sejumlah perusahaan licik untuk menghemat ongkos produksi.
"Orientasi pendidikan semacam ini justru membunuh esensi kemerdekaan berpikir kritis sebagai manusia. Pendidikan tidak lagi menjadi alat pembebasan manusia atau memanusiakan manusia," kata Dian Septi, Sabtu siang.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti