Menuju konten utama

Potret Rentan Pariwisata Massal

Paradigma pariwisata massal terbukti membawa banyak kerusakan. Inisiatif lokal & vernakular perlu diberi ruang demi mewujudkan pariwisata berkesadaran.

Potret Rentan Pariwisata Massal
Header Perspektif Kerentanan Pariwisata. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Pekan lalu, 27 September 2025, Badan Pariwisata Dunia (UN Tourism) merayakan hari pariwisata dunia dengan tajuk Tourism and Sustainable Transformation.

Sederhananya, pariwisata diharapkan menjadi motor regenerasi, bukan malah sumber degradasi. Tajuk tersebut menjadi relevan jika berkaca pada bencana demi bencana di Indonesia yang timbul akibat aktivitas pariwisata.

Bencana yang melanda daerah inti dan penopang pariwisata pada tahun ini, misalnya yang terjadi di kawasan Puncak Bogor, sebagian wilayah Bali, dan ibu kota Raja Ampat, tidak bisa dan tidak boleh terjadi lagi. Berbeda dengan pandemi, peristiwa-peristiwa yang terjadi di tiga lokasi itu murni disebabkan oleh salah urus dan buruknya tata kelola destinasi.

Ketika Bali dilanda banjir, kolom komentar media sosial Gung Ama, fotografer sekaligus pengelola Tegal Temu Space di Bali, penuh dengan doa dan dukungan. Dari foto-foto yang diunggah Gung Ama, tampak seluruh area terdampak banjir bandang, tidak terkecuali berbagai alat fotografi, arsip, hingga motor dan piranti elektronik.

Tegal Temu Space bukanlah sekadar galeri pamer yang statis, melainkan ruang dinamis yang menghidupi berbagai kegiatan seni dan kebudayaan di Bali. Mulai dari fotografi, lukis, masak, musik, tari, hingga diskusi. Dalam unggahan itu pula tersirat kalimat teguran untuk kita semua, sekaligus ajakan untuk kembali bangkit berbenah.

Peristiwa blabar agung tempo hari adalah banjir paling parah di Bali dalam satu dekade terakhir. Setidaknya, ada 18 korban jiwa, ratusan warga terdampak dan mengungsi, infrastruktur dan permukiman rusak di enam kabupaten/kota, termasuk Denpasar, Jembrana, Badung, dan Gianyar. Secara ekonomi, nilai kerugian yang disebabkan banjir mencapai Rp28,9 miliar.

Pemicu banjir di Bali memang hujan ekstrem yang berlangsung lebih dari 24 jam, sehingga menyebabkan sungai meluap. Namun, faktor tersumbatnya saluran air serta pembangunan yang sporadis dan tidak terencana jelas-jelas memperparah situasi. Peristiwa tersebut serta-merta mengingatkan kita pada banjir bandang di kawasan Puncak, Bogor, awal tahun 2024.

Jika sebelumnya gejala over tourism di Bali ditandai dengan pemberitaan perilaku wisatawan yang mengganggu tata hidup masyarakat setempat, sehingga menimbulkan gesekan sosial di berbagai lokasi, kali ini giliran alam yang terdampak. Setali tiga uang dengan kawasan Puncak Bogor, Bali pun kian terdesak oleh gairah pariwisata massal yang cenderung kuantitatif dalam mengukur keberhasilan pembangunannya.

Padahal, pada 1991, Ida Bagus Oka, gubernur Bali kala itu, menegaskan dalam pidatonya bahwa Bali tidak boleh menggadaikan dirinya untuk pariwisata. “Pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata.”

Pernyataan Ida Bagus Oka itu seharusnya menjadi pedoman kebijakan daerah maupun nasional dalam konteks pengembangan pariwisata Bali. Setiap langkah pembangunan harus selaras dengan prinsip lokal Tri Hita Karana yang menjunjung keseimbangan dalam laku kehidupan masyarakat Bali, bukan merusaknya.

Paradigma Pariwisata Massal Harus Segera Ditinggalkan

Pada mulanya, pariwisata memang lahir dari logika ekonomi moneter yang berupaya memasarkan pemandangan dan hasil budaya manusia, serta mengubah kawasan dan masyarakat menjadi komoditas. Namun, saat ini, sesungguhnya terdapat ruang untuk menggeser paradigma pembangunan pariwisata menuju arah yang lain, bukan lagi menempatkan pariwisata sebagai penggerak ekonomi belaka.

Lantas, pada tingkatan manakah perubahan arah kebijakan tersebut dapat dilakukan? Apakah cukup pada skala desa atau komunitas, ataukah harus di tingkat nasional, regional, bahkan global?

Pariwisata berkelanjutan tidak bisa lagi sebatas jargon. Ada aspek-aspek kunci yang harus benar-benar menjadi panduan dalam penyusunan kebijakan: pengelolaan lingkungan yang menekan dampak negatif sekaligus memulihkan ekosistem, pelestarian sosial-budaya yang menjaga warisan dan mencegah erosi budaya, serta pemberdayaan ekonomi yang memastikan manfaat dirasakan masyarakat lokal.

Semua itu harus ditopang tata kelola inklusif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, pembangunan sektor yang tangguh sekaligus adil bagi kelompok rentan, serta perencanaan strategis dan inovasi untuk menciptakan pertumbuhan pariwisata yang merata dan berkelanjutan.

Setiap destinasi memiliki ciri, karakteristik, dan potensi daya tarik yang khas tanpa perlu dibanding-bandingkan dengan destinasi lain. Karena itu, perencanaan dan pengembangan pariwisata yang melibatkan partisipasi masyarakat setempat mutlak diperlukan.

Paradigma lama pariwisata massal harus segera ditinggalkan. Mulai dari paket wisata seragam yang mengabaikan otentisitas, tata ruang yang menumpuk wisatawan pada satu lokasi, pembangunan fasilitas besar yang melampaui daya dukung, hingga aksesibilitas yang hanya difokuskan pada destinasi populer.

Praktik-praktik semacam itu terbukti melahirkan kerusakan lingkungan sekaligus kejenuhan wisatawan.

Inisiatif Berkesadaran

Pertanyaannya, di tingkatan mana perubahan arah kebijakan itu harus diwujudkan? Meski pariwisata bersifat multi-stakeholder, tetap dibutuhkan “dirigen” yang mampu mengorkestrasi arah kebijakan di suatu kawasan.

Bencana di Bogor, Bali, dan Raja Ampat membuktikan bahwa pariwisata tidaklah lahir di ruang hampa. Munculnya destinasi yang menimbulkan masalah lingkungan dan sosial kerap berakar pada longgarnya perizinan serta buruknya tata kelola ruang.

Upaya berbenah di sektor pariwisata akan menjadi sia-sia bila paradigma pembangunan secara umum tidak ikut berubah. Karena itu, inisiatif lokal dan vernakular yang tumbuh di berbagai komunitas pariwisata harus diberi ruang lebih besar. Dari merekalah inovasi perencanaan dan pengembangan yang berkesadaran dan berkeadilan sering lahir.

Dengan begitu, pariwisata dapat benar-benar hadir sebagai moda pertumbuhan yang mendistribusikan kesejahteraan, bukan sekadar menyisakan kerentanan ketika bencana kembali melanda.

*Penulis adalah Dosen Politeknik Pariwisata NHI Bandung

Baca juga artikel terkait KOLUMNIS atau tulisan lainnya dari Fitra Ananta Sujawoto

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Fitra Ananta Sujawoto
Editor: Zulkifli Songyanan