tirto.id - Musim mudik Idul Fitri 2018 telah berakhir. Sebagian besar warga DKI dan daerah penyangga ibu kota, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang pulang ke kampung halaman, kini telah kembali memadati ruas-ruas jalan dan menyesakkan Jakarta.
Selain itu, lazimnya arus balik dari tahun ke tahun, penambahan jumlah pendatang baru usai mudik lebaran juga menjadi problem yang perlu diantisipasi oleh Pemprov DKI Jakarta dan pemerintahan kota penyangganya.
Apalagi, para pendatang itu terus bertambah meski angkanya mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Berdasarkan Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta 2016 dan 2017, misalnya, memperlihatkan ada penambahan jumlah penduduk, masing-masing sebesar 68.713 dan 70.504.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan tingginya angka urbanisasi ini perlu diwaspadai mengingat kemampuan penciptaan lapangan kerja di Jakarta masih rendah. Biasanya, para pendatang itu juga tidak memiliki kemampuan dan kompetensi yang dibutuhkan pasar.
“Padahal gini ratio di Jakarta sudah lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Data terakhir dari BPS 0,4. Kalau kita cek secara detail di bagian utara, itu pernah mencapai 0,41 sampai 0,42,” kata Bhima kepada Tirto.
Artinya, ketimpangan masih jadi masalah serius yang belum bisa terselesaikan di Jakarta. Jika Pemprov DKI tak menangani masalah ini dengan serius, kata Bhima, maka tingkat kriminalitas dapat meningkat dan kawasan-kawasan kumuh baru akan bermunculan di Jakarta.
“Mereka ini, kan, akhirnya tidak kuat, bahkan untuk menyewa tempat tinggal. Dampaknya apa? Mereka bisa tinggal di kolong jembatan, mendirikan bangunan liar dan yang jadi masalah laten dari tahun ke tahun,” kata Bhima.
Menurut Bhima, perlu ada deteksi dini dari Pemprov DKI terhadap pendatang baru yang masuk ke Jakarta. Peran antarinstansi seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Transmigrasi dan Ketenagakerjaan serta Dinas Sosial menjadi penting agar mereka tak terlantar di ibu kota.
Selain itu, kata dia, koordinasi dengan kota-kota satelit juga perlu dibangun untuk menghadapi masalah kepadatan penduduk di Jakarta. Misalnya, dengan membangun perumahan-perumahan atau rusunawa murah di Tangerang, Cibubur, Depok, Bogor atau Bekasi.
"Mereka enggak apa-apa kerja ke Jakarta. Pemprov dan pemkot buatkan rusunawa di kota-kota penyangga. Siapkan transportasi umum massal yang baik. Karena, kan, nantinya ekonomi di kota-kota itu jadi bergerak,” kata Bhima menambahkan.
Meski demikian, Bhima menilai urbanisasi juga tak bisa dihentikan apalagi jika ketimpangan antara kota dan desa masih tinggi. Karena itu, konsep membangun Indonesia dari pinggir yang kerap disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat masa kampanye penting untuk dioptimalkan.
Salah satunya, kata dia, mengevaluasi penggelontoran dana desa yang menurutnya belum mampu mendorong penciptaan lapangan kerja.
“Harusnya dana desa itu lebih banyak digunakan untuk badan usaha milik desa atau kegiatan yang sifatnya produktif dan kontinu. Dana desa, kan, sebagai initial capital, modal pertama, baru kemudian mereka berkembang sendiri dan merekrut tenaga kerja lebih besar,” kata Bhima.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan nampak tak terlalu mempermasalahkan potensi pendatang baru pasca-lebaran. Menurut dia, setiap warga berhak untuk hidup dan tinggal di Jakarta asalkan menaati aturan yang ada.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Jokowi ini juga mengimbau agar para pendatang itu mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar tak jadi problem bagi masyarakat dan pemerintah.
“Jadi semua warga yang akan bekerja di kota manapun itu harus mengikuti semua aturan yang ada di kotanya dan bagi mereka yang akan datang ke Jakarta atau sudah datang, pastikan Anda memiliki jaminan kesehatan, atau sudah terdaftar di BPSJ. Itu penting sekali. Termaksud mereka yang bekerja menjadi asisten rumah tangga,” kata Anies di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis kemarin.
Para pendatang yang ingin masuk ke Jakarta juga disarankan memiliki skill dan soft skill yang dibutuhkan dunia kerja. Alasannya, kata Anies, "Jakarta adalah kota jasa dan kesempatan untuk memberikan pelayanan itu luar biasa besar."
Meski demikian, bukan berarti Pemprov DKI tak ada upaya untuk mendeteksi dini para pendatang baru di ibu kota. Kepala Disdukcapil DKI Jakarta, Edison Sianturi menyampaikan, tugas-tugas pokok terkait pengendalian arus mudik dan arus balik tersebut telah dituangkan dalam Instruksi Gubenur Nomor 62 tahun 2018.
Selain itu, kata Edison, instansinya juga akan merekap data arus mudik dan arus balik bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan. Data tersebut nantinya dikomparasikan dengan data hasil operasi yustisi kependudukan yang di lakukan di tingkat RT/RW di Jakarta.
"Data ini nanti ditindaklanjuti sama instansi lainnya. Ada di dinas sosial, disnakertrans. Namun, pada intinya, tidak ada pemulangan paksa," kata Edison.
Edison mengatakan operasi yustisi juga akan dilaksanakan secara persuasif oleh perangkat-perangkat RT/RW. Sebab, kata Edison, belum tentu pendatang itu akan menetap selamanya di Jakarta, melainkan hanya ingin berekreasi atau mengunjungi sanak saudaranya.
Untuk sementara ini, Edison belum bisa memberikan data berapa banyak penduduk baru yang akan masuk ke Jakarta. Namun, menurut dia, jumlah tersebut tidak akan berubah drastis dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Saya kira tidak meningkat. Karena pengalaman, kan, bisa faktor anggota keluarganya banyak yang pulang lagi karena tidak sanggup di Jakarta. Kalaupun ada naiknya juga enggak signifikan," kata dia menambahkan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz