tirto.id - Bertahannya Arief Hidayat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berdampak pada pendidikan di bidang hukum di Indonesia. Dosen di Fakultas Hukum diklaim menjadi sulit menjelaskan etika penegak hukum karena polemik Arief di MK.
Menurut Dosen Hukum dari Universitas Airlangga Herlambang Perdana, kesulitan muncul lantaran para pengajar tak bisa menjawab batasan bagi orang untuk melanggar etika dalam menjalankan tugas sebagai hakim. Saat ini, Arief telah dua kali mendapat sanksi teguran tertulis dari Dewan Etik MK karena perbuatannya yang melanggar etika.
"Padahal di tingkat pembelajaran etika hukum kita berharap mewariskan penerus hukum yang lebih menghargai etika," ujar Herlambang di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Sanksi ringan diberikan Dewan Etik MK kepada Arief pada 2016 dan awal 2018. Pada 2016, ia terbukti bersalah karena membuat surat titipan atau katebelece kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.
Kemudian, di awal 2018 Arief dinyatakan melanggar etika karena sempat bertemu dengan sejumlah politisi dari Komisi III DPR di Hotel MidPlaza. Pertemuan itu digelar saat proses pemilihan hakim konstitusi sedang berjalan.
"Pertanyaan etika ini, kalau ada sanksinya 1, 2 kali lalu harus tunggu sampai berapa lagi sampai dia (Arief) mundur? Itu menimbulkan dampak ketidakpercayaan publik yang luas," katanya.
Profesor Mayling Oey dari UI berkata, sebagai lembaga hukum tertinggi MK harusnya diisi oleh hakim-hakim konstitusi yang berintegritas. Bahkan, menurutnya hakim konstitusi harus memiliki sifat yang hampir seperti malaikat.
"MK harusnya sakral. Hakimnya harus berintegritas, konflik kepentingan diharamkan," kata Mayling.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yantina Debora