tirto.id - Berkaitan dengan kasus Ratna Sarumpaet, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon meminta polisi untuk tidak mudah dijadikan alat politik. Namun, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengklaim bahwa kepolisian bersifat netral.
“Saya nyatakan bahwa polisi netral. Sekali lagi, polisi netral. Komitmen kami berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2002. Tugas polisi adalah pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, serta penegakan hukum,” ujar Setyo di Jakarta, Jumat (5/10/2018).
Dalam penegakan hukum, tambah dia, polisi tidak memiliki kepentingan politis. “Ketika satu kasus menyebut nama seseorang yg terlibat, mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus memeriksa yang bersangkutan,” jelas Setyo.
Fadli Zon melontarkan pernyataan tersebut karena ia dan 16 politikus lainnya seperti Prabowo Subianto, Ratna Sarumpaet, Rachel Maryam, Rizal Ramli, Nanik S Deyang, Ferdinand Hutahaean, Arief Puyuono, Natalius Pigai, Fahira Idris, Habiburokhman, Hanum Rais, Said Didu, Eggi Sudjana, Captain Firdaus, Dahnil Anzar Simanjuntak dan Sandiaga Uno, dilaporkan oleh Farhat Abbas ke Bareskrim Polri, pada 3 Oktober lalu.
Setyo menegaskan, pemanggilan dan pemeriksaan terhadap para terlapor tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara.
“Mohon dipahami bahwa kami tidak ada kepentingan apapun, polisi netral. Tapi ketika nanti terkait (para politikus), jangan dibilang polisi bermain politik,” tegas Setyo.
Polisi, tambah dia, mengacu pada Pasal 55 KUHP yang menyebutkan tentang ‘turut melakukan’. Maka, siapapun pihak yang turut serta dalam perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan pasal tersebut. Kemudian, peran para terlapor nantinya akan didalami.
“Yang bersangkutan berperan sebagai apa,” ucap Setyo.
Artinya, tidak menutup kemungkinan polisi akan memanggil dan memeriksa para politikus terlapor. Setyo menyatakan jika dalam penyidikan, polisi menemukan bukti lain dan memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, maka penetapan itu sesuai dengan hukum yang berlaku.
Peristiwa dugaan pengeroyokan Ratna yang terjadi di Bandung pada 21 September lalu, Ratna sampaikan ke kubu Prabowo Subianto. Lantas, calon presiden itu mengadakan konferensi pers yang menyatakan bahwa penganiayaan tersebut merupakan suatu tindakan represif, melanggar HAM, dan sebuah tindakan pengecut.
Saat itu kubu Prabowo belum mengetahui bahwa Ratna berbohong soal penganiayaan. Lantas, Setyo berpendapat semestinya Prabowo bisa menilai dengan asas ‘patut diduga’. Jika ‘patut diduga’ ini akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat, seharusnya dipertimbangkan untuk tidak diberitahukan kepada khalayak.
Namun, kepolisian akan mendalami ketidaktahuan kubu Prabowo soal peristiwa tersebut. “Kami akan tahu dari hasil pemeriksaan, sejauh mana ketidaktahuan itu,” ucap Setyo.
Untuk mengusut kasus ini, penyidik akan mengeluarkan surat pemanggilan untuk memeriksa para terlapor, yang dituangkan dalam rencana tindak lanjut penyidikan. Namun Setyo belum mengetahui apakah surat tersebut sudah dikeluarkan atau belum. “Saya akan konfirmasi ke penyidik,” kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Yandri Daniel Damaledo