tirto.id - Imam Mustofa (31), penyerang anggota Polsek Wonokromo, memetakan keadaan lokasi kantor polisi dan personel satu hari sebelum menyerang. Ia berpura-pura ingin membuat laporan.
"Dia [pura-pura] melaporkan kehilangan untuk memprofil situasi. Sengaja tidak bawa identitas. Kemudian petugas mempersilakan ia kembali lagi sambil bawa identitas," kata Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Senin (19/8/2019).
Sebelum ke Polsek Wonokromo, kata Dedi, Imam mampir ke pasar untuk membeli pisau penghabisan, celurit, senjata mainan, ketapel dan kelereng.
Barang-barang itu dipersiapkan untuk penyerangan, kemudian menuju ke ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) polsek tersebut.
Tiba di ruangan, Imam mengaku dirinya diminta kembali untuk membuat laporan dengan menyertakan KTP. Bukannya mengeluarkan kartu identitas, ia mengambil celurit dan menyasar kepala Aiptu Agus.
"Tapi Agus refleks menangkis dengan tangannya, merebut senjata pelaku," ujar Dedi.
Lantas Imam menyerang lagi dan berhasil ditangkis kembali, lalu dilumpuhkan. Dalam penyerangan itu, Briptu Febian mendapatkan luka lebam.
Kedua korban dibawa ke Rumah Sakit RKZ Surabaya untuk mendapatkan perawatan, hanya Febian yang diperbolehkan pulang.
Dedi menyatakan barang bukti dan keterangan Imam memperkuat dugaan ia merupakan terduga teroris.
"Dari buku literasi soal ISIS, bendera ISIS serta barang bukti yang digunakan untuk menyerang," terang Dedi.
Istrinya, Fatimah, dan ketiga anak Imam dijemput dari indekosnya yang beralamat di Jalan Sidosermo IV, Gang 1 Nomor 10A, Surabaya, Sabtu malam, usai penyerangan. Petugas menyita laptop, kertas, dan ponsel. Ketiganya turut diperiksa oleh kepolisian.
Densus 88 Antiteror menangani perkara ini, jika istri dan anak Imam diduga betul terpapar paham radikalisme, maka mereka harus menjalani program deradikalisasi yang digagas pemerintah. Sementara itu Imam masih diperiksa dan ditahan oleh kepolisian.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali