tirto.id - Pada 30 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Perpres Nomor 103 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Polri. Perpres ini memberikan payung hukum kepada anggota Polri mendapatkan tunjangan kinerja setiap bulan, selain menerima penghasilan.
Salah satu pertimbangan pemberian tunjangan adalah "...adanya peningkatan kinerja pegawai dan organisasi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yang dicapai Polri".
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 2017, Polri menempati posisi ketiga dalam hal tingkat kepercayaan publik . Namun, tingkat kepercayaannya hanya 70 persen atau masih di bawah TNI sebanyak 94 persen dan KPK sebanyak 87 persen. "Untuk sekarang Polri nomor tiga. 70 persen masyarakat Indonesia percaya Polri," klaim Tito.
Apakah kinerja Polri membaik?
Kinerja Penyelesaian Kejahatan
Berdasarkan Statistik Kriminal (PDF), dalam empat tahun terakhir, tren jumlah penyelesaian kejahatan oleh kepolisian tercatat meningkat. Pada 2014, kasus kejahatan yang terselesaikan sebanyak 176,5 ribu kasus dan naik menjadi 212,1 ribu kasus kejahatan terselesaikan pada 2017.
Sementara bila dilihat berdasarkan jumlah kasus kejahatan yang masuk atau dilaporkan, bisa dilihat bahwa rata-rata persentase penyelesaian kasus kejahatan oleh Polri mencapai setengah dari total kejahatan yang dilaporkan. Meski demikian, persentase penyelesaian kasus kejahatan tersebut naik dari tahun ke tahun; sebesar 54,26 persen pada 2014 naik menjadi 62,99 persen pada 2017.
Namun, ada penurunan jumlah kejahatan yang tercatat pada 2017. Artinya, jumlah laporan kejahatan yang masuk dalam catatan kepolisian berkurang, yaitu dari 357,2 ribu laporan kejahatan pada 2016 menjadi 336,7 ribu laporan kejahatan.
Catatan Buruk Polri: Penundaan Berlarut
Capaian positif di atas kertas, bukan berarti Polri tak punya banyak kekurangan. Di lapangan masih saja ada keluhan ihwal pelayanan anggota Polri yang masih mengecewakan, antara lain respons yang tak sigap dan lainnya.
Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta, Teguh P. Nugroho sempat mengatakan respons yang tak sigap memproses laporan termasuk kategori maladministrasi.
Berdasarkan catatan Penyelesaian Laporan Masyarakat 2017 yang dilansir Ombudsman, Kepolisian RI menempati peringkat kedua dalam hal dugaan maladministrasi pelayanan publik setelah pemerintah daerah. Ditelisik satu per satu, jenis maladministrasi tertinggi Polri adalah penundaan kasus yang berlarut mencapai di atas 47 persen pada triwulan I hingga IV periode 2017. Artinya hampir separuh dugaan maladministrasi Polri adalah penundaan laporan.
Jenis dugaan maladministrasi terbanyak kedua adalah penyimpangan prosedur dan kompetensi yang dinilai rendah. Selain itu, meski jumlah persentase lebih kecil, tapi ada tindakan penyalahgunaan wewenang, permintaan imbalan uang, barang, dan jasa, serta diskriminasi.
Kinerja penyelesaian laporan kasus kejahatan Polri dapat ditengok melalui salah satu bagian laporan Rule of Law Index yang dikeluarkan oleh The World Justice Project (PDF)–organisasi multidisiplin dan independen yang berupaya meningkatkan kualitas negara hukum di seluruh dunia.
Laporan ini termasuk komprehensif dan memberikan pandangan secara detail mengenai tingkat kepatuhan negara terhadap praktik hukum. Penilaian menggunakan skor berkisar 0 dan 1, angka 0 adalah skor terendah dan 1 adalah skor tertinggi yang menunjukkan kepatuhan yang paling kuat terhadap rule of law, termasuk di Indonesia.
Pada laporan Rule of Law Index ada yang membahas khusus ihwal indeks hukum pidana (criminal justice). Kepolisian merupakan salah satu bagian dalam sistem peradilan pidana. Ada sub indeks pada laporan ini yang beririsan dengan kinerja Polri yaitu menangani laporan kejahatan dalam rangka penyelesaian pidana. Sub indeks antara lain efektivitas investigasi, tidak ada korupsi, tidak ada diskriminasi, dan tidak ada campur tangan pemerintah.
Ada penurunan yang cukup signifikan pada sub indeks efektivitas investigasi dan tidak adanya diskriminasi. Pada efektivitas investigasi angkanya turun dari 0,44 pada 2015 menjadi 0,29 pada 2017/2018. Sementara pada sub indeks tidak ada diskriminasi dalam penyelesaian pidana turun dari 0,35 pada 2014 menjadi 0,23 pada 2017/2018.
Penurunan skor juga tercatat pada sub indeks tak ada campur tangan pemerintah, yaitu dari 0,52 pada 2014 menjadi 0,41 pada 2017/2018. Namun, ada kenaikan skor pada sub indeks tidak adanya korupsi, yakni dari 0,38 pada 2014 naik menjadi 0,44 pada 2017/2018.
Editor: Suhendra